Bukan Hinata namanya kalau tidak keras kepala. Hinata itu memang sangat sulit di atur, bahkan mungkin mengurus puluhan domba di tanah lapang akan jauh lebih mudah daripada mengendalikan Hinata.
Ya seperti itulah kenyataan yang selama ini di rasakan Naruto.
Dia menghela nafas pelan saat mendapati gadis cantik dengan balutan gaun tidur selutut dan sweeter tebal sedang menonton televisi sambil memeluk boneka panda berukuran besar. Sekarang pukul dua pagi dan Naruto melihat Hinata masih terjaga dengan aneka sampah cemilan di sekitarnya.
Dia pasti menunggu Naruto pulang.
"Nata.." panggil Naruto.
Gadis itu tersenyum lebar lalu berdiri setelah membersihkan sisa remahan roti di atas tubuhnya. "Kamu udah pulang?"
Konyol sekali pertanyaan Hinata, jelas-jelas Naruto sudah berdiri tegap di depan Hinata lalu dia bertanya dia sudah pulang?
Apa gadis itu sedang melucu?
Maaf tapi Naruto sedang tidak berselera tertawa. Daripada itu Naruto sepertinya lebih selera untuk mengomeli gadis itu.
"Nat ini udah ja-"
"Stttt...." Naruto menghentikan ucapannya saat dia melihat Hinata mengangkat tangan. Dia menaikkan alisnya sebelah. "Kamu denger enggak?" Tanya gadis itu pelan, dia sedikit menunduk hingga membuat Naruto ikut menunduk karena penasaran.
"Apaan?" Tanyanya kepo.
"Bunyi perut aku, aku kelaperan nunggu kamu pulangnya lama banget. Mana titipan aku?"
Naruto mendengus, diam-diam dia merapalkan berbagai sumpah serapah karena kelakuan gadis itu. Hinata selalu punya 1001 cara untuk mengelak ketika Naruto hendak memarahinya. Dia seperti belut yang licin dan sulit di genggam.
"Makan terus yang ada di otak lo mah," cibir Naruto. Dia menyodorkan satu kantong besar makanan yang sepertinya sudah dingin. Naruto pasti membelinya pada jam makan malam tadi karena biasanya tidak ada toko buka tengah malam.
"Ya kalau enggak makan, mati lah." Naruto menghela nafas sambil berlalu begitu sama menuju kamar, "lo gak mau Nar?" Hinata mengekori Naruto menuju kamar sambil menenteng kantong makanan itu.
"Gak buat lo aja." Ketus, iya kadang Naruto memang sangat dingin namun kadang dia bisa berubah hangat. Tergantung bagaimana suasana hati pemuda itu.
"Lo kenapa si? Ada masalah ya di kantor?" Tanya Hinata, gadis itu jadi tidak berselera makan lagi saat melihat wajah kusut Naruto yang mirip kertas di makan sapi. Sangat kumal dan tidak sedap di pandang.
"Masalah di rumah yang ada."
Hinata menghela nafas, "Maksud lo masalah sama gue? Gue salah apa si? Minta maaf deh kalau ngeselin." Sambil mencebikkan bibirnya Hinata duduk di sebelah Naruto yang berbaring di kasur. Hinata sakit hati? Oh tentu saja tidak. Gadis itu sudah cukup kebal menghadapi Naruto karena bukan satu dua hari mereka bersama.
"Lo berisik Nat, kepala gue sakit dengernya." Naruto menutup kepalanya dengan bantal sambil tengkurap. Dia memang sengaja mengabaikan Hinata. Dia sedang malas meladeni gadis itu, moodnya berantakan.
"Ck, kalau gue diem ntar lo kesepian! Dah buka dulu bajunya baru tidur, jangan pake baju kaya gini ntar gue capek nyucinya!!" Hinata menarik-narik bahu pemuda itu cukup kasar hingga membuat Naruto kian kesal. Hinata sudah seperti Ibu-ibu yang sedang mengomeli anaknya.
"Gausah rusuh, bisa gak?" Dengan sedikit membentak Naruto menatap Hinata kesal sementara Hinata masih dengan pendiriannya.
"Copot dulu bajunya baru gue gak berisik," Hinata menatap Naruto dengan berani. Pemuda itu menghela nafas kasar lalu dia melepaskan dasi dan pakaiannya kasar. Tanpa memperdulikan ekspresi wajah Hinata Naruto melempar bajunya ke lantai kemudian kembali berbaring.
Hinata terseyum, kadang memang bertahan di samping Naruto butuh kesabaran ekstra. Hinata memunguti pakaian Naruto lalu membawanya ke kamar mandi. Gadis itu terlihat sangat baik-baik saja mendapatkan perlakuan kasar dari Naruto.
Setelah menaruh pakaian Hinata memasuki kamar lagi, dia membenarkan selimut Naruto untuk menutupi dada telanjang pemuda itu lalu ia berbaring di sebelah Naruto. Sedikit memberi jarak karena entah kenapa Hinata sedang tidak ingin tidur terlalu dekat dengan Naruto. Ada rasa aneh mendadak menyeruak ketika melihat lelaki itu berkata kasar tadi.
Hati Hinata sepertinya terluka tapi dia menolak merasakannya.
Hinata tidur sambil memunggungi Naruto, tanpa selimut ataupun bantal.
Naruto membuka mata biru safirnya yang sedikit layu itu, tangan besarnya bergerak untuk menarik pinggang Hinata mendekat kemudian memeluknya dari belakang. Seperti biasa, bagi Hinata dekapan itu selalu hangat dan menenangkan.
Tapi karena rasa aneh di hatinya itu, Hinata enggan berbalik atau sekedar berbicara pada Naruto.
"Maaf,"
Hinata tersenyum tipis saat mendengar gumaman Naruto, suaranya berat dan terdengar sangat kelelahan. Hinata mengangguk, dia mengelus punggung tangan Naruto yang kini ada di perutnya. Mungkin lelaki itu kelelahan hingga membuatnya sedikit emosional.
"Gapapa." Jawab Hinata pelan, Naruto mengangguk dia mengecup kepala Hinata pelan lalu tak lama ia jatuh tertidur sambil memeluk Hinata.
Gadis itu masih terjaga hingga beberapa jam kemudian. Deru nafas Naruto yang begitu teratur dan damai membuat gadis itu tenang.
Perjanjian konyol, kontrak gila dan tidak masuk akal yang pernah mereka tanda tangani membawa mereka pada situasi yang membingungkan ini.
Awalnya semua berjalan biasa saja namun semakin kesini hubungan mereka berubah kian intens, mereka benar-benar seperti sepasang kekasih yang terlihat harmonis dan saling membutuhkan. Tapi percayalah, tidak ada satu ikatan yang pasti selain kontrak saling menguntungkan itu.
Tapi Hinata, punya alasan lain untuk bertahan.
Naruto sudah memberinya kesempatan untuk pergi namun Hinata masih memilih tinggal dan Naruto tidak pernah keberatan dengan hal itu.
Mereka memang saling membutuhkan, dengan atau tanpa kontrak itu. Hinata akan tetap di sini karena dia tidak punya siapapun selain Naruto.
"Selamat tidur, Naruto."
To be continue....
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Life | Namikaze Naruto✔
FanfictionKalau Tuhan ngasih kebebasan aku buat milih, di kehidupan selanjutnya pun aku tetep mau sama kamu, Naruto. a naruhina fanfiction story by MhaRahma18 cover by pinterest only for 18+ year old