"Saya ditawari pekerjaan di Pearsons, Pak."
Lima belas menit menjelang waktu pulang kantor. Alih-alih bersantai, Pak Rezky malah mendapatkan kabar yang begitu mengguncang harinya. Tentu saja direktur paruh baya itu dapat menjaga wibawanya dengan tersenyum dan mengangguk bak orang tua yang tengah melakukan diskusi penting dengan anaknya.
"Apa yang orang ini tawarkan ke kamu?" tanya Pak Rezky. Beliau sadar bahwa kedatangan Lilac ke ruangannya untuk memberitakan hal ini menunjukkan bahwa penawaran ini amat menggungah ketertarikan perempuan itu.
"Bapak tahu, kalau Pearsons itu punya kampus?" tanya Lilac. Dengan cepat Pak Rezky menghubungkan semua info yang ia ketahui dan menemukan jawaban. Tentu saja, hal yang selama ini selalu Lilac inginkan, tapi bertahun-tahun ia pendam. Kuliah.
"Meskipun dijanjikan bisa kuliah sambil kerja, penghasilan saya dipotong sampai 50 persen dari yang sekarang sudah saya dapatkan. Itu berarti hanya cukup untuk bayar SPP Lily dan kebutuhan sehari-hari kami saja. Tapi, ini kesempatan saya mendapatkan gelar S1. Saya mau coba diskusikan sama orang-orang rumah dulu," jelas Lilac. Pak Rezky mengangguk.
"Baik." Pak Rezky memajukan tubuhnya, lalu berkata, "Terima kasih sudah mengabarkan Bapak, ya, La."
Dahi Lilac berkerut. Ia bertanya, "Bapak nggak menasehati saya?"
"Lilac, kamu itu sudah 25 tahun. Sudah dewasa, tahu apa yang harus dilakukan. Bapak percaya sama kamu," jawab Pak Rezky. Terlepas dari semua pertanyaan dan kekhawatirannya, ia benar-benar percaya bahwa Lilac akan memutuskan hal ini dengan baik.
Lilac berterima kasih sebelum pamit dari ruangan atasannya. Ia menarik napas panjang sebelum bersiap pulang.
***
"Kerja sambil kuliah?"
Lily terbelalak sementara Lilac mengangguk sambil menahan senyum gugup. Entah kenapa, rasa semangatnya sulit teredam saat ini. Ia tahu bahwa seharusnya dirinya tak berharap, tapi, kesempatan di depan mata untuk melanjutkan studi benar-benar terasa nyata dan tergapai.
"Ah! Tawaran macem apa yang jelas-jelas beli rugi gini?" seru Surya dengan pangkal alis yang sudah berkerut.
"Hus, kok beli rugi? Memang Kak Ila barang?" bantah Lily
"Yang diperjualbelikan jasa-nya Kak Ila. Tenaga, pikiran, yang biasanya dihargai tinggi sama Pak Rezky malah diminta diskon sama itu orang. Enak aja," debat Surya lagi. Lily menunduk memikirkan ucapan Kakak laki-lakinya tadi.
"Iya juga, sih. Masa' penghasilan Kak Ila jadi berkurang? Padahal, dengan penghasilan yang sekarang aja, aja kita udah nge-pas. Kalau Lily mau jajan, Lily ikut jualan kue dan camilan buatan Ibu."
"Uang kuliah Surya juga nanti gimana? Untuk kebutuhan nge-print tugas, fotokopi bahan kuliah, makan siang, semua kan perlu uang. Ini Surya juga udah selalu titip jualan di koperasi, loh, sambil bantu jualan baju-baju reseller-nya Ibu di kampus. Kita tuh situasinya lagi nggak bisa kena pengurangan pendapatan, Kak."
"Lagian, kalau Kak Ila kuliah nanti, waktu luangnya harus dipakai belajar. Nggak bisa dipakai untuk cari tambahan. Kecuali kalau Lily nggak usah lanjut sekolah—"
"Nggak, Ly. Jangan." Lilac mengembuskan napas mendengar Lily dan Surya bicara bergantian. Benar ucapan kedua adiknya. Potongan lima puluh persen dari penghasilan memang terlalu besar. "Kalian benar. Saat ini, waktunya nggak pas untuk kehilangan setengah penghasilan. Besok pagi, Kak Ila akan telepon orangnya untuk tolak tawaran itu."
Surya menghela napas lega. Ia takut sekali mengalami hidup susah sampai tidak makan berhari-hari seperti tujuh tahun lalu. Serupa dengan Surya, Lily pun menyiapkan makan malam dengan senyum mengembang karena merasakan kelegaan yang sama. Sementara itu, sesosok ibu-ibu yang masih tampak segar meskipun usianya sudah kepala lima menatap putra-dan putrinya satu per satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilac Magenta [Terbit]
ChickLitAwalnya, Lilac puas dengan kehidupannya sebagai sekretaris andalan para direksi dan tulang punggung keluarga. Memiliki kehidupan yang mapan dan sanggup menyokong biaya pendidikan kedua adiknya adalah sebuah kemewahan bagi lulusan SMA seperti Lilac. ...