7. Pengalaman Berjejaring

2K 541 40
                                    

"Oke Narve's, santai dan have fun aja. Jangan lupa gantian nyanyinya. Oke?" Dengan luwes Imo membawakan acara malam itu sementara orang-orang lain duduk sambil memandang kagum ruangan paling mahal di tempat itu.

Tantri, Adi, dan Dipa bersyukur karena ditugaskan bersama Febrian kemarin sehingga malam ini, mereka bisa mencicipi suasana ruang karaoke yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Para sekretaris, selain Lilac, juga mengungkapkan rasa beruntung itu lewat seruah, "Wah," yang panjang dengan mata sibuk mengelilingi ruangan. Mereka tak hanya leluasa dari sisi ruang gerak, tapi juga fasilitas. Dengan lima microphone, tiga alat digital untuk menentukan lagu, dan sebuah panggung, mereka siap bersenang-senang malam itu. Bahkan, lampu perak yang terang dan berkilau membantu mereka untuk mulai karena Devi sudah semangat dan memilih lagu untuk membuka sesi karaoke mereka.

Lilac melihat ke sebelah kirinya, menatap bingung kelima temannya yang dengan penuh semangat melihat daftar lagu untuk dipilih di sebuah layar digital. Meskipun semua sahabatnya bersemangat, malam itu terasa cukup canggung bagi Lilac. Pukul setengah tujuh dan dia belum sampai rumah terasa amat ganjil. Biasanya, Lilac pulang pukul setengah enam, naik omprengan, dan satu jam kemudian sampai rumah. Ia langsung salat dan membantu Ibunya menyiapkan makan malam dan dagangan untuk keesokan hari.

Ini adalah kali pertama Lilac mengikuti acara dengan orang-orang dari divisi marketing, mereka yang Lilac tahu sering membicarakannya dengan Pak Rezky di belakang. Meskipun ada Febrian dan teman-teman sekretarisnya yang menjadi jembatan, Lilac tetap merasa kurang nyaman.

"Aku senang banget lihat kamu ikut hari ini," ucap Febrian yang tanpa disadari sudah duduk di sebelah Lilac sejak tadi. Perempuan itu tersenyum, menebak bahwa Febrian hanya berbasa-basi.

"Sering ngumpul juga, ya, La? Biar yang lain juga bisa kenal sama kamu," tambah Febrian lagi, mengisyaratkan bahwa acara kumpul-kumpul ini penting untuk membantu membersihkan nama baiknya di kantor juga.

"Kalau pulang kantor, saya biasa langsung pulang untuk bantu Ibu di rumah," jelas Lilac singkat.

"Emang kamu nggak punya Adik atau Kakak gitu? Ganti-gantian, dong. Atau, coba kamu nge-kos, tinggal sendiri, jadi bisa coba hidup jauh dari keluarga," balas Febrian.

"Kenapa saya harus hidup jauh dari keluarga?" tanya Lilac heran. Kerutan di pangkal alisnya muncul.

"Ya, biar mandiri. Nggak terlalu tergantung hidupnya sama keluarga. Bisa lebih punya kehidupan sosial," balas Febrian ringan.

Lilac tak menjawab. Ia sulit mencerna ucapan Febrian barusan. Mungkin ini salah satu sebab dirinya belum ingin membuka hati. Ia merasa tak mengerti, juga tak dimengerti tiap kali bicara dengan pria satu ini.

Memang benar ternyata ucapan Ibu Lilac jauh-jauh hari, baik saja tidak cukup.

"Feb, nyanyi, Feb!" Seruan itu langsung disusul hamburan keras dari Imo di sebelah Febrian. Adi yang tadinya berada di posisi itu harus bergeser menjauh karena meskipun ramping, tubuh Imo menghimpit sesak Adi.

"Sebentar, gue lagi ngobrol." Wajah Febrian yang tadinya cerah kini kusut saat menengok ke arah temannya.

"Oh, ini cewek lo?" Dengan suara besar, dan tunjukan jari yang tidak malu-malu, Imo bicara sambil menatap Lilac. Spontan saja perempuan itu memelotot mendengar tebakan asal itu.

"Mo!" tegur Febrian. Ia segera menoleh ke arah Lilac dan tersenyum canggung, "Sorry, La. Dia kalau ngomong emang sembarangan."

"Bercanda, ya. Saya senang kalau lihat Febrian panik." Imo tertawa, membuat Lilac geli sendiri mendengarnya.

Lilac Magenta [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang