3. Hubungan Istimewa

3.1K 631 25
                                    

Pak Rezky tertawa mendengar tebakan Lilac yang tepat meskipun tak sekalipun ia pernah memberitahu tentang hal tersebut. "Kamu sadar sendiri atau Pak Ashraf yang bilang ke kamu?"

"It's a simple logic. Bapak nggak pernah mau berhadapan one on one dengan outsource. Kita juga sudah atur jadwal pitching. Jadi, saat tahu Bapak ada janji temu dengan mereka dan tahu bahwa Bapak nggak akan begitu saja setuju meskipun mereka rekomendasi Pak Ashraf, hanya ada satu alasan, kan?" Lilac menjelaskan dugaannya, membuat Pak Rezky menahan napas saking kagumnya dengan sekretaris di hadapannya.

"Posisi saya dan kamu memang sulit, La. Tapi, kamu harus sabar. There's always cost, but it's all worth it in the end."

"Bapak yang harus sabar. Seperti yang orang-orang bilang, posisi saya sebagai 'simpanan' Bapak diuntungkan di perusahaan ini. Saya terlindungi Bapak. Kalau saya melakukan kesalahan, bukan saya yang posisinya terancam."

Pak Rezky menggeram, jijik dengan isu yang beredar tentang dirinya dan Lilac di kantor, "Dasar otak kotor mereka itu. Jangan kamu dengarkan, La! Peduli setan sama orang-orang."

"Saya bisa mengerti kenapa mereka bisa mikir demikian," jawab Lilac dengan wajah datar. Ia sudah kenyang dengan omongan orang. Dibanding tahun pertamanya di perusahaan itu, keadaannya sekarang sudah jauh lebih baik. Setidaknya ia sudah memiliki teman dan kepercayaan dari para atasan.

"Kenapa? Karena nilai TOEFL kamu jauh di atas standard fresh graduate? Karena hasil tes masuk kamu adalah yang tertinggi sepanjang sejarah Narve? Atau karena prestasi kamu di kantor ini lebih dari para lulusan S2 itu?" tanya Pak Rezky dengan wajah tak terima. Lilac menarik napas panjang. Ia tahu betul sifat atasannya yang selalu berlagak seolah situasi mereka normal. Seolah ia tidak mendapat perlakuan spesial untuk bisa bekerja di perusahaan besar seperti Narve Living.

"Pak, saya masuk perusahaan ini di usia 19 tahun, langsung jadi sekretaris Bapak. Nggak mungkin orang nggak berpikir negatif tentang saya," jelas Lilac. Ia bisa melihat apa yang orang-orang lihat jika dirinya di posisi mereka, karena itu ia memutuskan untuk selalu melakukan yang terbaik dan membuktikan bahwa dirinya bukan parasit dalam perusahaan itu.

"Kamu lulus tes dengan nilai tertinggi, pandai berhadapan dengan angka, dan kemampuan kamu di atas rata-rata. Itu yang membuatmu masuk dan bertahan di perusahaan ini," debat Pak Rezky.

"Saya cuma lulusan SMA, Pak. Saya bisa bertahan enam tahun terakhir di kantor ini karena nggak ada yang berani sama Bapak."

"Bapak kenal sama kamu sejak kamu SD. Keluarga kamu adalah orang-orang kepercayaan Bapak dan kamu adalah anak paling cerdas yang Bapak temui. La, jangan biarkan omongan orang bikin kamu percaya kalau kamu seperti apa yang mereka bicarakan."

"Saya nggak mengkhawatirkan diri saya, Pak. Saya lebih khawatir sama nama baik Bapak. Karena saya ...." Lilac berhenti bicara. Percuma. Tiap topik ini terangkat antara dirinya dan Pak Rezky, hanya perdebatan yang akan muncul. Hanya perasaan tak nyaman yang menjadi kesimpulan.

"Mereka itu bisanya ngomong di belakang saja. Dari mana isu menjijikkan itu berasal? Mereka nggak tahu aja kalau kamu itu udah kayak anak untuk Bapak dan Ibu," sanggah Pak Rezky.

"Itu juga kurang baik, bisa dianggap nepotisme," celetuk Lilac cepat, membuat Pak Rezky kembali terbahak.

"Lha, kalau Bapak nepotisme, direktur-direktur lain yang suka culik kamu untuk bantuin mereka itu namanya apa?" Pak Rezky kembali tertawa, apalagi ketika melihat Lilac terbelalak.

"Bapak tahu?" Sebuah seringai muncul di ujung bibir kanan Lilac karena rasa geli.

"Ya, masa' nggak tahu? Mereka rajin cari kamu. Punya sekretaris sendiri, tapi kalau ada apa-apa maunya kamu yang urus, ya toh?" Pak Rezky kembali terkekeh sementara Lilac hanya bisa menyeringai lebar, membuat Pak Rezky melanjutkan ucapannya, "Kalau ada yang bilang jelek tentang kamu, jangan nggak enak hati. Mereka itu iri."

Lilac Magenta [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang