Farhan, Hisyam, dan Mansur sampai di RSUD Nganjuk tiga jam kemudian. Mereka langsung menuju IGD rumah sakit. Di luar IGD, sebagian para korban luka ringan kecelakaan kereta api di tangani oleh tenaga medis. Mereka bertiga mengedarkan pandangan mencari sosok Azzam. Namun mereka tidak menemukan Azzam di antara para korban. Lalu Farhan menanyakan keberadaan Azzam pada salah satu petugas medis yang baru saja ke luar dari IGD. Jawaban tenaga medis itu berhasil membuat tubuh mereka bertiga mendadak lemas dengan jantung berlonjatan. Tapi mereka harus kuat dan siap dengan apa pun yang terjadi. Semua adalah kehendak Allah yang harus mereka terima nantinya.
Mereka bertiga masuk. Seketika tubuh mereka gemetar saat mendengar rintihan para korban yang memenuhi ruangan. Para tenaga medis pun tampak mondar-mandir karena saking banyaknya pasien yang harus mereka tangani sedangkan jumlah dan tenaga mereka terbatas.
"Maaf Bapak keluarga korban atas nama pasien siapa?" tanya seorang suster dengan ramah.
"Azzam Aulian Putra dari Jombang," jawab mereka bertiga serempak.
"Bapak Azzam berada di sebelah sana!" Tunjuk suster tersebut pada deretan ranjang para korban kecelakaan dengan luka berat.
Deg.. Mereka saling melempar pandang sekilas sebelum mengambil langkah menuju ranjang di deretan paling ujung. Air mata Hisyam mulai merebak saat mengenali pakaian yang dikenakan Azzam. Kemeja berwarna biru langit itu sudah bercampur dengan warna merah. Tubuh Hisyam serasa melayang kala langkahnya semakin mendekati ranjang di mana Azzam terkapar tak berdaya dengan selang infus dan oksigen di tubuhnya.
"Mas Azzam," lirih Hisyam sembari menyentuh tangan Azzam yang terlihat tertidur dengan tenang. Wajah Azzam pun hanya terdapat luka gores di bagian hidung dan pipi bagian kiri saja. Tapi perban di kepala Azzam lah yang membuat hati Hisyam semakin bergemuruh. Justru biasanya luka yang tak tampak itulah yang berbahaya.
"Anda keluarga pasien Azzam?" ujar perawat yang saat ini memeriksa kondisi Azzam. Tapi Hisyam tak menjawab. Hanya air mata yang saat ini menjadi bukti kesedihan Hisyam.
"Iya Mbak, kami keluarga dari pasien Azzam," sahut Farhan saat Hisyam dan Mansur hanya mematung di tempat.
"Pasien mengalami luka robek di bagian kepala sebelah kanan. Kami sudah menjahit luka tersebut. Tapi... " terang suster tersebut sembari menatap mereka bertiga secara bergantian.
"Kami telah berusaha menghentikan pendarahan di kepala pasien. Untuk mengetahui secara pasti, pasien harus melakukan ronsen atau untuk lebih jelasnya melakukan CT. Scan dan sesuai prosedur rumah sakit kami harus mendapatkan persetujuan dari keluarga pasien barulah bisa melakukan tindakan," sambung suster tersebut.
Mendengar penjelasan itu Mansur langsung menyuruh suster tersebut melakukan tindakan medis pada Azzam secepatnya. Hisyam masih setia menatap Azzam tanpa kata. Dirinya tidak akan sanggup melihat saudara satu-satunya yang ia miliki terkapar tak berdaya seperti ini. Tiba-tiba kenangan indah kebersamaan mereka menyeruak dalam ingatan Hisyam begitu saja. Hisyam tidak akan mampu jika sampai kehilangan Azzam apalagi kedua orang tuanya.
Tak lama dua suster datang untuk membawa Azzam ke ruang CT. Scan. Mereka bertiga mengikuti ke mana pun suster itu membawa Azzam. Selama di dalam ruangan CT. Scan mereka bertiga terdiam dengan melafalkan doa tiada henti dalam hati untuk keselamatan Azzam. Sekitar 15 menit berlalu akhirnya seorang suster datang untuk memanggil salah satu keluarga pasien sebagai perwakilan untuk mengetahui hasil CT. Scan.
Hisyam lantas berdiri dan mengikuti langkah suster tersebut. Hisyam segera duduk di kursi seberang meja dokter yang saat ini memegangi sebuah lembaran seperti klise berwarna hitam dengan gambar abstrak. Gambar yang hanya dimengerti oleh dokter ahli. Hisyam menatap lembaran itu dengan tubuh berkeringat dingin. Bahkan kedua tangannya yang bergetar hebat itu saling meremas di atas pangkuan demi meredam perasaan yang tak terdefinisi di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Hati Satu Cinta (End)
RomanceRate 18+ Blurb Perpisahan dengan seorang sahabat terbaik beserta dengan cinta pertamanya tentulah hal yang tak mudah bagi Adiva Dania Khanza, gadis berusia 18 tahun itu. la terisak tatkala harus melambaikan tangannya melepas Aldebaran Malik pergi me...