'Aku ingin ikut kakak pergi.'
Hyunjin memijat pelipis mendengar permintaan Jeongin. Ia sedang memeriksa beberapa berkas selepas transaksi, saat pintu ruang kerjanya diketuk dari luar.
"Ai..."
'Sekali saja. Aku ingin menemanimu. Janji, tidak akan melakukan apa.'
Jeongin menyodorkan ponsel dengan tatapan memohon. Terakhir kali permintaan tentang tato dikabulkan sang suami, ia tidak pernah minta apa lagi. Pemuda manis itu sekarang memiliki tanda berbentuk bunga sakura pada bahu kanan belakang.Namun hari ini adalah puncak kebosanannya. Enam bulan pergerakan dibatasi, hanya berkutat di kamar dan lingkungan markas membuat Jeongin jenuh. Bukan bermaksud merepotkan, Hyunjin dari awal memang sangat sibuk, tidak bisa membawanya kemana. Ia enggan pergi tanpa izin sang suami. Jadi, sekali saja....Jeongin minta ikut.
'Lusa kakak ada transaksi bukan? Aku diam di mobil dan hanya menikmati jalanan, tidak akan mengganggu.'
Pemuda manis itu masih getol bernegosiasi."Tidak." Hyunjin terpaksa menggunakan nada tegas pada kalimat. "Kau sama sekali tidak boleh menampakkan batang hidung dalam kegiatan yang kudatangi."
'Tapi... kami ingin jalan-jalan.' Jeongin menggumam sembari mengusap perut yang sudah lumayan besar. Paras cantiknya terlihat sangat sedih.
Hyunjin hampir hilangan akal. Jika sang istri sampai merengek minta sesuatu, berarti ia benar-benar menginginkannya. Pria itu meletakkan pena. Ia bangun dari kursi, berjongkok tepat di depan Jeongin yang duduk di seberang meja.
"Dengarkan aku..." Hyunjin berkata lembut sembari menumpuk tangan Jeongin yang masih bertengger di perut, membawanya bergerak perlahan mengusap-usap.
"Sejak awal kau sudah tahu bukan, alasan tidak ingin melibatkanmu walau hanya menemani transaksi? Banyak orang dengan niat terselubung di sekelilingku. Sekalipun disebut rekan atau teman, aku enggan mempercayai mereka sepenuhnya..." Sang suami menjeda, membiarkan Jeongin mencerna kalimat.
"Tiap orang punya sisi jahat. Kita tidak pernah tahu apa yang mereka rencanakan. Tolong mengertilah."
Agaknya penjelasan Hyunjin menyadarkan Jeongin. Apalagi tendangan halus jabang bayi, seakan mengembalikan akal sehat. Sang bos mafia tersenyum lebar, ikut merasakan gerakan dari perut istrinya.
"Nah, lihat sendiri. Anak kita menyetujui ucapanku." Ujarnya sembari mengelus dan menciumi perut pemuda manis itu, gemas.
Terpaksa Jeongin mengangguk. Wajah menyiratkan kekecewaan membuat Hyunjin berusaha memikirkan alternatif lain yang lebih aman.
"Besok aku bebas. Kita jalan-jalan." Ia menyodorkan kelingking, bermaksud membuat perjanjian. Belum sempat Jeongin mengaitkan, pintu didobrak dari luar, menampilkan Felix dan Changbin masuk tergesa.
"Aduuhh, maaf jika mengganggu acara mesra-mesraan kalian." Ujar Felix setelah mendapati keberadaan Jeongin di ruang kerja. "Tapi kami butuh pencerahan darimu, Tuan."
Hyunjin mengernyit heran.
"Pencerahan apa? Biasanya diberi pencerahan pun kau selalu melakukan hal semaumu.""Ini lain. Jadi, begini..." Felix menggaruk kepala sebelum melanjutkan. "Kau tahu bukan, akhir-akhir ini aku sering dijejali rekananmu yang merepotkan? Nah, satu ini kurang bisa di nalar."
Penjelasan Felix yang bertele-tele membuat Hyunjin menghela napas. Sudah terlalu biasa, namun masih tetap menjengkelkan.
"Lee Felix, aku sedang tidak ingin minum obat sakit kepala. Langsung ke intinya saja." Hyunjin berdiri dari posisinya.
"Besok ada transaksi ekstasi dengan Tuan Park. Kau sudah tahu bukan?"
Hyunjin mengangguk sembari mengusak surai hitam Jeongin yang masih duduk, ikut mendengarkan.
"Benar. Dia minta dalam jumlah banyak. Kau harus membawa dengan selamat sampai masuk jet pribadinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
PRETENDER [HYUNJEONG]
Fanfic[END] Ia hanya ingin bertahan hidup. Dunia kejam penuh pembunuhan dan bau mesiu bukan sesuatu yang Ia harapkan. Di tengah keputusasaan, Jeongin ingin hidup tanpa penyesalan. Meskipun itu berarti mengotori tangannya dan mengabdi sepenuhnya kepada...