17. Bumbu Penyedap

53 11 10
                                    

Semua berawal dari mesin fotokopi.

Cahaya tidak menyangka akan berhadapan dengan hal mendebarkan di hari pertamanya on the job training, di salah satu hotel berbintang di kawasan Surabaya Selatan.

Di depan mesin fotokopi, dia tafakur. Cahaya menoleh ke kanan-kiri untuk mencari bantuan, tetapi semua orang sepertinya sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan, ada yang dari jauh sudah memberinya kode dengan picingan supaya tidak mengganggu.

Ketika perempuan itu mencoba membaca lagi informasi yang tertera pada layar sentuh mesin fotokopi, seseorang menepuk pelan bahunya. Terkesiap, Cahaya berbalik badan. Dia lantas mendongak untuk memperhatikannya. Dari penampakannya, dia tahu, seseorang yang menepuk bahunya itu adalah chef. Seragam putih dan apron melekat sempura di tubuhnya yang menjulang.

"Iya, Mas... eh, Pak, ada apa?" Cahaya bertanya dengan tergeragap.

"Sudah selesai pakai mesin fotokopinya?"

Suaranya terdengar dalam dan memantik perasaan aneh gadis itu. Eargasm. Dia berpikir, sepertinya pangeran berkuda putih yang selama ini ditunggunya akhirnya menampakkan diri.

"Hei...."

Tersadar dari lamunan, Cahaya lekas berujar, "Hmm. Belum, Mas. Eh, Pak."

"Bisa operasiin mesinnya?"

Ragu, Cahaya menggeleng lambat.

"Kertasnya jangan dimasukin lewat samping soalnya mesin ini sering bermasalah kalau lewat situ." Cowok itu memberi tanda kepada Cahaya supaya bergeser dan sedikit memberinya ruang. Dia mengambil kertas dari bagian samping mesin fotokopi dan menggeser tray di bagian muka. Kemudian, meletakkan beberapa lembar kertas pada cetakan A4. "Nah, kalau tombol enter-nya berubah hijau, berarti mesin fotokopinya sudah bisa digunakan. Memangnya butuh berapa lembar?

Sedari tadi Cahaya memperhatikan tangan terampil cowok itu, dan mendengarkan penjelasannya dengan saksama.

Ketika cowok itu menoleh dan mereka beradu tatap, terjadi jeda sekian detik sebelum Cahaya tersadar untuk membalas pertanyaannya, "Butuh tiga lembar, Mas. Eh, Pak. Kopiannya."

"Panggil Baskara aja. Nggak usah pakai Mas apalagi Pak," balasnya seraya menekan angka tiga dan tombol enter setelahnya. "Nama kamu siapa?"

"Cahaya."

Tiga lembar kopian dan fail dari atas mesin fotokopi Baskara julurkan. "Ini, sudah selesai...," Dia tampak berpikir sebentar. "Panggilannya, Aya, kan?"

"Kok tahu?"

Baskara hanya tersenyum dan menatap kembali mesin fotokopi untuk mengerjakan pekerjaannya sendiri.

"Terima kasih, Mas... Eh, Baskara."

Laki-laki itu menoleh setelah menekan tombol enter. "Sama-sama, Aya."

"Aya!"

Keningnya berkerut. Suara berat dan dalam Baskara berubah melembut dan membuyarkan angannya. Dia mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Sedari cabut dari kafe, dia melamunkan seseorang yang bahkan kini tengah menikmati jalan-jalan sendirian. Cahaya mendadak kesal.

Duduk di kursi supir, Wisnu tersenyum ketika pandangan mereka berakhir segaris. "Sudah sampai. Mau langsung turun?" lanjutnya.

Cahaya mengangguk.

"Tunggu sebentar." Wisnu bergegas membuka pintu penumpang setelah turun dan memutari mobilnya ketika Cahaya melepas sabuk pengaman.

Turut mengikuti pergerakan sampai pintu membuka, Cahaya hanya mampu mengerjap. Banyak hal tidak biasa yang dilakukan dan diterimanya hari ini. Dijemput di Resto Kenanga, dibukakan pintu mobil, bahkan diajak mengobrol ringan selama perjalanan. Otaknya masih mencerna hal-hal absurd semacam ini.

Resep Rahasia BaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang