Bab. 13

361 41 0
                                    

Kalau nanti kamu tidak ditakdirkan denganku, percayalah aku pernah begitu sungguh menginginkanmu

***

Bu Ida menoleh ke arah pintu, begitu juga semua siswa. Disana, di ambang pintu, berdirilah seorang siswa berpenampilan brandalan. Baju kusut tidak di masukan, dasi tidak ada, sepatu warna merah yang menyalahi aturan. Dan lebih parahnya lagi siswa itu terlambat.

Bu Ida berjalan ke arah pintu dengan geram. Saat sampai, yang dilihat adalah tampang tak berdosa milik muridnya itu.

"Baju dimasukan!" ucap bu Ida sambil memukul pinggang Nadiv sedikit keras.

"Ini lagi dasi nya mana?" tanya bu Ida sambil menujuk leher Nadiv dengan Rotan.

"Sepatu warna merah. Kamu mau mejeng ha?!" tanya bu Ida lagi dengan suara yang menggelegar.

"Udah menyalahi peraturan. Telat lagi. Mau jadi apa kamu?" 

"Aduh bu, jangan gitu dong. Masa ibu aniaya saya," gerutu Nadiv sambil mengusap pinggangnya yang di pukul bu Ida.

"Bahasa kamu lebay. Padahal gak keras." 

"Ibu mukulnya keras banget bu. Saya yakin sampe biru-biru nih pasti pinggang saya," ucap Nadiv mendramatisir.

Siswa yang melihat itu hanya bisa menahan tawa. Termasuk Didan, Rangga, dan Henggar. Mereka bahkan sampai menggunakan buku untuk menutupi mulutnya agar tidak kelepasan. Nadiv yang melihat itu hanya mendengus kesal. Terlebih lagi pada Rangga. Tadi lelaki itu bilang tidak ada guru, tapi sekarang kenapa malah ada macan ngamuk di depannya?

"Alah lebay. Biasanya juga suka tonjok-tonjokkan masa di elus rotan aja sampe biru," cibir bu Ida.

Nadiv berdecak kesal pada guru satu ini. Tadi pacarnya yang memberi hukuman untuk memunguti sampah. Kalau tadi tidak di awasi oleh bu Neni, sudah pasti Nadiv memilih kabur. Tapi sialnya guru itu sudah tau bagaimana tabiat Nadiv yang suka membolos. Dan sekarang saat ia masuk kelas malah ketemu bu Ida, masa iya sekarang ia kena hukuman lagi?  

"Sekarang kamu keluar cari dasi. Saya gak mau tau kamu harus balik ke kelas lagi dengan keadaan rapi. Kalau kamu gak balik, besok saya akan melaporkannya ke kepala sekolah," titah bu Ida.

"Tapi bu-"

"Mau saya elus lagi pake rotan?" ancam bu Ida sambil mengelus-ngelus rotannya sambil tersenyum sinis ke Nadiv.

Nadiv memutar bola matanya kesal. Ia berbalik keluar kelas. Menyusuri koridor. Kalau-kalau ada siswa yang lewat dan ia bisa meminjam dasinya untuk bisa masuk ke pelajaran guru BK dadakan itu. 

Dalam hati ia menggerutu. Ini jam masuk, sangat jarang siswa yang berkeliaran saat jam pelajaran berlangsung. Niat hati ingin membeli di koperasi, tapi naasnya koperasi itu tutup. Membuat kekesalan pada diri Nadiv membuncah. Apalagi bu Ida mengancam akan melaporkannya ke kepala sekolah. Menyebalkan sekali.

"Apa gue pinjem Adelia aja, ya?" tanyanya sendiri. Kemudian ia berjalan menuju kelas Adelia. 

Tampak kelas gadis itu sedang lenggang. Hanya ada beberapa murid saja. Mungkin sedang free class, makanya sepi. Terlihat Adelia sedang berbicara dengan beberapa temannya. Nadiv pun berjalan menghampirinya.

"Sayang," panggil Nadiv. 

Adelia menoleh. Kemudian berdiri, "kenapa, Div?" tanyanya.

"Pinjem dasi kamu dong, aku di hukum sama bu Ida," ucap Nadiv.

Adelia berfikir sebentar. Kemudian mengubah raut wajahnya menjadi sedih. "Gak bisa, aku setelah istirahat ada pelajaran bu Tiwi, aku takut nanti di hukum," tutur Adelia.

Nadiv mendesah pelan. "Buat sekarang doang. Biar aku bisa masuk kelas, kan kamu masih sehabis istirahat butuh nya," ucapnya lagi.

Adelia menggeleng. "Gak mau. Aku takut," ucapnya.

Menghela nafas pelan, Nadiv tersenyum. "Yaudah, aku cari di orang lain aja. Aku juga gak mau kalo kamu sampe dihukum." 

Adelia hanya mengangguk. Kemudian Nadiv pamit keluar kelas. Lagi, ia berusaha menyusuri koridor sekolah. Berharap ada beberapa manusia yang lewat mengenakan dasi.

Dari kejauhan, mata Nadiv menangkap seseorang sedang berjalan. Nadiv membuka matanya lebih lebar untuk memperjelas pandangannya. Sesaat kemudian,

"Bangke! Kenapa harus dia?" sungut Nadiv.

* * *

Drowning In The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang