Elno Sarega, Tujuh belas tahun, remaja dari keluarga tidak mampu yang mendapatkan beasiswa di SMA Mahkota, tempat para anak orang kaya menimba ilmu. Sekolah ini tiap tahunnya selalu meluluskan anak-anak berkualitas dari segi ilmu, maka dari itulah SMA Mahkota menjadi harapan Elno untuk masa depannya yang dia harapkan cemerlang.
Baik dari segi ilmu…ya, untuk kepribadian serta perilaku murid mungkin harus diperbaiki. Pembullyan kerap kali masih terjadi, akibat ada dua perbedaan statra sosial. Menjadikan sebagian anak orang berada merasa menjadi penguasa. Buktinya, mari kita sorot gadis pendek berbadan kurus.
“Balikin tas gue,” pinta gadis malang itu, tas sekolahnya dijadikan bulan-bulanan teman seangkatannya, dilempar ke sana ke mari.
“Tas udah bolong gini masih dipakek, miskin, ya? Hahaha,” ejek salah satu pembully itu. Gadis kurus tersebut menundukkan kepalanya.
“Kalau lo ngerasa kaya raya, kenapa gak beliin dia tas baru? Bangkrut, ya?” Semua orang terkesiap, melihat Elno si Pangeran tanpa istana membela gadis kurus.
Elno tampan, pintar, berwibawa di usianya. Hanya saja, dia bukan dari keluarga kaya yang punya rumah megah, maka dari itu julukan Pangeran tanpa istana terasa pas untuknya.
“Ngehina gue, lo?” Elno mengangkat bahunya acuh, baguslah kalau yang disindir merasa.
“Miskin jangan belagu, lo di sini berkat sekolah yang kasian sama murid miskin kayak kalian.” Salah satu dari pembully itu melemparkan tas ke muka gadis kurus tadi. “Kita pergi, pertunjukannya jadi gak seru karena ada dia,” ucap ketua pembully sambil melirik Elno tajam.
Mereka semua membubarkan diri, termasuk Elno yang berlalu dengan tangan terkepal. Kalau bukan karena beasiswa yang mengharuskan penerimanya berperilaku baik, sudah dari dulu ia akan menjotos satu persatu murid yang berlagak seperti penguasa itu.
“Beli berapa?” tanya Elno kepada gerombolan cewek berseragam putih biru yang mengerubungi dirinya.
Pada jam pulang sekolah, jangan harap Elno bisa bersantai ria seperti kebanyakan remaja seusianya. Berjualan makanan ringan, adalah salah satu dari pekerjaan sampingan yang dia jalani demi membantu ibunya.
“NGAKU, KAKAK ARTIS NYAMAR, ‘KAN?” todong mereka.
Elno menghela napas capek, “bukan.”
“Kami gak percaya, kameranya pasti tersembunyi, iya, ‘kan?” Kali ini Elno menggeleng seraya membungkus camilan mereka menggunakan kresek.
“Dua puluh lima ribu.”
Mata para gadis itu makin membelalak. “TUH, HARGANYA MURAH. PASTI KAKAK SENGAJA JUAL MURAH KARENA GAK BUTUH DUIT, CUMAN MENGISI WAKTU GABUT AJA.”
“Saya bukan artis atau orang kaya nyamar,” jelas Elno serius. Apa baju lusuhnya dan muka kusam karena keringat belum juga meyakinkan mereka?
“Ih, tapi kakak wajahnya blasteran gini.”
“Oh,” balas Elno.
“Ngomongnya juga singkat-singkat, sangat tidak ramah kepada pembeli. Jadi kami yakin kalau uang bukan alasan kakak jualan.”
Demi bayar kontrakan tiap bulan seharga Tujuh ratus ribu, kenapa anak-anak di bawah umur ini tidak juga membayar lalu pergi? Berdehem sebentar, “permisi, tolong segera membayar. Saya mau jualan ke tempat lain.”
Para gadis itu mau tidak mau akhirnya mengangguk, “sebelum itu kita foto dulu, yuk, kak….”
Tersenyum tipis, selalu saja seperti ini. Namun, dia berterima kasih kepada Tuhan, karena memberikannya paras rupawan dan otak pintar. Dengan rupanya yang terbilang tampan, dia dengan mudah menarik para konsumen untuk membeli camilan buatan ibunya.
Harum masakan tercium saat Elno memasuki kontrakan kecilnya. “Ibu masak apa?” tanyanya sesampai di dapur yang terhubung dengan tempat makan juga kamar mandi.
“Tumis kacang panjang pedes, kesukaan kamu. Kamu mandi dulu, gih. Ibu siapin makan untuk kamu,” perintah ibunya yang bernama Sarah.
Elno menurut, tidak pernah sekalipun dia menolak perintah dan permintaan wanita yang melahirkannya.
Ayahnya? Pria itu merantau dan belum pernah kembali sejak tujuh tahun lalu. Dan kepala keluarga itu tidak pernah lagi mengirimkan uang sejak Elno memasuki SMP.
“Kamu pasti capek, ‘kan?” tanya Sarah sambil menuang air ke gelas untuk anaknya.
“Sedikit,” jawab Elno tidak ingin ibunya khawatir berlebihan.
Terkadang dirinya ingin sekali mencari pria yang lalai dari tanggung jawab atas keluarganya itu, kemudian memukulinya dan mengeluarkan umpatan sebagai bentuk kebenciannya yang teramat sangat. Lalu membawanya ke hadapan sang ibu, menyuruhnya minta maaf atas kesengsaraan yang mereka alami, yang ia tangkap dari penjelasan Sarah dulu adalah, ayahnya merantau setelah menjual rumah mereka sebagai uang saku ke negara tetangga.
“Harusnya ibu—“ “Ibu cukup terima pesenan bikin kue, gak boleh jadi pembantu apalagi sampai merantau kayak bajingan itu,” sela Elno, ia menatap makanannya yang tinggal separuh. “Kalau ibu juga pergi, nanti aku sama siapa di sini?”
Sarah mengelus tangan anaknya yang terkepal. Merutuki dirinya sendiri sebab tidak bisa memberikan kehidpan yang layak untuk anak satu-satunya ini.
•♛•
“Cepet siap-siap, El. Pelanggan banyak banget ini, Arta gak masuk hari ini, lo bisa handel dua tugas sekaligus, ‘kan?” tanya pemilik kafe.
Elno langsung menganggukkan kepala, mencatat pesanan dan mengantar tidak terlalu sulit.
“Lo mentang-mentang kesayangan bos enak banget dateng jam segini,” sindir rekan kerjanya.
Elno cuek, sudah biasa dibeginikan oleh dua orang teman kerjanya ia heran laki-laki, kok, mulutnya lemes sekali. Dari awal dia kerja di sini, dua orang yang bernama Putra dan Doni itu sama sekali tidak welcome kepadanya.
“Tiga cokelat panas, dua kue stroberi, satu croissant,” ulang Elno kepada pelanggan.
“Masnya, gak minat jadi model?” tanya salah satu pembeli.
Lagi-lagi itu yang ditanyakan, Elno sampai heran. “Pesanan akan datang kurang lebih lima menit, mohon ditunggu.” Elno menyobek catatan kecil pesanan para pelanggan tadi, memberikannya ke Doni.
Hanya dua orang yang bertugas di bagian dapur, karena Elno merasa kasian, ia langsung mengambil alih membuatkan cokelat panas.
“Udah megang dua kerjaan, sekarang serakah mau ambil kerjaan lo Put,” sindir Doni. “Ya siapa yang gak mau banyak kerjaan, biar bonusnya tebel,” jawab Putra.
Prak…. Elno menaruh sendok dengan kasar ke westafel pencuci alat masak.
“Ada yang kesindir rupanya, hahaha….”
“Ekhm, kalian kalau cuman mau bacot bilang, supaya gue pecat kalian karena udah gak guna di kafe gue. Di sini tempat kerja, bukan unjuk bacot.” tegas pemilik kafe.
Pemilik kafe itu tahu betul hidup sulit Elno, ia juga tahu kalau dua pekerjanya yang lain selalu julid kepada Elno. “Kalau sampai kalian mengulangi hal kayak tadi, gue gak segan-segan pecat kalian, tinggal satu kesempatan ini. Kenapa Elno jadi anak emas gue? Karena dia bener-bener serius kerja dan gak banyak omong,” tekannya kepada Putra dan Doni.
Ketika di dapur sedang terjadi keributan, cowok yang diperdebatkan oleh mereka malah diam di balik mesin kasir.
Elno menatap kertas kecil di tangannya, kertas itu adalah kartu nama dari seorang laki-laki yang menghamipirinya tadi. pria itu menawarkannya untuk menjadi model.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and The Poor
Teen Fiction"Gimana kalo lo training gue jadi orang susah?" Kesya menuangkan idenya yang absurd. "Sinting, lo?" Elno seorang cowok miskin, hari-harinya tidak jauh dari kata bekerja, sekolah pun ia mendapat beasiswa atas kepintarannya. Hingga suatu hari dirinya...