Nine

611 76 8
                                    

"Yakin tidak mau pulang denganku?" Logan menyandang tas di sebelah bahu, bertanya ringan.

"Aku datang bersama Ash dan aku akan pulang dengannya. Rumah kami berseberangan." Aku memberi jawaban senetral mungkin. Logan hanya menanggapi dengan mengangkat bahu sambil memasang tampang pura-pura terluka.

"Padahal aku sudah memikirkan macam-macam pendekatan yang akan kulakukan sepanjang jalan. Aku yakin kau akan jatuh cinta padaku bahkan sebelum kita tiba di rumahmu."

Aku tertawa, yang disambut dengan seringai lebar Logan. Panggilan dari balik punggung menghentikan tawa lepasku.

"Ayo, Sky."

Asher berdiri di belakangku, tampak ingin segera pergi. Atau dia hanya sekadar tidak suka melihatku mengobrol terlalu lama dengan Logan. Padahal mereka berteman. Namun saat ini, Asher menampakkan aura permusuhan yang sangat jelas. Apalagi setelah dia melihat Logan mencium pipiku pagi tadi.

"Sampai ketemu di kampus." Kulambaikan tangan sambil berjalan mendekati Asher. Logan mengedipkan sebelah mata, lalu pergi menuju lahan parkir tempat mobilnya berada.

"Kalian bicara apa?"

"Wow... chill, Ash. Aku hanya berpamitan pada teman sekamarku," kataku geli. Ekspresi Asher melunak setelah mendengar kalimatku. Kini rasa malu menggantikan raut jengkelnya.

"Maaf. Aku tahu bahwa aku tidak berhak bersikap begini."

"It's okay. I'm happy if you're jealous."

Asher memberengut, lalu mengalungkan lengan di seputar leherku sambil mengacak rambutku. "Happy, hah? Take this."

Aku memekik karena kini dia benar-benar membuat rambutku berantakan. Asher tergelak, dan saat ini aku yang menggerutu sambil berusaha melepaskan diri darinya.

"Asher."

Melissa muncul di hadapan kami nyaris seketika. Tawa Asher memudar, bersamaan dengan rangkulannya yang melonggar.

"Can we talk?" Melissa terlihat... tidak senang. Aku yakin isi pembicaraan mereka tidak akan menyenangkan.

"Yeah. Sure." Asher melepaskanku, mengikuti langkah Melissa setelah berbisik kepadaku. "Tunggulah di mobil."

Dia pergi setelah memberiku senyum sekilas. Aku tidak bergerak dari tempatku seperti yang dia suruh. Batinku berperang. Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Aku tahu menguping itu tidak baik. Namun rasa penasaranku tidak terbendung. Alih-alih pergi ke lahan parkir, aku mengikuti langkah Asher dan Melissa dari jarak aman. Mereka pergi ke bagian samping villa yang agak tersembunyi, tepat di tepi hutan.

"Apa-apaan ini, Asher?" Kudengar Melissa bertanya dengan suara tinggi.

"Apa maksudmu?" Asher balik bertanya tenang.

"Kau yang lebih dulu bilang suka kepadaku, karena itu aku mengajakmu berakhir pekan ke sini. Tapi apa yang terjadi? Kau lebih banyak menghabiskan waktu bersama gadis yang kau bawa daripada diriku."

"Namanya Skylar. Kami berteman sejak kecil."

"Aku tidak perlu ingat namanya, aku pasti akan lupa sebentar lagi. Is this a joke for you?" Melissa terdengar kesal. Kekesalan yang sebentar lagi akan berubah menjadi amarah.

"I meant what I said to you earlier. But right now, I need to reconsider. I'm sorry."

"Apa kau baru saja mencampakkanku?"

"Kita tidak pernah berkencan, Melissa."

"You said you like me!"

"I know. Aku juga menyukaimu. Hanya saja... "

"So, you still like me?"

"Melissa... "

"Are you?"

Selama beberapa saat, tidak ada suara. Aku menggeser tubuh lebih dekat, berusaha mendengar lebih jelas karena mengira Asher sengaja memelankan suaranya.

"I am." Lalu kudengar jawaban Asher yang membuatku membeku. Aku tidak bergerak. Tubuhku kaku oleh sensasi dingin yang mendadak membanjiri diri. Padahal ini adalah musim panas.

"I like you, Melissa." Asher kembali bicara, menoreh luka lebih dalam di hatiku. "But as a... "

Kalimatnya tidak selesai. Aku tidak tahu apa penyebabnya, dan aku mengutuk rasa ingin tahu yang mendorong tindakanku. Kulongokkan kepala, lalu pandanganku berubah muram saat melihat pemandangan di hadapanku.

Asher dan Melissa berciuman. Aku tidak tahu siapa yang memulai, tapi bibir mereka saling mengunci satu sama lain. Mata Asher terbuka lebar, menampakkan keterkejutannya. Namun aku tidak lagi peduli meski reaksi Asher menunjukkan bahwa bukan dia yang memulai ciuman tersebut. Aku berjalan mundur, menubruk salah satu pot bunga dalam prosesnya. Bunyi benda pecah terdengar memekakkan, dan aku langsung membalikkan tubuh dan mulai berlari.

"Sky!"

Seruan Asher menghentikan langkahku. Kupalingkan wajah hingga menatapnya. Bibirku bergetar dan pelupuk mataku mulai basah. Aku tidak bisa melihat raut wajah Asher dengan jelas karena air mata yang menggenang. Aku tidak ingin tahu. Saat ini, aku hanya ingin jauh darinya. Aku kembali berlari, menunduk untuk menyembunyikan air mata yang mulai jatuh. Sesuatu yang keras menghentikanku saat aku menabraknya.

"Hei!" Sebuah tangan kuat mencengkeram lenganku ketika aku mulai terhuyung karena tubrukan tersebut. Wajah Logan memenuhi lapang pandangku. Tatapan herannya berubah waspada saat melihat aliran bening di pipiku.

"Ada apa?" Logan mengusap air mataku yang jatuh, menyapukan ibu jarinya dengan lembut. Namun aku terlalu fokus pada tujuanku melarikan diri.

"Lepaskan aku."

"Skylar... "

"Lepaskan aku!"

Aku menyentak tangannya kasar, mengambil gerakan menjauh dari Logan begitu berhasil membebaskan diri. Kedua kakiku kembali berlari, membawaku sejauh mungkin. Aku tidak tahu ke mana. Aku hanya ingin pergi.

Lebih banyak teriakan yang kudengar di belakangku. Samar-samar, aku mengenalinya sebagai milik Logan dan Asher. Mereka bertengkar. Saling memaki. Lalu bunyi benda yang menghantam lantai beton menyusul kemudian. Atau mungkin seseorang. Aku tidak lagi menghiraukannya.

Pelarian kecilku berakhir di halaman villa yang juga menjadi lahan parkir. Aku tidak tahu kenapa aku ke sini. Mungkin insting melarikan diri membawaku pada satu-satunya kendaraan yang bisa membawaku pergi. Mobil Asher. Namun aku tidak memiliki kuncinya. Dan lagi, itu bukan mobilku.

Langkah kakiku mulai melambat. Tidak ada lagi panggilan maupun teriakan. Aku mulai menangis sesenggukan tanpa berhenti berjalan. Tak lagi berlari. Tangisku terdengar merana bahkan oleh telingaku sendiri. Asher berjanji padaku, dan dia mengingkarinya. Hanya itu yang memenuhi pikiranku saat ini. Aku tersedu makin keras. Berjalan tak tentu arah. Tidak memedulikan sekelilingku. Mungkin seharusnya aku lebih memperhatikan.

Awalnya, mobil itu hanya diam tak bergerak. Sama seperti kendaraan lain yang terparkir. Lalu mendadak, pengemudi di dalamnya melakukan gerakan mundur. Tanpa aba-aba dan begitu tiba-tiba. Aku tepat berada di belakang Ford putih itu saat mesinnya berderu keras. Mengancam untuk melindasku dengan roda-rodanya. Kakiku siap menjadi penyelamat, tapi tidak cukup cepat.

"SKY!"

Teriakan itu datang bersamaan dengan tubrukan yang menghempaskanku.

***

Just... Friends?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang