24. Pertemuan Azzam dan Aldebaran

23 4 0
                                    

Senyuman Azzam merekah saat memperhatikan sesosok laki-laki di hadapannya yang selama ini menjadi saingannya di hati Adiva. Laki-laki yang menjadi cinta pertama istrinya. Laki-laki itu adalah Aldebaran Malik, murid sekaligus laki-laki malang yang telah ia rebut cintanya. Azzam bukan cemburu melainkan merasa bersalah. Karena dirinya dua remaja saling mencintai itu harus terpisahkan. Tapi Azzam pun tak mampu menolak takdirnya sebagai perusak hubungan antara Aldebaran dan Adiva.

Azzam masih menelisik penampilan Aldebaran yang jauh berbeda. Aldebaran yang dikenalnya dulu adalah remaja yang cerdas dan ceria. Tapi sekarang laki-laki itu tampak lebih dewasa dan irit bicara dengan balutan pakaian ala remaja metropolitan. Sarung, koko, dan peci telah tergantikan dengan kemeja jangkis dan celana jeans. Tapi bukan itu yang menjadi penilaian Allah pada hamba_Nya melainkan ketaqwaan dalam hati yang hanya diketahui oleh Allah semata.

Menyadari tatapan menyelidik Azzam padanya membuat Aldebaran yang sejak 10 menit lalu hanya memainkan jari jemarinya di atas bibir cangkir seketika mengangkat wajah. Memberanikan diri menghadapi apapun kabar Adiva yang tentu akan mempengaruhi perasaannya.

"Bagaimana kabar Ustadz sekeluarga?" ucap Aldebaran dengan menahan gemuruh di dada sembari mengulas senyuman yang sangat tipis demi menutupi rasa gugupnya. Bagaimana Aldebaran tidak gugup jika saat ini dirinya berada di hadapan laki-laki yang telah merebut gadis yang dicintainya.

Tadi seusai acara reuni Azzam mengajak Aldebaran ke luar gedung sebentar. Dan kini mereka berada di dalam kedai kopi di samping gedung acara reuni digelar. Sebagai murid tentu saja Aldebaran tidak berkuasa untuk menolak titah ustadz_nya sendiri. Mereka duduk berhadapan dengan sebuah meja bundar sebagai pemisahnya.

Terdengar hembusan napas kasar lolos dari bibir Azzam sebelum berkata-kata, "Alhamdulilah, kami semua sehat. Kami tengah berbahagia menanti kelahiran putri pertama kami," terang Azzam sembari menikmati perubahan wajah Aldebaran.

Deg.. Debar jantung Aldebaran seolah berhenti berdetak seketika saat mendengar kabar kehamilan Adiva. Jadi selama ini Safira menyembunyikan kabar ini darinya. Aldebaran sontak kembali menundukkan wajah lalu menyesap kopinya secara perlahan. Membiarkan cairan hitam yang masih mengepul itu menyapa kerongkongannya. Panas kopi itu tak sebanding dengan rasa panas di dalam aliran darahnya saat ini. Aldebaran tengah mati-matian bertahan di tempatnya dengan tenang. Jangan sampai Azzam mengetahui perasaannya pada Adiva. Aldebaran tidak ingin jika pertemuannya dengan Azzam nantinya menjadi masalah dalam rumah tangga Adiva. Aldebaran memang mencintai Adiva tapi membuat Adiva bersedih tentu bukan keinginannya.

"Semoga istri Ustadz selalu dalam lindungan Allah dan dimudahkan hingga persalinan nanti," jawab Aldebaran dengan perasaan tak menentu. Tapi doa itu ia ucapkan dengan tulus dan sepenuh hati.

Kembali Azzam tersenyum, memperhatikan Aldebaran yang tentu saja tengah menahan diri. Azzam memang sengaja ingin memancing Aldebaran agar mengutarakan segala beban di hatinya. Azzam rela jika harus menjadi pelampiasan atas luka yang diderita Aldebaran. Karena sengaja atau tidak sengaja Azzam lah penyumbang utama luka itu.

"Saya minta maaf jika selama ini tanpa sengaja menyakiti kamu," ucap Azzam yang sukses membuat Aldebaran kembali mengangkat wajah. Menatap ke dalam mata Azzam yang menyiratkan sesuatu. Tapi Aldebaran tak ingin berspekulasi sendiri meskipun dalam hati kecilnya telah menyatakan jika Azzam telah mengetahui hubungan dirinya dan Adiva.

"Ustadz tidak pernah membuat kesalahan kepada saya," tukas Aldebaran dengan cepat.

"Mungkin. Tapi hidup saya tidak akan pernah tenang sebelum mendapatkan maaf dari kamu." Senyuman yang sedari tadi bertahan di bibir Azzam seketika sirna saat mengucapkan kalimat tersebut.

Tampak rahang Aldebaran mengeras. Tangan kiri Aldebaran yang berada di bawah meja pun kini tengah mengepal dengan kuat. Apalagi kerja jantungnya yang saat ini seolah memberontak ingin meledak karena menahan gulungan emosi dalam dirinya yang telah terkumpul menjadi satu.

Tiga Hati Satu Cinta (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang