Aku pernah mencintai seseorang begitu dalam sampai akhirnya aku kepleset, jatuh, kejedot, dan nyungseb:)
***
Rallin membenarkan rambutnya yang berantakan di terpa angin. Matanya memandang jauh keramaian kota malam ini dari atas balkon kamarnya. Ia sendiri memutuskan untuk pulang meskipun Maudi sempat menahannya untuk tetap tinggal di apartemen. Bukannya ia tidak menghargai kebaikan Maudi. Hanya saja, ia masih ingin meluruskan apa yang salah dirumah ini.
Rallin memegang erat teralis besi pembatas balkon. Menghela nafas berat lalu menghembuskannya dengan perlahan. Berharap beban yang selama ini dipikulnya sedikit luruh. Kemudian gadis berombre ungu itu menutup kelopak matanya yang sayu. Pikirannya kembali melayang tentang berhentinya ia memperjuangkan Nadiv, lelaki yang selama ini selalu diminta kepada Tuhan untuk menjadi jodohnya.
Nyatanya, sebelum Tuhan mengabulkan permintaan itu, Rallin sudah lebih dulu memilih berhenti. Ia merasa kalau semuanya akan berakhir sia-sia. Ia sadar, kalau ia tidak akan bisa merebut posisi Adelia dihati Nadiv. Adelia menduduki posisi tertinggi disana. Sedangkan Rallin? Jangankan di posisi paling bawah, masuk ke daftar orang-orang yang Nadiv sukai saja tidak mungkin.
Rallin sendiri tidak mengerti mengapa hatinya sekarang jadi serapuh ini. Dua tahun ia selalu disalahkan. Satu tahun cintanya bertepuk sebelah tangan dan akhirnya kandas padahal belum dimulai. Kadang ia ingin menangis sekencangnya. Mengadu pada Tuhan mengapa mentakdirkan hidupnya semiris ini.
Ia tidak bersalah. Tapi orang tuanya seakan menutup mata akan kebenaran itu. Rallin berjalan menuju kamarnya. Membuka laci nakas paling bawah. Mengambil sebuah figura berisikan foto saat ia kelulusan SMP kemarin. Foto dirinya dengan kedua saudara laki-laki kembarnya mengenakan baju kelulusan.
Ya. Ia mempunyai kakak kembar. Kenapa mereka bisa lulus bareng? Karena pada masa kelas sepuluh, Rallin mengikuti program lompat kelas. Dan ia berhasil. Sehingga ia duduk di bangku kelas yang sama dengan kedua kakaknya.
Di foto itu, mereka tampak bahagia. Senyum kemenangan jelas tercetak dibibir mereka. Ada orang tuanya juga yang mengamit mereka di kanan dan kiri. Senyum yang lebar menandakan kalau keluarga Herman adalah keluarga yang harmonis.
Iya, memang harmonis. Sebelum kejadian naas itu terjadi. Lalu melunturkan senyum dan juga keharmonisan di keluarga nya. Melunturkan rasa kasih sayang orang tuanya. Menumbuhkan benci yang merongrong membuat Rallin kerap merasakan sesak.
Tangan gadis itu terangkat, mengusap air mata yang dengan tiba-tiba saja jatuh tanpa permisi. Semakin di usap, semakin deras pula cairan bening itu terus. Seolah berlomba-lomba membuat jejak di pipi gadis itu.
"Capek, kak."
Kepala gadis itu tertunduk. Mengeluarkan keluh yang selama ini ditahan nya. Didekapnya figura itu erat-erat. Seolah ia sedang memeluk kedua sosok itu sekarang.
PRANG!!
Rallin berjengit kaget mendengar barang yang sepertinya sengaja dilempar sehingga menimbulkan bunyi yang keras. Gadis itu kembali menyimpan figuranya di laci kemudian berjalan keluar. Mencoba memastikan apa yang sedang terjadi diluar.
Sesampainya diujung anak tangga bawah, gadis itu hanya terdiam terpaku. Menyaksikan kedua orang tuanya lagi-lagi bertengkar. Rallin tidak mau tahu apa alasan mereka seperti itu. Yang jelas ia sudah lelah menghadapi tekanan ini.
Bohong kalau Rallin tidak depresi jika sedang berada dirumah. Anak mana yang sanggup melihat pertengkaran orang tuanya setiap hari?
"Bisa kalian berhenti bertengkar?! Aku capek dengernya!" teriak Rallin lantang. Mengalihkan dua orang yang sedang beradu mulut dengan mata yang saling menatap tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drowning In The Pain
Teen FictionBagaimana rasanya dibenci keluarga karena sebuah kesalahan yang tidak pernah kau lakukan? Bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang paling berarti untukmu? Dan... Bagaimana rasanya mengejar seseorang yang hatinya bukan untukmu? Ingin tahu rasanya...