22. Firasat

15 3 0
                                    

"Hari ini Mas ingin seharian bersama kamu Sayang," bisik Azzam yang tiba-tiba saja memeluk Adiva yang saat ini tengah menjemur pakaian di halaman belakang rumah.

"Iya ya Mas, makanya lepasin dulu biar aku cepet nyelesain ini," protes Adiva karena merasa pergerakannya terbatas.

"Sini biar Mas aja yang lanjutan. Kamu duduk aja!" Azzam segera mengambil alih pekerjaan Adiva dan menyuruh istrinya itu untuk duduk manis saja.

Sembari memperhatikan Azzam yang tengah menjemur pakaian, Adiva merasakan ada sesuatu yang aneh. Hampir seminggu Azzam bertingkah laku layaknya anak kecil. Jika biasanya Adiva yang bermanja-manja pada Azzam kali ini justru terbalik. Selama mereka berdua sedikitpun Azzam tidak mengizinkan Adiva menjauh. Adiva sampai bingung sendiri dengan perubahan sikap Azzam yang menurutnya berlebihan. Sejujurnya dalam hati kecil Adiva merasa gelisah. Entah, Adiva sendiri tidak tahu penyebabnya. Mungkinkah ini hanya karena hormon kehamilannya yang membuat Adiva menjadi lebih sensitif ataukah ada alasan lain yang tidak diketahui oleh Adiva?.

Azzam segera meletakkan ember bekas cucian tadi dan mendekati Adiva. Mengajak Adiva masuk ke dalam rumah. Lantas mereka bersantai di sofa ruang tengah dengan Adiva dalam pelukan Azzam.

"Dek, kamu janji ya akan baik-baik saja selama Mas di Jakarta?" ucap Azzam seraya membelai perut Adiva. Seketika Adiva mengangkat wajah, menatap ke dalam mata Azzam yang menyiratkan sesuatu yang tak bisa Adiva pahami.

"Kan aku sama Ayah dan Ibu, justru Mas yang hati-hati di jalan. Pokoknya setelah urusan Mas selesai, Mas harus pulang!" tegas Adiva dengan kedua mata yang tiba-tiba berembun. Selalu saja seperti ini setiap kali Azzam akan pergi ke kota.

"Pokoknya ada atau tidak ada Mas, kamu harus kuat dan sehat," balas Azzam sembari membalas tatapan Adiva.

Tanpa Adiva duga Azzam kembali merapatkan pelukan. Debaran jantung mereka seolah menyatu, menunjukkan jika mereka tidak ingin terpisahkan walaupun sebentar saja.

"Mas cancel aja deh dinas ke Jakartanya. Aku jadi nggak tenang gini ya?" jujur Adiva meluapkan isi hatinya.

"Nggak bisa gitu dong Sayang. Mas harus tetap berangkat. Makanya sebelum Mas berangkat ke Jakarta besok Mas ingin menghabiskan waktu bersama kamu. Nanti malam juga kita pulang ke rumah Ibu dan Ayah," terang Azzam dengan tergelak.

"Ingat baik-baik. Selama Mas nggak ada kamu harus nurut apa kata Ibu dan Ayah. Sholat harus tepat waktu dan yang terpenting doain urusan Mas cepat selesai dan kita bisa berkumpul lagi," ucap Azzam dengan serius.

Mendengar nasihat Azzam semakin membuat Adiva berat melepaskan kepergian Azzam ke Jakarta. Ini adalah perpisahan terberat bagi mereka berdua karena biasanya Azzam hanya pergi untuk 1 atau 2 hari saja. Tapi untuk kali ini Azzam akan pergi selama tiga hari sesuai tiket kereta api pulang-pergi yang sudah disiapkan oleh kampus. Air mata Adiva bergulir begitu saja saat merasakan hatinya yang tiba-tiba rapuh. Membayangkan tiga hari mendatang tanpa kehadiran dan pelukan dari laki-laki yang sangat dicintainya tersebut.

"Mas, aku sangat mencintai kamu," lirih Adiva dengan terisak.

"Loh kok malah nangis? Ih cengeng banget," goda Azzam sembari mengurai pelukan mereka. Azzam menggeser posisi duduknya. Menghadap ke arah perempuan yang sangat dicintainya tersebut.

"Jangan bersedih seperti ini. Mas jadi nggak tenang nanti," sambung Azzam lalu menyeka air mata di pipi Adiva. "Mas juga sangat mencintai kamu. Ini buktinya," ucap Azzam lalu membelai perut Adiva.

Seperti mengerti suasana hati kedua orang tuanya bayi dalam kandungan Adiva bergerak aktif saat Azzam membelainya. Gerakan itu terus terjadi mengikuti gerak tangan Azzam hingga membuat Adiva beberapa kali meringis merasa geli.

Tiga Hati Satu Cinta (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang