Bab. 56

233 31 0
                                    

Suara sirine ambulan menggema di penjuru jalan. Para pengendara pun memberi akses untuk mobil itu. Tidak ada yang baik-baik saja saat ini. Termasuk lelaki yang berada di dalam mobil. Air matanya tidak berhenti mengalir menatap gadis yang kini terbaring lemah di atas bangkar. Mata gadis itu terpejam. Nafasnya tampak tersengal.

Nadiv, lelaki itu menggenggam erat tangan Adelia. Bayangan-bayangan masa lalu dengan gadis itu seolah terus berputar di otaknya bagai kaset rusak. Tawa, senyum, dan canda gadis itu seolah terus menari-nari di kepalanya tiada henti.

Hatinya teriris kala menyaksikan gadis itu mengorbankan nyawa demi dirinya. Rasa bersalah menggerogoti relung hatinya. Andai saja tadi ia lebih berhati-hati, tidak mungkin kejadian ini terjadi. Andai saja ia bisa memutar waktu, mungkin ia akan mengajak Adelia untuk pergi dari tempat ini. Andai saja ia bisa melihat masa depan, mungkin Adelia tidak terbaring mengenaskan seperti saat ini.

Terlalu banyak kata andai saja yang terlontar di dalam hati Nadiv. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain terus merapalkan doa. Memohon agar Tuhan berbaik hati untuk tetap membiarkan gadis ini hidup. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri jikalau sesuatu yang buruk terjadi pada Adelia.

“Del? Bangun. Buka mata lo. Gue mohon,” lirih Nadiv sembari menatap wajah cantik gadis itu.

Wajahnya tampak damai dengan mata terpejam meskipun banyak darah kering yang menghiasi seluruh tubuhnya. Adelia bergeming, gadis itu tetap tenang dalam tidurnya. Membuat Nadiv takut setengah mati.

“Gue minta maaf sama lo. Gue mohon, lo bangun, ya? Gue janji bakal jagain lo,” racau Nadiv dengan penuh permohonan.

Tiba-tiba Adelia tampak kejang-kejang. Nafasnya tersengal-sengal. Kemudian gadis itu kembali batuk sampai memuntahkan darah. Suster yang mendampinginya pun dengan sigap langsung memasang masker oksigen. Tak lupa ia mengusap darah yang keluar dari mulut Adelia.

Nadiv begitu khawatir. Ia kesal karena ambulance yang ia tumpangi terasa lambat. Ia takut Adelia tidak bisa bertahan lebih lama. Nadiv meletakkan tangan Adelia pada pipinya, dingin terasa menyapa pipi Nadiv saat telapak tangan lembut milik Adelia mengenai pipinya.

Tangan Nadiv beralih membelai pipi Adelia yang tirus. Kulit putih wajah gadis itu tak terlihat karena kini dibalut oleh darah. Setiap tetesan air mata Nadiv semakin menderas. Demi Tuhan, seumur hidup Nadiv tak pernah merasa ketakutan seperti sekarang.

Hingga tak lama kemudian, ambulance berhenti tepat di halaman rumah sakit. Pihak rumah sakit  langsung mengeluarkan brangkar Adelia dari dalam mobil. Nadiv pun segera turun dari mobil dan turut membantu mendorong brankar Adelia untuk dibawa ke IGD. Suara langkah kaki yang tergesa terdengar mengalun. Para perawat dan Nadiv berlari dengan langkah yang lebar. Sekalipun Nadiv tidak pernah berpaling dari wajah pucat gadis yang pernah dicintainya itu. Berharap Adelia mau membuka matanya lagi.

Sebelah tangan Adelia berada diujung brankar. Tangannya yang tak bertenaga itu masih mengeluarkan darah hingga menetes mengenai lantai putih rumah sakit. Para pengunjung dibuat syok melihat keadaan Adelia. Beberapa ada yang pingsan karena takut darah, sedangkan sebagian lain ada yang mual.

Nadiv menggenggam sebelah tangan Adelia, ia terus berlari mengiringi Adelia menuju IGD. Saat Adelia dibawa masuk ke dalam IGD, Nadiv mulai melepas genggaman tangannya dengan berat hati. Ia ingin menemani gadis itu melewati masa kritisnya.

Nadiv tahu kalau Adelia adalah gadis yang kuat. Seburuk appaun kondisinya saat ini, Nadiv yakin Adelia akan baik-baik saja. Gadis itu tidak akan kemana-mana. Gadis itu tidak akan pergi meninggalkannya. Nadiv yakin akan hal itu.

Pintu IGD mulai tertutup dan Nadiv kehilangan pandangannya dari Adelia. “Gue mohon, lo bertahan, Del,” gumam lelaki itu dengan tangan yang menyentuh pintu kaca buram IGD.

Disisi lain Rallin dan Maudi yang baru saja sampai di rumah sakit, dengan langkah lebar mereka berlari masuk ke dalam rumah sakit. Melewati lorong rumah sakit, mencari letak ruang IGD berada. Sesampainya di sana, Rallin dapat melihat Nadiv dari kejauhan. Tampak lelaki itu begitu khawatir dengan keadaan Adelia. Bahkan lelaki itu sampai menangis.

Tanpa Rallin sadari, bulir-bulir Kristal mulai berjatuhan dari pelupuk matanya. Ingatannya kembali terlempar ke kejadian beberapa waktu yang lalu. Dimana lelaki itu mengatakan kalau ia juga menyayangi Adelia.

Sebagai gadis yang menyandang teman special Nadiv, bolehkah Rallin merasa cemburu? Bolehkah Rallin merasa marah? Memangnya dia siapa?

Maudi yang mengerti situasi itupun mengangkat tangannya, mengelus halus punggung sahabatnya. Mencoba menenangkan gadis itu.

“Udah, nggak usah dipikirin. Mungkin Nadiv ngomong kayak gitu Cuma buat nenangin Adelia aja. Percaya sama gue, ya?” ujar Maudi lembut.

Rallin mengusap air matanya kemudian tersenyum tipis. Iya, seharusnya ia berfikiran seperti Maudi. Bisa jadi itu cara Nadiv untuk menenangkan mantanya itu. Lagipula kondisi Adelia saat ini tengah kritis. Tidak baik jika ia harus berfikiran buruk tentang gadis itu.

Rallin dan Maudi pun melangkah mendekati Nadiv yang tengah duduk di kursi tunggu.  Lelaki itu menaikkan pandangannya saat menyadari ada langkah orang lain yang mendekat. Lelaki itu kemudian bangkit dari duduknya.

Mendekati Rallin dan memeluk gadis itu. “Gue salah, Lin. Gue salah,” racau lelaki itu dipelukan Rallin. Bahkan kembali menangis. Terserah kalau kalian ingin mengatai Nadiv adalah lelaki yang cengeng. Karena kenyataannya, lelaki itu tengah dilanda ketakutan yang luar biasa.

Rallin menepuk punggung lelaki itu, kemudian mengusap belakang kepala Nadiv. “Enggak, lo nggak salah sama sekali. Ini semua takdir, Div. lo nggak akan pernah tau kejadian kedepannya bakal gimana. Dan semua ini bukan salah lo, tapi takdir dari Tuhan.” Rallin berkata lembut.

Gadis itu melepaskan pelukannya kemudian menatap dalam mata lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Seulas senyum tipis terbit dibibir gadis itu. Tangannya menyibakkan ke belakang rambut Nadiv yang basah oleh keringat.

“Yang perlu kita lakuin sekarang adalah berdoa buat kesembuhan Adelia, oke?” Rallin menggenggam tangan Nadiv kemudian menggiring lelaki itu untuk duduk di kursi tunggu.

Kini ketiganya tengah menunggu kabar dari sang dokter. Sudah hampir satu jam, dokter maupun perawat belum ada yang keluar dari ruangan. Membuat rasa khawatir dan takut terus membumbung tinggi.

Tidak ada yang tidak memanjatkan doa saat ini, ketikanya kompak merapalkan doa meminta agar Adelia tetap baik-baik saja.

Lalu suara pintu terbuka terdengar menyapa pendengaran mereka bertiga. Ketiganya langsung berdiri menghampiri suster yang tampak menampilkan raut wajah panic. Nadiv sempat mencegat suster itu.

“Sus, gimana keadaannya?” tanya Nadiv khawatir.

“Pasien kehilangan banyak darah dan kami akan segera melakukan pendonoran darah,” jawab suster itu kemudian beranjak pergi dengan setengah berlari. Seperti situasi darurat tengah terjadi.

Nadiv, wajah lelaki itu berubah menjadi pusat pasi. Bayangan akan Adelia yang terpental tertabrak mobil kembali melintasi otaknya.

Rallin yang menyadari itupun langsung menggiring Nadiv untuk kembali duduk. Gadis itu mencoba menenangkannya lagi. Sedangkan Maudi, gadis itu pamit untuk membelikan air mineral untuk Nadiv.

“Lin,” panggil Nadiv pelan.

Gadis itu langsung menoleh. “Iya?” sahutnya.

Nadiv mengeluarkan sebuah kalung dari saku celananya kemudian menunjukkannya kepada Rallin. “Gue nemuin ini di lokasi kejadian tadi,” ujarnya.

Drowning In The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang