Bab. 18

376 45 0
                                    

Gimana kalo ternyata orang yang lo hancurin hatinya adalah orang yang hidupnya bener-bener penuh dengan kehancuran?

- Henggar Pranadipta

***

"Pagi-pagi dapet pemandangan seger gini bikin semangat belajar gue makin membara," celetuk Didan kala melihat Rallin yang baru saja memarkirkan mobilnya. Gadis itu tampak membawa gitar di tangannya.

Sementara Nadiv yang berada disamping Didan hanya berdecak kesal. Kenapa di dunia ini seolah-olah hanya berisikan Rallin. Apapun yang di bahas pasti ujungnya ke Rallin juga. Nadiv sampai bosan mendengarnya.

Didan melirik Nadiv sebentar. "Ya, gue kek gini cuma mau bikin lo sadar aja, sih. Dan bikin lo bisa buka mata lebar-lebar buat liat mana yang baik dan mana yang buruk," ucap Didan santai sambil memainkan rubik yang tadi dibawanya.

Nadiv mendengus kesal. "Adelia gak seburuk yang lo pikirin," desisnya tajam karena ia merasa kalau Didan tengah mengatai Adelia bahwa gadis itu buruk.

Didan terkekeh syarat akan mengejek. "Lo gak tau aja," ucapnya.

"Apa yang gue gak tau?" tanya Nadiv memincingkan mata. Penasaran dengan ucapan Didan yang ambigu.

"Kepo!" ucap Didan kemudian tertawa membuat Nadiv berdecih pelan. Namun tak ayal juga membuatnya memikirkan perkataan Didan. Apa benar Adelia itu tidak baik untuk dirinya?

"Hallo cantik!" sapa Didan dengan riang kala Rallin melintas di depan mereka.

Rallin merutuk kesal. Kenapa juga Didan harus nyapa dia disaat ada Nadiv disana. Padahal tadi Rallin sudah berusaha untuk tidak terlihat di radar mereka. Meskipun niatnya melepas Nadiv itu sudah bulat, tapi tetap saja. Jantung berdetak kencang itu masih terasa ketika ia berada di dekat lelaki itu.

"Hai, Dan!" sapa Rallin sambil tersenyum. "Hai, Div," lanjutnya ikut menyapa Nadiv. Namun lelaki itu hanya melengos bersikap sok tidak peduli.

"Gue ke kelas duluan, ya?" pamit Rallin hendak kembali melanjutkan langkahnya namun di tahan oleh Didan.

"Gue anterin, deh. Pengen sesekali nganterin bidadari nya sekolah," seloroh Didan membuat Rallin terkekeh. Nadiv yang melihat itu hanya mencibirkan bibirnya. Seolah jijik mendengar ucapan Didan yang hiperbola itu. Namun tidak bisa menampik juga kalau sekarang mukanya sudah berubah masam.

"Yaudah, yuk." Rallin pun berjalan duluan.

Didan menolehkan kepalanya ke arah Nadiv yang masih setia bersandar di tiang gedung koridor. "Gue ambil start pagi ini," ucapnya sombong.

"Buset, Dan. Gue gak peduli," ucap Nadiv tak minat. Lalu berjalan menuju kelasnya yang berlawanan arah dengan kelas Rallin.

Didan tersenyum miring. "Gue tau lo cemburu."

* * *

"Aku cinta sama kamu."

Entah sudah berapa kali gadis di depannya ini mengatakan hal yang sama. Dan entah sudah berapa kali lelaki ini menolak.

"Lo gak cinta sama gue. Lo cuma cinta karena apa yang gue miliki ini sama persis sama apa yang di miliki cinta pertama lo dulu," tandas lelaki itu. Ia memijit pangkal hidungnya. Mendadak terserang pusing karena harus berulang kali berhadapan dengan orang yang sama.

"Enggak gitu," ucap gadis itu pelan. Kemudian merundukan kepalanya. Tak lama terdengar suara isakan yang tertahan.

Lelaki itu mendengus kesal. "Gak usah nangis di depan gue, ntar gue dikira ngapa-ngapain lo!" ketusnya.

Drowning In The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang