Angin pagi menyapu wajahnya yang kuyu. Langkah kaki perlahan, meniti satu-persatu lantai bangunan megah tersebut. Ia menguap kecil. Setelah adegan menegangkan yang membuat separuh nyawa Jeongin melayang, rasa kantuk baru menyerangnya.
Felix membawa Jeongin keluar dari ruangan tempatnya diinterogasi, menyusuri lorong panjang berlantai marmer. Saat dibawa memasuki bangunan tadi matanya ditutup kain, ia tidak tahu sekarang sedang berada dimana, bagaimana bentuk tempat ini dari luar pun pemuda manis tersebut tidak tahu. Tetapi sekarang tanpa penutup mata, melihat lorong panjang yang ia susuri masih akan berakhir jauh di depan, Jeongin berasumsi jika tengah berada di sebuah bangunan seluas stadion bola. Matanya menelisik, pintu-pintu bercat putih di sisi kiri kanan, cahaya temaram dari lampu hias pada atap lorong, pun kamera pengawas di beberapa sudut. Ah....jika diteliti lagi nampak moncong-moncong senjata mengintip tidak kentara dari ukiran klasik di atas tiap pintu.
Bukan main.
Jeongin meneguk ludah. Jika hari ini ia masih hidup, maka bisa mati besok atau lusa atau lusanya lagi.
Yang benar saja!
Dari awal nyawanya memang sudah digadaikan pada malaikat maut, jadi Jeongin pasrah saja.Ia masih mengekor Felix yang kemudian belok kiri di ujung lorong. Ada masing-masing empat pintu di tiap sisi dengan ujung dinding batu yang buntu. Felix membuka pintu paling ujung di sisi kiri yang rupanya tidak terkunci kemudian menyalakan saklar. Tampak sebuah single bed dengan seprei putih menempel sejajar jendela besar. Selain itu, hanya terdapat perabot sederhana berupa nakas putih berukir lengkap dengan kursi dan lemari pakaian arah kaki tempat tidur. di sebelah nya ada toilet. Semua simple, serba putih namun elegan.
Felix berbalik menghadap pemuda bermata rubah tersebut, tersenyum kecil seraya menepuk pundaknya.
"Ini kamarmu sekarang. Kamarku ada tepat di depan kamar ini. Bangunlah pagi-pagi, bersihkan badan. Besok aku akan menjemput untuk sarapan. Dan ini......" Pria bersurai perak tersebut meraih tangan Jeongin, meletakan ponsel. "Akan merepotkan jika kau bertemu dengan salah satu anggota kami dan kesulitan berkomunikasi. Tuan dan aku mungkin masih bisa membaca gerak bibirmu, tapi tidak dengan yang lain."
Terimakasih.
Felix menganggukkan kepala.
"Selamat istirahat, semoga beruntung besok." Pria berfreckless tersebut tersenyum penuh arti kemudian meninggalkan Jeongin sendirian. Langkah kaki Felix tidak terdengar, tapi Jeongin yakin pria itu sudah masuk ke dalam kamarnya.
Oke, sekarang rasa sakit menghantam sekujur tubuh, dari luka bekas pukulan kakak sepupu tadi sore dan bekas torehan pisau yang menggores leher. Walaupun sudah dijahit, bekasnya masih berdenyut-denyut. Toleransinya terhadap rasa sakit juga rendah. Tidak heran jika Jeongin mendesis begitu jemarinya yang sedingin es menyentuh pelan sudut bibir dan beberapa bagian tubuhnya yang lebam.
Terlihat menyedihkan.Mendesah lelah, Jeongin beranjak menuju toilet. Setidaknya netra pemuda rubah tersebut sedikit terlihat hidup. Ia pandangi pantulan wajah di cermin wastafel kemudian membasuhnya dengan air keran yang dingin. Setelah kematian kedua orangtua, hidupnya benar-benar bagai roller coaster, naik turun tidak tertebak.
Bahkan tidak ia bayangkan akan berakhir sebagai sandera kelompok mafia. Beruntung Jeongin tidak memiliki teman samasekali di universitas dan kerabat satu-satunya hanya sang kakak sepupu yang sudah tinggal nama. Sehingga ia hilang pun tidak akan ada yang ambil pusing untuk mencari.
Maniknya membelalak setelah menyadari eksistensi jam dinding di atas pintu. Jeongin segera mengeringkan wajahnya dengan handuk, kemudian merebahkan badan pada tempat tidur dingin. Obsidian memandang langit-langit kamar, pikirannya melayang beberapa saat. Hari ini sudah ia selesaikan dengan lumayan baik. Reward yang setimpal adalah istirahat selama kurang lebih 3 jam lagi sebelum mulai untuk survive keesokan harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRETENDER [HYUNJEONG]
Fanfiction[END] Ia hanya ingin bertahan hidup. Dunia kejam penuh pembunuhan dan bau mesiu bukan sesuatu yang Ia harapkan. Di tengah keputusasaan, Jeongin ingin hidup tanpa penyesalan. Meskipun itu berarti mengotori tangannya dan mengabdi sepenuhnya kepada...