Tidak ada yang baru. Semuanya masih tentang dirimu
***
"HENGGAR!!" pekik Rallin kala lelaki itu melayangkan satu pukulan tepat di wajah Nadiv.
Nadiv mengerang kesal saat ia terjatuh bersama motornya. Untung saja ia tidak tertimpa. Nadiv menatap Henggar dengan tajam kemudian bangkit.
Nadiv mendorong keras bahu Henggar sampai membuat lelaki itu mundur beberapa langkah. "Maksud lo apa, Gar?!" ucap Nadiv berapi-api.
"Gue bilang jaga ucapan lo!" kata Henggar tak mau kalah.
"Gar, udah!" cegah Rallin sambil memeluk tubuh lelaki itu saat ingin kembali melayangkan pukulan kepada Nadiv.
Nadiv yang melihat itu tersenyum miring. "Apa yang lo bela dari cewek modelan kayak dia, Gar?" tanyanya sambil menunjuk Rallin. Gadis itu sudah terisak sejak tadi.
"Lo liat, dia udah punya pacar, dia masih mau ngejar gue, dan sekarang dia meluk lo kayak gitu," ucap Nadiv kemudian berjalan mendekati Rallin.
"Apa dia gak keliatan murahan?" tanyanya.
Hal itu membuat emosi Henggar tersulut. Dengan sekali sentakan, pelukan Rallin langsung terlepas. Ia mendorong bahu Nadiv dengan keras sampai Nadiv terjatuh.
"Mulut lo lebih murahan karena udah ngomong kayak gitu!" pekik Henggar. Lelaki itu bahkan sudah menarik kerah baju Nadiv dengan kasar sampai beberapa kancing baju nya terlepas.
Bukannya membalas, Nadiv malah tertawa santai. Merasa begitu prihatin dengan sahabatnya karena telah dibodohi oleh gadis itu.
"Kenapa, sih, Gar? Apa karena dia cinta pertama lo? Apa karena dia kehidupan dan sumber kebahagiaan lo?" tanyanya sinis kemudian meludah ke tanah. "Jangan mau di begoin sama cewek kayak dia," lanjutnya.
"Lo ngomong sekali lagi, gue pastikan muka lo gak semulus sekarang. Gue bilangin sama lo, gue gak akan ngebiarin siapapun untuk nyakitin Rallin, sekalipun itu sahabat gue sendiri," ucap Henggar kemudian melepaskan cengkramannya pada kerah Nadiv.
Nadiv kemudian berdiri. "Ternyata lo gampang, ya, di begoin sama cinta. Lo bahkan lebih milih cewek itu daripada sahabat lo sendiri? Gak habis pikir gue. Didan sama Rangga pasti bakal kecewa banget sama lo," kata Nadiv dengan mimik muka sedih.
"Gar, udah," ucap Rallin menarik tangan Henggar.
"Lo salah paham, Div," kata Rallin ingin menjelaskan.
"Gak ada salah paham. Satu yang gue tau sekarang," kata Nadiv kemudian menatap nyalang gadis didepannya. "Lo cewek murahan," lanjutnya tenang.
"Berhenti hina adek gue, anjing!" teriak Henggar kemudian kembali melayangkan pukulan pada sahabatnya itu.
Nadiv yang tidak tahu akan mendapat serangan tiba-tiba membuatnya kalah telak. Lelaki itu tampak pasrah ketika wajahnya dibuat babak belur oleh Henggar.
Namun bukan itu yang ia pikirkan. Tapi perkataan Henggar.
Adek?
"Henggar, berhenti! Lo bisa bunuh dia!" teriak Rallin berusaha menghentikan Henggar yang membabi buta.
Henggar seakan baru sadar kalau ia sudah kelewatan. Bahkan tidak pada perlawanan balik dari Nadiv. Lelaki itu memilih mundur.
"Adek?" cicit Nadiv. "Lo ngaco?"
"Ini. Ini jawaban dari semua pertanyaan kalian kenapa gue cinta Rallin tapi gak bisa pacaran. Gue cinta dia..." Henggar tampak menghela nafasnya perlahan. Mungkin ini sudah saatnya mereka tahu. "Karena dia adek gue," lanjutnya.
Membuat Rallin semakin menangis menjadi-jadi. Di peluknya tubuh Henggar dengan erat. "Kak Dipta," lirihnya memanggil nama kecil Henggar.
Nadiv mendadak blank. Otaknya seolah berhenti. Lidahnya menjadi kelu. Fakta yang sangat mengejutkan baginya. Mungkin bagi semua orang yang tidak mengetahui hal ini.
"Dia memang cinta pertama gue. Dia memang kebahagiaan gue. Dia memang kehidupan gue. Dia adek gue," ucap Henggar lagi menjelaskan kalau Rallin memang adiknya. Adik kandungnya.
Nadiv berfikir, bagaimana bisa mereka kakak beradik tapi satu angkatan? Ah, sial! Ia baru ingat kalau dulu pernah mendengar pembicaraan Rallin dan Maudi kalau gadis itu mengikuti program lompat kelas.
Rallin melepaskan pelukannya pada Henggar kemudian berjalan menghampiri Nadiv yang terduduk dilantai. Mengamati wajah lelaki itu tampak banyak luka memar.
Rallin duduk didepan Nadiv kemudian mengusap pelan pipi lelaki itu. "Gue gak pernah jadian sama Astan," ucapnya.
Nadiv mendongak. Menatap Rallin dengan sorot mata tak percaya.
"Gue gak bohong. Gue emang nerima bunga itu, tapi gue gak nerima cinta dia," kata Rallin kemudian tersenyum. "Kan gue cinta mati sama lo," lanjutnya tertawa pelan.
Nadiv masih terdiam. Entah kenapa dia merasa malu. Karena rasa cemburu yang begitu besar membuatnya jadi seperti ini.
"Jangan takut kalo gue bakal berhenti perjuangin lo," kata Rallin.
Tak mau menjawab, Nadiv malah menarik Rallin ke dalam pelukannya. Menenggelamkan wajah gadis itu ke dada bidangnya.
"Lo tau? Gue sayang sama lo, Lin."
***
"Lo kenapa gak pernah bilang kalo apartemen lo sampingan sama apartemen Maudi, sih?" kesal Rallin saat mereka tiba di apartemen Nadiv.
Setelah kejadian tadi, Rallin memutuskan untuk ikut bersama lelaki itu. Berniat ingin mengobati luka yang diciptakan Henggar di wajah lelaki itu.
Nadiv terkekeh kemudian membuka pintunya. "Lo gak pernah tanya," katanya santai.
Rallin berdecak kesal. "Kotak obatnya lo taruh mana?" tanya gadis itu sambil meletakkan tasnya di ranjang.
"Di laci," jawab Nadiv sambil menunjuk laci nakas disamping ranjangnya dengan dagu.
Rallin pun segera mengambil kotak tersebut. Kemudian menggiring Nadiv untuk ikut duduk bersamanya di ranjang.
Dengan hati-hati, gadis itu pun mulai mengoleskan alkohol pada bagian memarnya. Sesekali Nadiv tampak mendesis karena merasa sakit.
"Lo kenapa gak pernah bilang kalo lo sama Henggar itu saudara kandung?" tanya Nadiv sedikit kesal.
Karena ketidakjujuran mereka, membuatnya jadi salah paham. Ia fikir, mereka berdua memiliki hubungan yang spesial.
Gerakan tangan Rallin terhenti ketika mendengar penuturan dari lelaki disampingnya. Kemudian meletakkan kapas itu kembali ke kotak.
Menatap lelaki itu dengan intens. "Lo mau denger?" tanyanya.
Nadiv tersenyum kemudian mengangguk, "Gue dengerin."
"Namanya Henggar Pranadipta," kata Rallin mulai bercerita.
"Dia kembar, Div," lanjutnya kemudian menatap Nadiv lagi. "Kakak gue kembar."
"Kembaran dia namanya Rehan," ucapnya tanpa terasa sebulir air mata jatuh mengalir di pipinya.
"Terus Rehan kemana?" tanya Nadiv hati-hati.
"Dia meninggal," jawab Rallin lirih. Tangisnya pecah setiap mengingat kejadian hari itu.
"Dia meninggal ditusuk sama orang," lanjutnya bercerita.
"Dan pada saat kejadian itu,"katanya terjeda. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian dua tahun silam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drowning In The Pain
Teen FictionBagaimana rasanya dibenci keluarga karena sebuah kesalahan yang tidak pernah kau lakukan? Bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang paling berarti untukmu? Dan... Bagaimana rasanya mengejar seseorang yang hatinya bukan untukmu? Ingin tahu rasanya...