11. Kilas Balik

1.7K 496 6
                                    

"Gimana, enak nggak masakan Ibumu?" tanya Pak Rezky. Lilac tersenyum lebar dan mengangguk.

Makan malam di rumah Pak Rezky bukanlah hal yang Lilac duga akan terjadi Senin itu. Tapi, disitulah ia, bersama dua orang yang berperan besar dalam mendidiknya dan membuatnya tumbuh menjadi sosok seperti sekarang.

"Maaf, Bu. Kalau tahu Ibu masak, Ila pasti akan pulang duluan dan bantu Ibu," ujar Lilac dengan wajah tak tega. Meskipun dibantu oleh dua asisten rumah tangga, Lilac tahu bahwa Bu Amandha senang sekali ditemani Lilac memasak.

"Terus, kamu ninggalin Bapakmu di kantor?" tanya Bu Amandha lagi sambil menunjuk sang suami dengan dagu.

"Pak Rezky sudah nggak ada jadwal, kok. Bisa ditinggal," balas Lilac dengan gaya berbisik, tapi suaranya cukup besar sehingga tetap sampai ke telinga Pak Rezky. Beliau tertawa sampai-sampai tarikan di kedua ujung bibirnya amat lebar dan ekor matanya berkerut.

"Duh, kalau udah sama Ibu, Bapak jadi anak tiri, deh."

Seisi meja tertawa mendengar keluhan Pak Rezky tadi. Meskipun Lilac termasuk sosok gadis yang sopan dan berusaha menjaga sikap, tapi kehangatan yang ia rasakan begitu besar tiap kali berada di antara Pak Rezky dan Bu Amandha. Mereka hadir ketika Lilac merasa kesepian karena orangtuanya sibuk mengurus para Adik. Mereka juga menyokong Lilac ketika tengah berada di masa terburuknya. Mereka membuat Lilac kembali berusaha menghadapi hidup, dan perlahan berharap untuk hal-hal yang sempat takut ia harapkan.

Mereka mulai makan. Dari sate ayam, ikan pedas manis, cumi tepung mayones, hingga kangkung tumis terasi, semua mereka lahap satu-satu. Lilac menyadari bahwa ini semua adalah makanan kesukaannya. Makanan yang pernah ia akui sebagai kemewahan di hadapan Pak Rezky dan Bu Amandha.

"Nggak kerasa, deh, Ila yang dulu masih kecil, masih SD, suka tantangin Bapak main catur, sekarang sudah jadi gadis dewasa." Bu Amandha yang duduk di sebelah Lilac mengusap rambut perempuan itu dengan mata berkaca-kaca. Usia 25 bukanlah remaja lagi. Bu Amandha tahu bahwa gadis sepantaran Lilac sudah banyak yang menikah dan mengurus anak. Namun, Lilac masih harus menanggung beban sebagai tulang punggung keluarganya dan mengorbankan kehidupan pribadinya.

"Tapi, hatinya masih seperti dulu. Mirip Ayahnya. Reihan," timpal Pak Rezky. Lilac tersenyum. Makan malam tak biasa dan topik tentang Ayahnya. Malam ini, pasti ada hal penting yang ingin Pak Rezky dan Bu Amandha sampaikan padanya.

"Ila berusaha hidup sambil terus memegang nasehat-nasehat Ayah,"  ujar Lilac, mengikuti arah percakapan.

"Tahu apa yang Bapak suka dari Ayahmu? Integrity." Dengan wajah penuh semangat, Pak Rezky mulai bicara, "Rasanya seperti baru kemarin terjadi, bagaimana Bapak dan Ayahmu akhirnya bersahabat. Entah bagaimana ceritanya, koper berisi cash ratusan juta yang harus Bapak bawa untuk pembayaran project development hilang dari mobil. Dengan teledornya, Bapak meninggalkan koper itu di depan rumah."

"Ibu sedang sibuk juga waktu itu, sampai nggak dengar telepon Bapak ke rumah." Bu Amandha terkekeh dan bergeleng. Pada masa itu terjadi, jantung Bu Amandha serasa copot. Suaminya kembali ke rumah dalam keadaan panik, menanyakan koper yang tidak ia ketahui.

Namun, sesosok pria muncul dengan pakaian yang penuh noda tanah muncul membawa koper yang ditanyakan Pak Rezky.

"Awalnya, Bapak pikir, habislah. Rumah sedang ada bersih-bersih, sedang banyak orang di rumah. Tukang cat, tukang kebun, tukang kuras kolam, semua bisa keluar masuk rumah. Sudah pasrah rasanya waktu Bapak di perjalan kembali untuk cari koper. Siap-siap dipecat dari perusahaan." Kekehan renyah Pak Rezky mengundang senyum Lilac.

Pak Rezky sudah ratusan kali mengulang kisah ini dan Lilac merasa bahwa makin lama, bagian yang akan diceritakan selanjutnya dibawakan makin dramatis saja.

"Tapi Ayahmu, Raihan Syarief Rahman, menemui Bapak dan Ibu saat lagi panik. Dia mengamankan koper Bapak dan memberikannya kembali. Bapak tanya, apa dia lihat isinya? Tahu apa jawaban Ayahmu? Tidak. Alasannya simple. katanya, yang bukan miliknya, bukan urusannya." Mata Pak Rezky berbinar membuat Lilac bertanya-tanya, bagaimana seseorang yang asing, tak punya hubungan darah, bisa memiliki perasaan sebesar ini terhadap Ayahnya?

"Ayahmu benar-benar menyelamatkan Bapak hari itu, La. Udah seperti pahlawan buat Bapak," timpal Bu Amandha.

"Habisnya, karena Reihan, transaksi Bapak lancar. Karena proyek itu, Bapak dipromosikan menjadi kepala brand. Satu-satunya yang menangani dua brand food and beverage sekaligus. Bangga nggak tuh?"

"Ila ingat, sejak saat itu, Ayah jadi sering dapat telepon dari Bapak. Apa saja di rumah, Ayah yang suruh kerjakan dan perbaiki," balas Lilac sambil terkekeh geli. Ia lalu menyuap makanannya kembali, berusaha menghabiskan sisa lauk yang masih ada di piring. Tak terasa, makanan yang sejak tadi disantap sambil berbincang itu sebentar lagi akan masuk semua ke perutnya.

Pak Rezky dan Bu Amandha tertawa. "Kecele Bapakmu, La. Ayahmu nggak mau dikasih uang cuma-cuma, padahal gara-gara Ayahmu, karir Bapak di kantor terselamatkan. Dua laki-laki sama-sama gengsian, nggak suka utang budi, ya begitu jadinya. Saling lempar melempar bantuan nggak selesai-selesai," lapor Bu Amandha, membuat perut Lilac terasa geli. Ia baru sadar bahwa pria-pria di sekitarnya memang bukan pria sembarangan. Mereka amat tinggi menetapkan harga diri, membuat patokan yang cukup jelas bagi Lilac dalam menilai laki-laki

"Tapi, Bapak paling merasa sangat beruntung saat Ayahmu membawa kamu ke rumah Bapak dan Ibu. Saat itu kamu masih kelas berapa? Tiga SD, ya?" tanya Pak Rezky.

"Itu waktu Ibu kena demam berdarah," celetuk Lilac sambil berusaha mengingat-ingat.

"Betul! Kalian tinggal sendiri di Jakarta. Nggak ada yang bantu, sehingga Ayahmu harus ajak kamu waktu kerja." Pak Rezky mengangguk puas setelah menyadari ingatannya masih cukup tajam.

"Ila ingat nggak, waktu temani Ibu masak? Waktu itu Ibu nggak bisa masak, lagi belajar. Ila yang ajarkan karena sering diajak Ibumu masak," tanya Bu Amandha penuh minat, mengundang kekehan geli Lilac.

"Saya takut ikan yang sedang ibu goreng gosong saat itu," ujar Lilac.

Bu Amandha memeluk perempuan yang telah ia anggap putrinya sendiri itu. Matanya terpejam saat berkata, "Meskipun kamu pendiam, kamu peka sama sekitarmu."

"Belum lagi gigihnya waktu mau mengalahkan Bapak main catur. Bertahun-tahun, nggak kenal menyerah. Tekad yang terlalu kuat untuk ukuran anak SD," timpal Pak Rezky.

"Akhirnya saya bisa juga mengalahkan Pak Rezky dalam permainan catur." Lilac makin larut dalam nostalgia mereka bertiga.

Masa-masa itu adalah masa-masa terindah bagi Lilac. Meskipun hidup keluarganya pas-pasan, tapi ia bahagia. Lilac tak pernah merasakan getir sedikit pun, tak pernah melihat hidup sebagai rangkaian ujian demi ujian yang meremas jiwanya dan membentuknya menjadi pribadi baru dengan cara menyakitkan.

Masa ketika Ayahnya masih ada, hati Lilac kerap dipenuhi rasa aman.

(((Bersambung)))

Lilac Magenta [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang