3. Tentang ego

782 108 8
                                    

Naruto tau dia membutuhkan gadis itu, dia sangat tau keberadaan gadis itu adalah salah satu hal yang sudah lumrah baginya.

Hinata adalah bagian dari rutinitasnya, Hinata adalah bagian dari kesibukan Naruto yang melelahkan.

Bahkan sejak bersama Hinata, pemuda itu mulai banyak berekspresi dan berbicara. Lambat laun kekosongan dalam dirinya berganti dengan hiruk pikuk menyebalkan saat ia bersama Hinata.

Lucu memang, dia kerap kali menganggap Hinata menyebalkan dan merepotkan tapi sehari tanpa menatap wajah menyebalkan itu, Naruto merasa ada yang kurang. Bahkan skinship dengan gadis itu adalah keharusan yang tidak Naruto sadari.

Entah sekedar memeluk, mencium, menggenggam, bahkan tak jarang mereka bercinta. Naruto merasa Hinata bisa menutup semua kekurangannya, Hinata bisa menjadi dan mengerti apapun yang dia butuhkan.

Naruto membutuhkannya, namun jika Hinata ingin pergi Naruto tidak akan melarangnya.

***

Naruto masih di kantor, pekerjaannya begitu banyak hingga membuat kepalanya berdenyut ngilu. Dia ingin segera pulang dan tidur namun dokumen-dokumen ini seolah memenjarakan dirinya.

Naruto menghela nafas, mendadak dia teringat Hinata. Sekarang pukul satu malam apakah gadis itu masih menunggunya? Tanpa pikir panjang Naruto langsung meraih ponselnya dan menghubungi Hinata.

Panggilan tersambung, tak berapa lama kemudian Naruto mendengar suara Hinata di seberang telefon. "Ya? Kenapa Nar?" Tanya gadis itu. Dari nada suaranya terdengar sangat semangat sepertinya dia memang sedang menunggu telefon dari Naruto. Dasar gadis nakal, padahal Naruto selalu menegurnya tapi tidak pernah sekalipun dia mendengarkannya.

"Bandel banget sih lo." Diam-diam Naruto tersenyum, suara gadis itu membuat sedikit beban di bahunya menguap.

"Emang lo siapa ngatur gue?" Hinata terkekeh pelan sedangkan Naruto hanya tersenyum tipis.

"Tidur Nat," lelaki itu menyandarkan kepalanya di sandaran kursi sambil menatap langit-langit. Entah kenapa mendadak dia ingin bertemu gadis itu, sepertinya memeluk Hinata akan membuat pening di kepalanya sedikit mereda.

"Gimana gue mau tidur kalau lo nelpon? Buruan balik makanya ntar gue tidur." Kadang Hinata berbicara lembut kadang pula ia kasar, Naruto heran kenapa gadis itu bisa seperti bunglon yang gampang berubah.

"Yaudah gue balik sekarang,"

Hinata terdiam sejenak, gadis itu sepertinya terkejut. "Beneran mau pulang?" Tanyanya ragu.

"Iya."

"D-demi? Gue bercanda kali Nar.."

"Tapi gue serius,"

"Lagi banyak kerjaan ya di kantor? Atau gak gue aja yang ke situ nemenin lo?"

"Udah malem Nat, nan-"

"Gapapa! Gue ke sana ya?"

"Yaudah, terserah lo aja."

Lalu beberapa saat kemudian sambungan telepon itu terputus sepihak. Hinata mematikan panggilan itu dan entah sekarang sedang melakukan apa.

Naruto memilih melanjutkan pekerjaannya. Sial, kenapa dokumen ini tidak pernah ada habisnya? Naruto menyesal kenapa dia menyetujui permintaan ayahnya untuk melanjutkan pekerjaannya. Kalau tau seperti ini, Naruto lebih suka menjadi fotografer yang hidup bebas tanpa harus di hantui kertas-kertas yang lebih menakutkan daripada hantu sadako ini.

Sekitar setengah jam berlalu, pintu ruangan Naruto di ketuk oleh seseorang. Naruto sudah sangat tau itu siapa, tanpa menjawab sekalipun orang tersebut pasti akan masuk.

"Sepada!!" Ujar Hinata dengan senyum lebarnya. Sudut bibir Naruto tertarik ke atas, dia mengulurkan tangannya ke arah Hinata. Gadis itu berjalan ke arah Naruto sambil membawa sebotol minuman hangat. "Tadi aku beli di bawah," ujarnya. Naruto menerima minuman itu dengan senang hati. Hinata membiarkan saja Naruto menggenggam tangannya erat sementara satu tangan lainnya lelaki itu gunakan untuk minum.

"Naik apa ke sini tadi?" Tanya Naruto. Dia meletakkan botol kosong itu di atas meja lalu menarik Hinata agar duduk di pangkuannya. Hinata sudah sangat hafal dengan kebiasaan Naruto saat lelah hanya diam saja saat lelaki itu sibuk mengusakkan wajahnya di punggung Hinata.

"Jalan kaki, kan deket." Jawab Hinata sekenanya.

"Lain kali kalau nyusul ke sini, pake baju yang lebih tebel. Dingin di luar." Tukas Naruto sambil melonggarkan pelukannya. Pemuda itu membenarkan posisi Hinata agar ia bisa melanjutkan pekerjaannya. "Kalau ngantuk bilang aja, kerjaan gue masih banyak." Hinata mengangguk, dia menyamankan posisi duduknya dalam pangkuan Naruto. Meski sebenarnya ini tidak nyaman tapi gadis itu mencoba untuk tidak protes.

"Kalau kamu ngantuk tidur aja Nar, besok pagi kan bisa di lanjutin." Hinata mendongak namun yang ia dapati adalah wajah Naruto yang begitu serius membaca lembar demi lembar kertas di hadapannya. Dia seolah menulikan telinganya. Hinata menghela nafas pelan, "Yaudah kalau kamu masih keras kepala, jangan terlalu memaksakan diri. Kamu itu udah kaya jadi buat apa kamu kerja mati-matian gini."

Naruto menunduk lalu menatap Hinata dengan tatapan remeh, "Kayaknya saldo rekening kita kalau di adu, banyakan punya lo deh."

Hinata terkekeh pelan, "Ya siapa suruh kamu boros? Bukannya nabung malah beli hal-hal yang gak guna."

"Contohnya?" Naruto membalikkan posisi duduk Hinata hingga kini gadis itu duduk tepat berhadapan dengan Naruto.

"Em, beliin aku pabrik es krim padahal kan aku cuma mau es krimnya." Hinata mengerucutkan bibirnya kesal sementara Naruto tertawa pelan.

"Makanya kalau ngomong yang jelas!" Naruto mencubit gemas pipi tembam Hinata hingga gadis itu mengaduh pelan.

"Ya makanya kalau nurutin gue jangan sambil emosi!" Tak mau kalah, Hinata bersedekap tangan sambil menggerutu.

"Udahlah lagian itu bukan hal yang gak berguna, itu hal yang jelas-jelas ada gunanya kan Nat."

"Buat apa anjir? Sampe meleduk ini perut gue makan itu eskrim gak ada habisnya."

Naruto mengusak rambut Hinata pelan, "Kan gue beli itu pabrik bukan cuma buat lo makan, itu juga buat investasi dodol."

"Investasi mulu, hasilnya mana?"

"Lo kira ngepet hasilnya bisa instan?!"

Bibir Hinata terbungkam, benar juga apa yang di katakan pemuda itu. Mana ada investasi yang instan, semua butuh proses panjang yang juga resiko yang cukup besar.

Kalau mau cepat kaya, ambil pesugihan saja.

"Udah mending lo diem, gue mau lanjut kerja biar cepet tidur." Potong Naruto. Hinata ahirnya mengalah, dia menyamankan diri di dekapan Naruto. Hinata sengaja tidur dengan posisi seperti ini agar Naruto bisa lebih tenang mengerjakan pekerjaannya.

"Gue tidur ya?" Tanya Hinata samar-samar.

Naruto bergumam kemudian mengecup pelipis Hinata lembur, "Selamat malam." Hinata sudah tak lagi mendengar ucapan Naruto. Gadis itu jatuh tertidur sambil memeluk Naruto.

Naruto menghela nafas perlahan, sepertinya kantuk mulai menggerogoti dirinya. Melihat Hinata tidur dengan pulas rasa kantuk pun merasuki Naruto. Pemuda itu beranjak dari kursi lalu berjalan menuju tempat tidur yang sengaja dia design di dalam ruangan ini. Hanya sebuah matras yang di letakan di balik rak buku dan di sebelah lemari, sedikit tersembunyi namun tidak begitu rapat. Naruto berbaring sambil masih memeluk Hinata, jas kerja pemuda itu telah lama ia lepas menyisakan kemeja putih dengan dua kancing atas yang terlepas.

Sebelum benar-benar terlelap, Naruto masih sempat memandangi wajah cantik Hinata. "Makasih Nat,"

Entah untuk apa, tapi kadang keberadaan Hinata adalah suatu anugrah untuk Naruto, dan rasanya butuh ribuan kali untuknya bersyukur atas karunia Tuhan yang satu ini.

To be continue...

Another Life | Namikaze Naruto✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang