Uang bukan jaminan kehidupan. Hei, gak punya uang di dunia sama dengan mati secara perlahan – Namecodes.
Angin malam berhembus sedikit kencang, membiarkan udara dingin membelai pundak tanpa lapisan kain.
“Waktunya pulang, Nona.”
“Nggak! Gue masih mau di sini.”
Seseorang yang dipanggil bodyguardnya nona itu memberontak saat ia akan diseret paksa.
“Sudah pukul sembilan, itu batas yang diberikan tuan besar,” jelas bodyguar sekali lagi.
“No, no, no.”
“Menurutlah, Nona Kesya, Tuan besar bilang kalau nona tidak mau pulang, maka fasilitas Nona akan disita.”
Kesya mencak-mencak, ia berjalan dengan kaki dihentakkan menjauhi pusat perbelanjaan yang ia gunakan untuk menghabiskan waktu bersama para sahabatnya. Gadis itu menekuk wajahnya, kalaupun dirinya pulang, ia akan kesepian.
Orang tuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, mamanya pulang seminggu tiga hari, sedangkan papanya bisa satu bulan tidak pulang. Mereka sama-sama pebisnis yang suka ke luar kota.
“Makan malam telah siap nona,” tutur pembantu di rumahnya.
Kesya mengangguk, ia langsung menuju ruang makan. Matanya berbinar begitu makanan kesukaannya telah dihidangkan. “Lapar…pura-pura bahagia juga butuh tenaga.” Kesya belum makan makanan berat sejak tadi pagi, perutnya rindu nasi, tetapi sahabat-sahabatnya selalu melarangnya makan makanan berkarbohidrat itu untuk menjaga berat badan tubuhnya.
“Nona, baru saja Nona Senja mampir dan bilang, tagihan kartu kreditnya dilimpahkan kepada Anda.”
“Bayar saja, Pak. Aku lagi pusing,” pesan Kesya kepada sopirnya.
Tersenyum miris, sahabat paling dekatnya bahkan tidak menemuinya dulu. Malah membebankan apa yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya.
“Tapi, kalau Tuan besar bertanya—“
“Papa itu urusan aku, pokoknya bayarin aja.” Kesya kemudian menarik salah satu wanita yang selalu ada untuknya sejak kecil agar duduk di sampingnya, orang itu adalah pengasuhnya. “Arti sahabat itu kayak gimana menurut bibik? Yang ada disaat susah senang? Yang selalu dengerin kita? Atau sahabat cuma karena uangnya aja?” tanyanya.
Wanita yang rambutnya mulai beruban tersenyum keibuan. “Semuanya benar, kecuali yang terakhir.”
Kesya menyudahi acara makan malamnya, “susah, ya, bik. Jadi miskin dijauhin, jadi kaya dimanfaatin.”
“Hidup bersama orang lain memang begitu, masalah tiap orang beda-beda, ada yang mau beli ini itu gak mampu, ada juga yang hidupnya nggak damai walaupun dia banyak uang.”
Nasihat akhir dari pengasuhnya itu sedikit menyinggungnya, tetapi itu adalah fakta kehidupan. “Jadi menurut bibik, aku harus gimana? Menjauh dari mereka, ‘kan, mereka sahabatnya aku.”
“Yang paling tahu mereka itu bukan bibik, tapi Non sendiri. Kalau memang arusnya terlalu keruh, segera dijauhi, embel-embel lainnya jangan diikutsertakan kalau demi kebaikan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and The Poor
Novela Juvenil"Gimana kalo lo training gue jadi orang susah?" Kesya menuangkan idenya yang absurd. "Sinting, lo?" Elno seorang cowok miskin, hari-harinya tidak jauh dari kata bekerja, sekolah pun ia mendapat beasiswa atas kepintarannya. Hingga suatu hari dirinya...