1. Awal Perubahan

14.7K 761 20
                                    

"Eh, Jeng. Bukannya keluarga Wijaya itu punya tiga menantu, ya? Kok, yang sering keliatan cuma dua?"

"Iya, betul Jeng Susi. kalau nggak salah istrinya si Wisnu. Dia, kan menantu dari anak pertama, tapi kenapa sampe sekarang masih belum bisa kasih cucu?"

"Mungkin dia pemalu, atau bisa jadi keluarga Wijaya yang malu ngenalinnya sama kita. Denger-denger dia itu cuma anak haram entah dari keluarga konglomerat yang mana."

Sejenak kegiatan perempuan yang tengah menuangkan teh dalam gelas itu terhenti. Meskipun pakaian pelayan melekat di tubuhnya saat ini, hal tersebut sama sekali tak bisa menutupi indentitas aslinya.

"Nya ...." Gadis berpakaian sama yang berdiri tepat di sampingnya mengiba. Dia jelas menyadari bahwa orang bersangkutan yang tengah dibicarakan ibu-ibu sosialita itu sedang ada di sampingnya kini.

Kalina Fathira, perempuan berusia tiga puluh dua tahun yang merupakan menantu pertama dari keluarga konglomerat Wijaya. Kenyataan tentang status sosialnya yang tinggi, sama sekali tak bisa mengubah pandangan orang-orang di sekitar tentang alasannya menjadi bagian dari keluarga ini, dan istri dari seorang Wisnu Adiwijaya. Dia direndahkan, diremehkan, bahkan diperlakukan semena-mena tak ubahnya para pelayan di kediaman megah tersebut.

"Nggak apa-apa, Ci. Udah biasa saya denger yang begini." Ekspresi Kalina tetap sama. Seulas senyum tipis tersungging di wajahnya yang biasa datar dan nyaris tanpa ekspresi.

"Tapi, Nya ... mereka itu bener-bener keterlaluan. Masa biarin menantu jaga stan makanan di depan dan ngelayanin orang-orang dengan mulut kek comberan? Mana ini acara nggak guna banget lagi. Tibang anak lulus TK, terus masuk SD aja pake kudu dirayain," sungut Cici, satu-satunya asisten rumah tangga yang paling mengerti Kalina, dan selalu gemas dengan perlakuan anggota keluarga Wijaya pada menantunya yang satu ini.

"Nggak apa. Lagian Thea cucu pertama di keluarga ini. Mungkin acara ini termasuk salah satu rasa syukur mereka karena diberi cucu yang cantik dan cerdas seperti Thea," sahut Kalina masih dengan sikap tenangnya.

"Nggak kebayang kalau suatu saat nanti mereka dapet cucu laki. Auto sewa bunderan HI terus bikin party di atas Monas," cibir Cici sembari mengepalkan tangan menahan geram.

Kalina hanya terdiam mendengar ocehan Cici, sembari menata kembali gelas-gelas berisi Thai Tea untuk disuguhkan pada para tamu undangan yang lalu-lalang di depan.

"Excusme, pelayan!" Sebuah panggilan menginterupsi keduanya.

Cici yang menyadari, langsung memutar bola mata dan memasang tampang julitnya.

"Cih, Dede Lampir bunting pasti mau berulah," cetusnya. "Biar saya aja yang samperin, Mendingan Nyonya tunggu di sini!" tambah Cici sembari berlalu menghampiri perempuan yang diketahui istri dari putra bungsu di keluarga Wijaya. perempuan berambut panjang curly dengan perut membuncit itu terlihat baru saja duduk di antara para ibu sosialita yang menggosipkan Kalina tadi.

"Ee, ee, eh. Bukan, kamu, Ci. Panggilin Lina!"

"Astaga. Sudah kuduga bakal kek gini. Itu bini ipar pertama lu sendiri, Della. Panggil nama seenaknya kagak ada sopan-sopannya," batin Cici menjerit. Akhirnya dia hanya bisa memutar tubuh dan menghadap Kalina dengan wajah sendunya.

"Nggak apa-apa, Ci." Lagi-lagi Kalina mengeluarkan kalimat andalannya untuk meyakinkan Cici bahwa dia baik-baik saja selama ini.

"Thai teanya mana?" tanya Della setengah membentak saat Kalina sampai di hadapannya.

"Pan elu belum minta, Lam--" Bergegas Cici membekap mulut saat melihat Dela melotot ke arahnya.

"Cici! Ambilin saya pudding cokelat di stan pojok sana. Nggak usah pake toping, pake piring yang diameternya lima inci, garpunya harus yang warna pink, sebelum dipake kamu cuci dulu sepuluh kali!"

Menantu yang Diremehkan Ternyata Meresahkan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang