Bab. 70

273 35 2
                                    

Mata Rallin langsung membola begitu mendengar ucapan lelaki yang tengah duduk di motor itu. Ini serius Rallin mau dikenalin ke orang tuanya Nadiv? Sebagai apa? Teman? Sahabat? Atau… Rallin menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin Rallin akan dikenalkan sebagai pacar. Nadiv saja sudah menolak pernyataan cintanya. Ah, memalukan saja. Padahal tadi ia sudah begitu percaya diri kalau Nadiv akan menerima cintanya, ternyata tidak. Itulah sebabnya, kita tidak boleh berekspektasi terlalu tinggi. Karena kadang luka dan kecewa itu hadir bukan dari orang lain akan tetapi hadir melalu harapan kita yang terlalu membumbung tinggi.

Nadiv pun turun dari motornya. Lelaki itu menatap kaca di spion motornya kemudian menyugar rambutnya ke belakang. “Ganteng banget gue,” ujarnya narsis.

Dahi Rallin langsung berkerut dalam. Merasa ingin muntah karena kenarsisan lelaki itu. Tapi kalau difikir-fikir, Nadiv ini memang tampan, makanya Rallin suka. Eh, bukan karena ketampanan Nadiv yang membuat Rallin tergila-gila. Nanti ia disangka mandang fisik. Tapi karena sikap jenaka milik lelaki itu yang membuat Rallin jatuh hati begitu dalam.

“Yuk masuk,” ajak Nadiv mendahului Rallin beberapa langkah. Tentu saja hal itu membuat Rallin mendengus kesal dan langsung menyusul langkah lebar Nadiv.

Rallin menarik nafasnya dalam saat Nadiv akan menekan bel yang terpasang di samping pintu. Tak berapa lama, pintu itu terbuka menampilkan seorang ibu paruh baya dengan kain lap di pundaknya.

Ibu itu tampak terkejut dengan kehadiran Nadiv. “Mas Nadiv?” ujarnya dengan antusias.

Nadiv tersenyum tipis. “Iya, Bi.”

Ibu yang dipanggil Bibi itupun menatap Rallin sambil tersenyum. “Pacarnya ya, Mas?” tanyanya.

Nadiv hanya tersenyum tanpa mau menjawab. Membuat Bibi tersenyum meledek. “Yaudah masuk, yuk. Ibu lagi di dalam,” ajak Bibi sembari mempersilahkan Nadiv dan Rallin untuk masuk.

Kesan pertama yang Rallin dapatkan dari rumah Nadiv adalah hangat. Foto-foto keluarga terpajang di setiap sisi dinding. Mulai dari foto Nadiv yang masih kecil sampai besar pun ada. Rallin tersenyum geli saat melihat foto Nadiv yang mungkin umurnya masih 2 tahun. Lelaki itu tampak meringis dengan gigi depannya yang ompong.

“Nggak usah ketawa,” ujar Nadiv yang sedikit kesal kenapa Rallin melihat foto masa kecilnya. Kenapa juga Mamanya harus memasang foto sejelek itu. Memalukan saja.

“Lucu tau,” kata Rallin sambil terkikik geli.

Nadiv tidak menanggapi lagi. Ia hanya bisa mendengus kesal kala Rallin kembali menjelajahi foto-fotonya. Kemudian tatapan gadis itu terhenti di salah satu bingkai foto berwarna putih. Dimana ada foto Nadiv dan seorang gadis yang tampaknya seumuran. Rallin mengamati foto itu lamat-lamat. Ia seperti tidak asing dengan wajah gadis kecil itu.

“Ini siapa?” tanyanya sembari menoleh ke arah Nadiv.

Nadiv menoleh, menatapnya sekilas. “Oh, itu sepupu gue,” jawabnya.

“Mukanya kayak nggak asing buat gue,” gumam Rallin membuat Nadiv tersenyum penuh arti.

“Anak bandel! Masih ingat jalan pulang kamu?”

Rallin dan Nadiv langsung menoleh ke sumber suara yang tampaknya tengah mengomel itu. Rallin menatap wanita yang tampak cantik di umurnya yang sudah tidak muda lagi. Wanita itu sedang berkacak pinggang sembari menatap kesal ke arah Nadiv.

Kemudian wanita itu menatap Rallin sebentar lalu beralih lagi menatap nadiv. “Bagus! Pulang-pulang bawa anak orang. Dia siapa? Pacar kamu yang baru?” tanyanya kemudian menatap Rallin dari atas sampai bawah. Rallin yang merasa terintimidasi dengan tatapan Mamanya Nadiv hanya bisa tersenyum kikuk.

“Akhirnya mata kamu terbuka juga. Ini nih yang Mama suka. Nggak kayak yang kemarin, masa liatin Mama, matanya sinis gitu,” ujar wanita itu.

Rallin mengernyit, pacar yang kemarin? Atau mungkin Adelia? Sudah pasti Adelia. Memangnya siapa lagi pacar Nadiv? Bahu Rallin sontak turun saat mengetahui fakta kalau Adelia juga pernah dikenalkan ke Mamanya Nadiv. Ah, ia sudah mengira kalau ia yang pertama dikenalkan ke orang tuanya Nadiv, nyatanya malah yang kedua.

Nadiv tersenyum samar. “Ini namanya Rallin, Ma,” ujarnya mengenalkan Rallin.

Tiya, mamanya Nadiv itu menyunggingkan senyum sumringah kemudian mendekat ke arah Rallin. Wanita itu memegang kedua bahu Rallin dan menggiringnya untuk duduk di kursi ruang tamu. Rallin pun hanya mengikuti saja. Sementara Nadiv, lelaki itu mengambil alih kantong plastic yang dipegang Rallin kemudian membawanya ke dapur untuk disajikan.

“Kamu pacarnya Nadiv, ya?” tanya Tiya sambil menatap Rallin dengan antusias.

Rallin hanya tersenyum kikuk kemudian menggeleng. “Bukan, Tante,” jawabnya.

Tiya tampak mendesah kecewa. “Padahal saya suka sama kamu. Daripada sama pacarnya Nadiv yang kemarin itu saya nggak suka. Pokoknya kalo Nadiv sama cewek yang kemarin, saya nggak setuju. Bawaannya suram aja gitu,” ujar Tiya dengan ekspresi sinis ketika membicarakan pacar Nadiv yang kemarin.

Rallin tampak menahan senyum senangnya. Ternyata Adelia sudah memiliki rekam jejak jelek di mata Tiya. Itu artinya peluang Nadiv dan Adelia untuk bersama sangat sulit karena terhalang restu orang tua.

“Tapi Nadiv yang nggak suka sama saya, Tan.” Rallin mengadu saat ia melihat Nadiv berjalan mendekat ke arah mereka. Tentu saja hal itu membuat Nadiv mendecak kesal.

Tiya langsung melayangkan tatapan tajamnya untuk Nadiv. Membuat anak lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Kenapa, Ma?” tanyanya innocent.

“Mata kamu itu burem apa gimana, sih? Disodorin yang cakep, baik, good attitude kayak begini malah kamu tolak. Heran deh Mama sama kamu. Jangan-jangan kamu punya kelainan lagi,” ujar Tiya mendengus kesal.

Wanita itu tidak habis fikir dengan pola fikir anak tunggalnya itu. Didekati oleh gadis secantik dan sebaik ini, Nadiv malah menolak dan memilih gadis yang jelas-jelas tidak mencintainya. Ketika ia mendengar kabar kalau Nadiv putus dengan gadis yang ia ketahui bernama Adelia, hatinya bersorak gembira. Karena dari pandangannya, Adelia bukanlah gadis yang baik. Kalau ditanya kenapa Tiya bisa tahu tentang Nadiv di sekolah, jawabannya karena dia memiliki mata-mata yang ia utus untuk mengawasi kelakukan Nadiv di sekolah.

Nadiv melebarkan kelopak matanya ketika mendengar ucapan Tiya. “Ya Allah, Ma! Jahat bener ngatain anaknya punya kelainan. Kualat loh ntar. Aku ini anak Mama,” rajuk Nadiv.

“Iya habisnya kamu tuh aneh.”

“Iya yang pentingkan Naidiv udah putus sama Adelia,” tandas Nadiv membuat Tiya menutup mulutnya.

Kemudian wanita itu beralih lagi menatap Rallin lalu menyunggingkan senyumnya. “Kamu beneran suka sama anak saya?” tanyanya.

Rallin sedikit malu untuk mengakuinya namun ia langsung menganggukkan kepalanya. “Iya, Tante.”

“Tuh kamu denger, kan? Ada yang tulus cinta sama kamu,” ujar Tiya sembari melirik Nadiv dengan sinis.

“Iya, Mama. Nadiv juga sayang kok sama Rallin. Makanya Nadiv bawa dia ke rumah ya biar Mama kenal sama calon menantu Mama yang cantik ini,” ujar Nadiv lugas tanpa peduli dengan ekspresi Rallin yang terkejut dicampur malu.

Sontak Tiya mengulum senyum senang. “Kalo calon mantunya model begini, Mama pasti setuju,” katanya.

“Assalamualaikum,” sapa seseorang dari arah pintu membuat ketiganya langsung menoleh.

Rallin, satu-satunya orang yang terkejut melihat kedatangan orang itu.

Drowning In The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang