Bab. 2

673 56 4
                                    

Kata-kata legend ketika didalam kelas diantaranya; bosen nih, jam berapa?, gue ngantuk, gue laper, mudah-mudahan guru gak masuk, emang ada ulangan sekarang?, mampus gue belum ngerjain PR, nyontek dong, punya pulpen dua gak?, lo ngerti gak?, gak paham gue, ke toilet yuk. Poin keenam yang saat ini ditanyakan oleh Nadiv ketika lelaki itu baru saja masuk ke kelas. Matanya menatap heran kepada teman-temannya yang sibuk membolak-balik buku. Mereka tampak seperti sedang belajar.

Kemudian ia melihat Rangga dan Didan sedang duduk di bangkunya. Bangku yang sangat strategis. Letaknya di pojok belakang barisan kursi guru. Sangat menguntungkan bagi siswa-siswa yang suka mencontek. Itulah mengapa Nadiv, Didan, dan Rangga memilih bangku itu. Mereka duduk dikursi tiga baris berturut dari belakang.

Nadiv menghampiri Didan dan Rangga. Kemudian ia duduk di bangkunya yang paling belakang.

"Emang ada ulangan sekarang?" tanya Nadiv.

"Makanya jangan kebanyakan ngebucin. Ada ulangan aja lo gak tau. Padahal bu Meta udah ngasih tau kemarin," ucap Didan sedikit sinis.

"Gue cuma butuh jawaban 'iya' atau 'ngga' bukannya ceramah elah," dengus Nadiv.

Didan dan Rangga hanya diam tak menanggapi. Mereka sibuk membaca buku yang ada ditangannya. Bukan membaca, hanya sekedar melihat sekilas. Karena kecil kemungkinan kalau mereka benar-benar belajar.

Tak lama berselang, bel sekolah pun berbunyi. Hal itu membuat seluruh penghuni XI IPS 1 kelabakan. Tidak sampai lima menit, bu Meta sudah masuk ke kelas itu. Tampak ia membawa tumpukan kertas HVS yang di yakini kalau itu kertas ulangan.

"Kumpulkan buku catatan kalian. Ibu mau periksa," pinta bu Meta.

Sontak Nadiv membuka matanya lebar. Ia kaget dengan ucapan bu Meta. Pasalnya baru kali ini guru itu meminta muridnya mengumpulkan buku catatan. Biasanya ketika ulangan, bu Meta akan langsung membagikan kertas. Tidak ada acara mengumpulkan catatan. Tapi kali ini? Nadiv tidak masalah jika ia memiliki catatan. Paling tidaknya dibuku sejarah itu ada tulisan sedikit.

Tapi buku sejarah Nadiv dari pertama masuk kelas sebelas sampai sekarang itu masih bersih. Masih putih tidak ada tulisan apapun selayaknya buku baru. Apalagi lelaki itu tidak pernah membawa pulang bukunya. Iya, Nadiv selalu menyimpan bukunya itu di laci mejanya. Dengan alasan lebih mudah mencarinya ketimbang dirumah.

"Mati gue. Gue gak ada catatan anjing," ucapnya pada Didan, lelaki itu duduk tepat didepan bangku Nadiv.

Didan menoleh, tampak raut wajah Nadiv yang kusut. Tidak masalah jika guru yang ia hadapi ini bu Tini atau pak Bowo. Dua guru itu selalu kalah dengan Nadiv. Tapi ini bu Meta, seluruh Grand Nusa pun tahu reputasi galak yang disandang guru itu.

"Ya mana gue tau lah. Lagian lo kalo disuruh nyatet malah molor," ucap Didan.

Memang benar, Nadiv selalu tidur atau keluar kelas ketika diberi catatan oleh guru. Katanya, ia malas mencatat karena membuat tangan pegal. Kalau tidak mau mencatat kenapa sekolah? Aneh Nadiv.

"Terus gue gimana? Mati gue kalo ketauan gak punya catatan, eh tapi lo berdua juga belum kan? Aman lah, gue ada temen," ucap Nadiv lagi sedikit tenang. Ia yakin kedua temannya juga belum mencatat. Ia ingat kalau kemarin mereka bertiga membolos pelajaran disaat bu Meta tidak masuk.

"Kalo lo nyatet sekarang, gak bakal keburu. Ini banyak soalnya. Sorry, Gue sama Rangga aja sampe jam 2 pagi nyatet ini, karena feeling gue, bu Meta bakal minta catatan. Ternyata bener kan?" ucap Didan lagi.

Ia ingat betul kemarin malam ia dan Rangga sibuk mencatat pelajaran sejarah. Mereka meminjam buku Sindi, siswi unggulan dikelas ini.

"Lo kenapa gak ajak gue bangsat!" desis Nadiv kesal karena dua sahabatnya ini tidak mengajaknya.

Drowning In The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang