Bab. 55

237 32 0
                                    

Seorang gadis berpakaian kasual tampak berjalan seorang diri di keramaian taman kota malam ini. Pandangan gadis itu tampak lurus ke depan. Tatapannya kosong. Seperti ada kehampaan dalam hidupnya. Tak ada binar semangat yang terpancar dari kedua bola matanya. Persis seperti orang yang kehilangan semangat untuk hidup.

Di tangannya, ia menggenggam sebuah kalung yang ia temukan beberapa hari yang lalu di tangga rooftop. Kemudian pandangannya menurun, menatap kalung itu.

“Kalung siapa? Cantik banget,” ujarnya sembari menatap setiap sisi kalung berliontin setengah hati itu.

Adelia, gadis itu mengernyit heran. “Ini kayak kalung couple,” ujarnya lagi.

Pasalnya, liontin kalung hanya berbentuk setengah hati. Kalau menurut logika, tidak mungkin, kan, kalung seperti ini hanya dijual setengah saja? Pasti ada satu lagi. Dan yang menjadi pertanyaan Adelia adalah siapa pemilik kalung ini?

Jika mengingat ia menemukannya di tangga rooftop, waktu itu yang berada di sana hanya dirinya dan juga Astan. Atau mungkin ini milik Astan? Tapi sedikit menggelikan kalau lelaki seperti Astan memakai kalung yang sedikit feminim seperti ini.

Tak mau memikirkannya lagi, Adelia memilih untuk menyimpan kalung itu ke dalam tas selempangnya. Gadis itu kembali berjalan kemudian memutuskan untuk duduk.

Ah, kalau sedang sendiri seperti ini ia jadi teringat dengan Nadiv. Andai saja ia masih bersama lelaki itu, tidak mungkin ia berada di taman ini sendirian. Nadiv pasti tidak akan membiarkannya. Lelaki itu selalu mengatakan kalau Adelia adalah ratunya dan ia selalu siap mengantar juga menemani kemanapun gadis itu pergi.

Sial! Sekarang semua hanyalah tinggal kenangan. Rasa penyesalan kembali muncul ke permukaan. Menghantui pikiran Adelia. Seolah menyalahkan gadis itu karena telah menyia-nyiakan lelaki yang begitu tulus mencintainya.

Kenapa sekarang ia merasa seperti di posisi Rallin dulu? Menyaksikan lelaki yang dicintainya bahagia bersama gadis lain. Sungguh, ini begitu menyesakkan dada.

Mata gadis itu berpendar menatap sekelilingnya. Kemudian menyipit saat penglihatannya menangkap siluet seseorang yang ia kenal. Bibirnya tersungging ke atas. Menatap sumringah ke arah orang itu.

“Nadiv.” Gadis itu bergumam kemudian bangkit dari duduknya.

Gadis itu menyusul Nadiv yang tampaknya tengah membeli makanan di seberang sana.

“Div?” panggilnya saat berada di samping lelaki itu.

Nadiv menolehkan kepalanya saat mendengar sebuah suara yang menyerukan namanya. Lelaki itu mengernyit. “Hm?” balasnya datar. Ia kembali sibuk dengan ponselnya sembari menunggu pesanannya.

Adelia mengedarkan bola matanya. Merasa canggung sekarang. Padahal tadi perasaan gadis itu begitu menggebu-gebu saat melihat Nadiv. Namun ketika mendapati respon yang kurang baik, nyalinya mendadak hilang.

“Sama siapa kesini?” tanya Adelia. Tangan gadis itu saling bertautan.

Nadiv berdehem sebentar. “Pacar gue,” jawabnya lugas sambil  melirik Adelia dengan ekor matanya.

Wajah gadis itu berubah pias kala mendengar jawaban Nadiv. Pacar,ya? Gumam gadis itu dalam hati. Rasa sakit kembali menyerang ulu hatinya.

“Div, kamu nggak mau kasih aku kesempatan buat perbaikin hubungan kita?” tanya Adelia sambil menatap mata lelaki itu.

Nadiv tersenyum miring. “Apa? Kesempatan? Ngelawak lo?” sinis lelaki itu.

Adelia menelan salivanya kasar. Nadiv yang ada di depannya begitu berbeda dengan dulu. Lelaki di depannya tidak lagi bersikap manis. Adelia begitu merindukan sosok Nadiv yang dulu.

Drowning In The PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang