Rallin dan Arden berjalan berdampingan ketika mereka menyusuri jalanan menuju taman kota. Tempat itu tampak ramai karen hari sudah menjelang sore. Kemarin Rallin sering pergi kesini bersama Nadiv. Tapi itu kemarin, untuk saat ini Rallin masih belum ingin membahas tentang lelaki itu.
Bahkan Rallin sengaja menonaktifkan ponselnya lantaran tidak ingin Nadiv menghubunginya. Entahlah, Rallin juga merasa bimbang dengan perasaannya. Ia sangat mencintai Nadiv tapi melihat kelakuan Nadiv yang seperti itu membuat ia menjadi ragu.
Rallin mengalihkan pandangannya menatap wajah teduh milik Arden. Lelaki itu, Rallin bahkan baru mengenalnya beberapa waktu yang lalu. Tapi entah kenapa, setiap berasa di dekat lelaki itu Rallin merasa aman.
Bukan, bukannya Rallin mulai menyimpan rasa diam-diam. Hanya saja ia bisa merasakan kalau Arden itu memang tulus untuk membantunya. Setidaknya lelaki itu bisa sedikit mengurangi beban pikiran Rallin yang terus menghantuinya.
Arden mengalihkan pandangannya juga menatap Rallin. Membuat Rallin langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain asal tidak bertatap dengan Arden. Arden tertawa kecil melihat tingkah lucu gadis itu.
"Saya ganteng, ya?" tanyanya sambil menaikturunkan kedua alis.
Rallin mencebik pelan. "Narsis, Dok."
"Ya soalnya kamu liatin saya terus. Kan saya jadi malu," ujar Arden. Lelaki itu mengulas senyum jenaka.
"Saya nggak liatin tuh. Tadi cuma nggak sengaja aja," kilah Rallin. Malu dong kalau dia ngaku memang ngeliatin Arden.
Arden hanya menganggukkan kepalanya. Pura-pura percaya dengan ucapan Rallin. Kemudian lelaki itu duduk di salah satu bangku yang ada disana. Rallin pun menyusulnya.
"Makasih ya, Dok," ujar Rallin sembari mengulas senyum tulus.
Arden hanya tersenyum menatap mata Rallin dengan teduh. Ia bisa merasakan bagaimana jantungnya berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya ketika bersama gadis itu. Untuk pertama kalinya, seorang Arden Wijaya, seorang dokter yang terkenal dengan sikap dinginnya itu merasa grogi dekat dengan wanita. Apalagi ini seorang gadis SMA yang umurnya mungkin jauh di bawahnya.
Arden selalu kesulitan untuk mengendalikan perasaan itu. Rasanya setiap hari semakin bertambah menjadi besar. Rasa ingin melindungi dan membahagiakan gadis kecil itu seolah tertanam kuat di lubuk hatinya.
Melihat Rallin terluka, membuat Arden merasakan nyeri di ulu hatinya. Arden bisa melihat bagaimana rapuhnya gadis itu. Membangkitkan tekad dalam hati Arden untuk menjauhkan segala hal yang berpotensi buruk untuk Rallin. Termasuk Nadiv.
Lelaki bodoh. Begitulah Arden mengecap Nadiv. Bagaimana bisa Nadiv menyakiti gadis setulus Rallin? Bagaimana bisa Nadiv mengkhianati cinta Rallin? Membuat Arden merasa geram dengan tingkah lakunya.
"Dokter kok diem aja?" tanya Rallin yang sedari tadi mengamati Arden yang hanya diam melamun.
Arden tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya. "Nggak papa. Saya lagi cosplay jadi Limbad," ujar Arden dengan lugas.
Rallin tampak menahan tawanya. Merasa lucu dengan sikap Arden yang konyol itu. Rupanya manusia dingin seperti Arden bisa melawak juga.
"Dokter ada-ada aja," kata Rallin.
Arden tampak berdehem sebentar. "Kalo lagi di luar jangan panggil saya dokter. Kesannya kaya saya lagi ngasuh pasien," kata Arden memprotes panggilan Rallin.
Rallin tertawa kecil. "Kan emang saya ini pasien dokter," ujarnya.
Arden mendengus pelan. "Iya, saya tahu. Tapi itu terlalu formal, Rallin."
"Lagi pula umur saya baru 25 tahun. Masih cocok untuk dipanggil Kakak, kan?" kata Arden.
Rallin hanya diam memandangi Arden dengan wajah tersenyum. Kemudian gadis itu tampak menganggukkan kepalanya.
"Iya, kak Arden."
***
Hari minggu yang sendu bagi Rallin Natasha. Bagaimana tidak, sejak dua hari setelah pertengkarannya dengan Nadiv, lelaki itu bahkan tidak menghubunginya sama sekali. Padahal sudah jelas kalau di sini Nadiv yang salah.
Rallin juga sudah uring-uringan sejak kemarin karena Nadiv. Masa iya harus dia yang minta maaf. Kan bukan dia yang salah.
Mendengus kesal, Rallin melemparkan ponselnya kasar ke atas ranjang. Kemudian gadis itu duduk bersila di sofa dengan muka masam.
Henggar yang baru saja keluar dari kamar mandi tampak mengernyitkan bingung dengan wajah masam adiknya. Ia pun meletakkan handuk yang tadi ia gunakan untuk mengeringkan rambut di gantungan. Kemudian berjalan menghampiri Rallin.
"Kenapa? Kusut amat," ujar Henggar sambil menyalakan televisi.
Rallin yang semulanya menelungkupkan wajahnya di antara lipatan lutut itu segera menegakkan kepalanya. Menatap Henggar yang sudah duduk manis di sampingnya dengan tangan yang sibuk mengganti channel siaran televisi.
Rallin mendesah pelan. "Nggak papa. Gabut aja karena gue nggak sekolah," bohong Rallin.
Tentu saja gadis itu memilih untuk berbohong daripada harus jujur. Ia yakin kalau ia mengatakan yang sebenarnya, pasti Henggar akan menghabisi Nadiv. Apa lagi Henggar sudah mewanti-wanti dirinya kalau Nadiv menyakitinya maka Henggar tidak akan tinggal diam.
Maka dari itu Rallin tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Ia juga masih sayang pada Nadiv meskipun lelak itu kerap menyakitinya. Selagi hatinya masih mampu, maka Rallin akan terus berada di samping Nadiv apapun yang terjadi. Ia tidak akan membiarkan Adelia merebut apa yang sudah ia capai dengan susah payah.
Henggar yang mendengar penuturan Rallin langsung meletakkan remote itu di atas meja. "Home schooling mau nggak?" tanyanya.
Rallin langsung menatap Henggar dengan pandangan yang berbinar. "Serius lo?" tanyanya dengan antusias.
Henggar tersenyum tipis. "Iya, serius gue. Lo mau?"
Dengan cepat Rallin menganggukkan kepalanya. "Ya gue maulah! Gue masih pengen jadi dokter kali, Gar."
"Yaudah entar gue cari gurunya. Lo tenang aja apapun bakal gue lakuin buat lo," ujar Henggar dengan tulus.
Rallin tersenyum tipis kemudian beringsut mendekati Henggar lalu memeluk lelaki itu dengan erat.
"Sayang banget gue sama lo. Lo satu-satunya harta yang gue punya. Jangan tinggalin gue ya, Gar?" ujar Rallin dengan sendu.
Henggar tampak menganggukkan kepalanya. Tangannya terulur untuk mengusap sayang kepala Rallin. "Gue nggak bakal tinggalin lo. Mana mungkin gue biarin bidadari gue ini sendirian? Gue bakal terus sama lo sampe lo punya suami nanti," kata Henggar.
Rallin hanya terdiam tanpa mampu membalas ucapan Henggar yang membuatnya terharu. Henggar yang selalu menjaganya. Henggar yang selalu mengutamakannya. Henggar yang selalu menjadi sandarannya. Lalu apa jadinya Rallin kalau tidak ada Henggar?
Mungkin seperti rumah tanpa tiang yang tidak bisa berdiri kokoh karena tidak memiliki landasan. Rallin tidak pernah berhenti bersyukur karena Tuhan memberikan sosok kakak yang begitu hebat di dalam hidupnya. Di saat ia tidak mendapatkan kasih sayang orang tua, Henggar mampu memberikan itu.
Henggar bisa menjadi ayah yang selalu menasehatinya ketika ia salah. Henggar bisa menjadi ibu yang selalu menyayanginya tanpa batas. Henggar bisa menjadi kakak yang selalu melindunginya. Bagi Rallin, Henggar adalah rumahnya.
"Gar?" panggil Rallin.
"Hm?" Henggar menyahut. Lelaki itu masih setia mengelus kepala Rallin.
"Gimana jadinya kalo nanti gue nggak bisa nemenin lo lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Drowning In The Pain
Teen FictionBagaimana rasanya dibenci keluarga karena sebuah kesalahan yang tidak pernah kau lakukan? Bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang paling berarti untukmu? Dan... Bagaimana rasanya mengejar seseorang yang hatinya bukan untukmu? Ingin tahu rasanya...