"Udah deh, nggak usah buang waktu. Mending you semua panggil Lilac sekarang!"
Gebrakan dan bentakan Pak Jerry Hendratno – Direktur Personal Care PT. Narve Living – membuat beberapa deretan orang di depan mejanya tersentak.
Elisa, kepala corporate secretary yang mewakili divisinya untuk merekapitulasi berkas legal tiap divisi produk, menghela napas panjang. Ia segera berbisik kepada Devi yang telah menjadi sekretaris Pak Jerry tiga tahun terakhir, "Telepon Lilac, deh, biar cepat."
Devi mengangguk dan segera berlari ke luar ruangan, menuju mejanya sendiri, lalu menekan deretan nomor ekstensi. Ia menunggu dengan hati kacau hingga nada tunggu berubah jadi suara sapaan yang sopan.
"La, bantuin dong. Pak Jerry ngamuk." Wajah panik Devi berubah semringah mendengar jawaban dari perempuan yang ia telepon, "Oke. thanks banget, ya, La!"
Devi tak berani kembali ke ruangan Pak Jerry sebelum malaikat penolongnya muncul. Biarlah Elisa dan anak buah Pak Jerry menenangkan bos berusia 54 tahun itu. Bolak-balik ia gigiti kuku tangan kiri dan kanannya demi menutupi panik. Setelah beberapa menit, ia melihat seorang perempuan berkemeja soft pink, celana hitam, dan sepatu pantofel datang setengah berlari. Pipi mulus perempuan itu berwarna sedikit kemerahan, mungkin karena memilih untuk turun dua lantai lewat tangga ketimbang lift agar lebih cepat sampai.
"Ilaaa! Sorry banget yaaa," ujar Devi begitu Lilac sampai di hadapannya. Sebagai sesama sekretaris Direktur, mereka memang terbiasa saling bantu. Namun, dalam berbagai keadaan, Devi lebih sering mengandalkan sahabatnya itu ketimbang sebaliknya.
"Nggak apa-apa. Yuk, masuk." Lilac tersenyum demi menenangkan Devi sebelum akhirnya mereka masuk ke ruangan Pak Jerry bersamaan.
"Permisi, Pak," sapa Lilac sopan, tentunya sambil sedikit membungkuk demi menjaga suasana hati Direktur yang tengah keruh.
"Lac, tolongin dong ini! You biasanya cepat cari dokumen." Tanpa basa-basi, Pak Jerry langsung memberi instruksi. Jelas terlihat bahwa kesabaran beliau nyaris habis. Lilac tersenyum gugup menatap tumpukan kotak ordner yang memenuhi meja.
"Ini ... yang dari gudang, Pak?" tanya Lilac memastikan sambil maju ke depan meja Pak Jerry perlahan.
"Yes! Anak-anak ini semua bilang kalau berkas bukti tayang nggak ada. I nggak percaya, jadi I cari sendiri. Tapi, tetap nggak ketemu juga."
"Mungkin sudah digitalized, Pak. Coba di-check dulu." Elisa mencoba bersuara sambil mengingatkan bahwa saat ini, tiap bukti tayang memang sudah seharusnya di-input dalam folder khusus di server kantor.
"You diam. Kalau nggak bisa bantu, minimal jangan terlalu menyusahkan. Dari dulu nggak ada ceritanya kita dimintakan berkas mendadak begini, bikin panik satu divisi saja," balas Pak Jerry sambil memelotot. Ia mendengkus karena Elisa mengingatkannya kembali akan tugas administrasi yang bahkan belum setengahnya diselesaikan oleh divisi Personal Care.
Mata besar Lilac mengamati tumpukan yang berisi ribuan berkas itu. Sebagai seorang sekretaris, Lilac tergolong sosok yang paling rajin merapikan berkas di gudang. Tak heran jika Direktur selain atasannya langsung kerap meminta tolong untuk dicarikan berkas. Akan tetapi, dalam kasus ini, Lilac pun tidak yakin dapat menemukan apa yang Pak Jerry inginkan. Sudah lebih dari empat orang; termasuk Pak Jerry sendiri; yang mencari dan hasilnya nihil.
Dengan pasrah, Lilac berdoa sambil mengambil sebuah kotak ordner dari tumpukan di atas meja Pak Jerry. Baik warna maupun bentuk kotak ordner tersebut membuat Lilac teringat akan kumpulan berkas bukti tayang. Ia segera membuka dan membolak-balik puluhan tembaran dari berbagai ukuran dan warna. Lilac menyingkap rambut berombak sebahu yang sempat menutupi wajahnya ketika menunduk tadi, lalu mengangkat kotak ordner yang ia pegang ke hadapan Pak Jerry.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilac Magenta [Terbit]
ChickLitAwalnya, Lilac puas dengan kehidupannya sebagai sekretaris andalan para direksi dan tulang punggung keluarga. Memiliki kehidupan yang mapan dan sanggup menyokong biaya pendidikan kedua adiknya adalah sebuah kemewahan bagi lulusan SMA seperti Lilac. ...