4.

352 21 0
                                    

Happy Reading!

Mereka terdiam. Sampai akhirnya sebuah suara mengalihkan perhatian keempat pentolan sekolah itu.

“Kenapa sama jaket Alfa?”

David, Bagas, Fary dan Ian mendongak dan mendapati Amara berdiri di ujung meja dengan raut penuh keingintau-an.

“Kenapa sama jaket pacar gue?” tanya Amara sekali lagi. Ia mengangkat salah satu alisnya berniat menuntut jawaban dari keempat teman kekasihnya itu.

“Jaket Alfa ilang.” sahut David kemudian. Cowok itu menarik satu kursi kosong dibelakangnya lalu mempersilahkan Amara untuk duduk di samping dirinya dan Ian.

Meski tak menyukai Amara menjadi kekasih Alfa sekalipun. David tetap menganggap Amara sebagai temannya dan memperlakukan gadis itu selayaknya teman–walau kelakuan Amara jauh dari kata baik.

Melihat salah satu temannya mempersilahkan orang yang ingin mereka hindari, Bagas, Fary dan Ian hanya bisa mendengus saat gadis itu mendudukan dirinya di kursi pemberian David.

“Kok bisa ilang? Ilang dimana? Terus kalo ilang, apa hubungannya sama... Siapa tadi? Sha, Shasa?—”

“Shalsa.”

“Iya itu. Apa hubungannya sama dia?” lanjut Amara mengintrogasi.

Semuanya terdiam. Enggan menjawab pertanyaan Amara membuat gadis itu mendengus kesal tak terima.

Ia lupa. Dirinya adalah musuh keempat teman Alfa. Meski David tak begitu parah menunjukkan ketidaksukaannya, tetapi tetap saja ia adalah musuhnya. Dimana mereka akan menjadi ketus dan pendiam ketika dirinya ada untuk bergabung ataupun tidak. Seperti saat ini contohnya.

“Vid?!” Panggil Amara meminta penjelasan.

Belum sempat mendapat jawaban, Amara dan keempat lelaki itu menoleh saat salah satu bangku kosong di sebelah Fary bergerak karena ditarik.

“Hai, Alll...” sapa Amara dengan wajah yang berubah cerah saat melihat Alfa datang.

Melupakan pertanyaan beberapa saat lalu, Amara beranjak dan mendekati kursi Alfa yang bersebrangan dengannya.

“Pindah lo.” Amara mengusir Bagas yang duduk di sisi kanan Alfa. Menunjuk kursi yang sebelumnya ia tempati agar cowok itu bertukar tempat dengannya.

“Gak. Ogah.”

“Pindah gak lo?!”

“Lo budek?”

“Pindah, Bagas. Gue mau duduk disebelah pacar gue!”

“Dikira nya peduli kali. Awshh...”

“Pindah!”

Mau tak mau, cowok yang duduk di sisi kanan Alfa itu beranjak dan berpindah saat Amara menarik kuat telinga kirinya.

“Panas banget, Anjing.” umpat Bagas seraya melemparkan bokongnya pada kursi di sebelah David.

Ian tertawa, lantas cowok itu menepuk sisi kiri wajah Bagas membuat cowok itu meringis.

“Tangan nenek lampir jangan dilawan, Bang.” kata Ian pelan dengan kekehan diakhir kalimat.

Sementara Amara, tanpa menghiraukan umpatan Bagas dan perkataan Ian yang masih bisa didengarnya, gadis itu menatap Alfa dengan tatapan memuja.

“Lo dari mana, Al? Kok baru dateng.” tanya Amara membuat Alfa melirik sekilas tanpa berniat menjawab. Gadis itu menghela nafas.

Sudah biasa.

Namun, meski begitu ia tidak akan menyerah sampai kekasihnya mau menjawab.

“Al?” Amara menuntut. Kembali membuat Alfa menatapnya sekilas dengan tatapan malas.

ALSHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang