Kita harus mendengarkan, memahami, lalu berdiskusi – Elno & Kesya.
Jangan lupa vote dan komen, ya♛
Kesya menatap penuh minat ke sekelilingnya, biasa saja sebenarnya. Kawasan menuju rumah Elno tadi sepi, ibunya Elno bercerita kalau lingkungannya memang jarang ada orang yang keluar rumah kalau bukan karena kerja atau hal penting.
“Kamu jadi teman Elno udah berapa lama? Soalnya jarang banget Elno cerita tentang temennya apalagi perempuan,” selidik Sarah.
“Barusan, Tan,” jawab gadis itu jujur.
Sontak saja Sarah terkejut dibuatnya, anaknya berani sekali mengajak seorang gadis yang baru menjadi temannya ke rumah.
“Dia kabur dari rumah, Bu.”
Elno datang dengan membawa air minum dan makanan untuk Kesya, atas permintaan ibunya.
“Thank you,” ucap Kesya. Ibunya Elno ramah sekali, suaranya lembut mengingatkannya kepada mamanya.
Untuk pertama kalinya, Kesya memperhatikan dengan heran salah satu hidangan yang terbungkus daun pisang, itu bukan pepes, tetapi sepertinya rasanya manis, karena terbuat dari mutiara dan terdapat roti tawar.
“Gimana, enak?” tanya Elno, sambil memperhatikan raut wajah
Kesya ketika mencoba hidangan manis itu.“Enwak,” balas Kesya. “Gak terlalu manis, gue sukak….” lanjutnya setelah berhasil menelan makanannya.
Sarah tersenyum senang, mendengar masakannya dipuji, apalagi melihat gadis itu makan dengan lahap. “Ayo makan lagi, kalo kamu mau nanti kita makan malem sama-sama, mau gak?” tawarnya mendapatkan pelototan tak setuju dari anaknya.
“Mau banget, Tante,” balas Kesya semangat. Berdekatan dengan ibu gebetannya, mana mungkin dirinya menolak. Ditawari makan malam pula.
Ibu dari Elno kemudian mengajak bicara panjang lebar gadis yang dikenalnya dengan nama Kesya.
“Itulah pentingnya memilih pergaulan, semakin nambah umur, kita juga harus cermat memilih mana yang baik juga yang bukan. Kalau kejadiannya seperti yang kamu ceritakan tadi, itu artinya Tuhan sudah membukakan jalan yang baik buat kamu.”
“Kesya setuju, emang, sih, masih berat buat pisah sama mereka. Tapi mau gimana lagi, kalau aku terusin malah nambah sakit hati,” keluh Kesya.
“Berkorban untuk sesuatu yang lebih baik memang susah, tapi Tante yakin, kalau Kesya anak yang berani.”
Elno berdehem menyela pembicaraan kedua perempuan itu. “Kesya gak bisa makan di sini, Bu. Nanti orang tuanya cariin, tadi dia ke sini cuman pamitan sama sopir.”
“Loh, beneran, Kes?”
“Tapi gak masalah, kok, Tan. Pasti sopir aku udah laporan ke Papa, lagian orang tua aku enggak ada di rumah.”
Sarah mulai paham, dari awal gadis ini memasuki rumahnya sudah terlihat bahwa dia berasal dari keluarga berada, yang biasanya pekerjaan orang tua anak kaya raya adalah pebisnis yang suka ke luar kota.
“Sekarang Tante mau masak buat makan malam sebentar, ya. Kamu di sini dulu ditemenin Elno,” ujar Sarah. Sepeninggal Sarah, mereka berdua saling pandang.
“Lo gak keberatan di sini?”
“Keberatan kenapa?”
“Kontrakan gue gak sebagus dan nyaman kek rumah lo.”
Mimik wajah Kesya berubah cemberut, “bisa gak sih, jangan ungkit-ungkit masalah harta orang tua gue. Gue cuman mau bebas,” protesnya.
“Hm?” heran Elno. “Harusnya lo bersyukur bisa dapat kenyamanan dari lahir, orang tua lengkap, rezeki lo lancar, sama banyak teman. Gak semua orang bisa berada dalam posisi lo.”
“Lo gak bakalan ngerti,” sangkal Kesya.
“Coba jelasin supaya gue paham,” pinta Elno melembutkan suaranya.
Hati Kesya menjadi trenyuh.
Menarik napas panjang, Kesya menegakkan punggungnya. “Gue ngerasa gak ada yang tulus sama gue, sahabat gue dulu juga cuman mau duit gue. Bukan gue gak bersyukur dapetin apa yang lo sebutin tadi, tapi dalam hati gue merasa berat banget, kayak ada beban tapi nggak nyata.”
Elno mengangguk mendengar curahan Kesya.
“Gue seperti terkurung dalam sangkar, orang tua gue gak posesif, tapi yang jadi masalah adalah sahabat-sahabat gue dulu. Gue cukup bodoh dalam memilih teman, beruntungnya gue udah lepas sama mereka, tapi lo tau sendiri, ‘kan. Mereka masih ngejar-ngejar gue, sebenernya bukan pertama kali gue dimanfaatin, bukan sama mereka doang, ada banyak orang.”
“Jadi kaya raya emang gampang-gampang susah ternyata,” balas Elno.
“Kalo jadi kaya raya susah, rasanya jadi miskin gimana?” tanya Kesya polos.
“Orang kayak lo gak akan bisa paham gimana hidupnya orang susah,” jawab Elno.
“Ya, mangkannya jelasin.”
Memang kalau sudah dijelasin dia mau ngasih duit apa?
“Sesuatu yang nyata gak bisa hanya dijelasin secara teori aja, lo harus ngerasain langsung gimana hidup susah,” jelas Elno. “Contohnya ada orang bilang belum makan Tiga hari, lo cukup tau sama kasian doang, buat ikutan ngerasain nahan sakit perut karena lapar enggak, ‘kan?”
Ya...iya juga sih.
Ting! Kalau bisa digambarkan sekarang seperti ada bla lampu kuning yang menyala di dalam otak Kesya.
“Gimana kalo lo training gue jadi orang susah?” Kesya menuangkan idenya yang absurd.
“Sinting lo?” dimana-mana orang itu mau hidup layak, enak, dan bahagia. Kenapa gebetammya yang ini beda? Bukankah dia harusnya merasa senang, bahwa gadis itu ternyata mau hidup susah? Oh, nggak, dia bukan orang seperti itu, di masa depan nanti dia akan menjadi orang sukses dan akan membahagiakan gadis pujaannya, entah Kesya atau bukan.
“Lo nggak setuju, ya?”
“Jelas, lah.” Ujar Elno sewot. “Lagian lo kenapa mau cobain rasanya hidup susah?” Lebih tepatnya dia tidak ingin gadis itu mengalami kesusahan, sepertinya.
Kesya menggembungkan pipinya, hal itu membuat Elno menggigit bibirnya gemas.
“Selain gue dapet makna hidup, gue juga mau ngetes mereka-mereka yang ingin balik ke gue, lebih tepatnya gue mau nyamar,” terang Kesya. Melihat Elno membuka mulut ingin bicara, dia segera menyela. “Lo gak setuju? Gimana kalo kita tukar hidup kita?”
Oke, gadis ini sudah gila maksimal.
“Apa maksudnya kalimat lo barusan?”
“Gue jadi lo, lo jadi gue. Lo tinggal di rumah gue, dan sebaliknya, gue tinggal di sini.”
Jadi ceritanya Kesya mau bikin cerita ‘Nasib Yang Tertukar’?
“Kalian lagi bahas apa?” tanya Sarah. Ia datang membawa nasi dalam wadah sedang, serta lauk pauk sederhana. “Tolong gelarin tikar, El.”
“Lagi bahas alam semesta, Tan. Sini aku mau bantuin,” balas Kesya. Ia membantu mengisikan tiga piring itu dengan nasi.
Malam ini dihiasi canda tawa mereka, tepatnya hanya Kesya dan Sarah yang meramaikan suasana. Semakin larut, belum ada tanda-tanda gadis itu untuk minta jemput sopirnya. Setelah membereskan sisa makan malam, mereka duduk memandang televisi kecil yang menayangkan acara Talk Show.
Kesya menatap penuh perhatian ke arah Elno, mata cowok itu tidak lepas dari buku pelajaran. “Lo ada PR, El?”
“Emang harus ada PR dulu baru buka buku?” tanya balik Elno, tanpa mengalihkan pandangan dari soal matematika. “Kapan lo pulang?”
Bukan menjawab pertanyaan Elno, Kesya malah memegang tangan Sarah, menatapnya memohon seperti tadi sore yang dia lakukan kepada Elno. “Boleh, gak? Aku nginep di sini?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and The Poor
Teen Fiction"Gimana kalo lo training gue jadi orang susah?" Kesya menuangkan idenya yang absurd. "Sinting, lo?" Elno seorang cowok miskin, hari-harinya tidak jauh dari kata bekerja, sekolah pun ia mendapat beasiswa atas kepintarannya. Hingga suatu hari dirinya...