"Bapak ingat momen itu dengan jelas. Saat Ila kelas sebelas, hari terakhir Bapak di Indonesia sebelum dinas ke London. Bukan main bangganya Bapak dan Ayahmu saat itu. Putrinya telah menjelma menjadi dirinya. Peduli, jujur, dan gigih. Sejak itu Bapak tahu, kamu, seperti Ayahmu, adalah orang yang bisa Bapak percaya dengan sepenuh hati. Tidak ada keraguan."
Mata Pak Rezky berkaca-kaca mengingat kenangan terakhirnya dengan Ayah Lilac. Tak pernah ia sangka, perpisahannya dengan sang sahabat saat itu adalah untuk selamanya.
Setelah kembali ke Indonesia setahun kemudian, semua sudah berubah total. Keluarga yang dulu bahagia, nyaris tumbang karena kelaparan. Kematian mendadak Reihan membuat keluarganya kalang kabut.
Bu Mirna yang belum terbiasa bekerja telah berusaha menjadi kuli cuci, tapi malah sering jatuh sakit karena kelelahan. Lilac pontang-panting mencari peluang untuk berjualan. Kadang, keluarganya terpaksa tak makan berhari-hari karena uangnya harus digunakan untuk keperluan sekolah anak-anak. Dalam keadaan seperti itu, Bu Mirna tetap bersikukuh menyekolahkan Lilac hingga ia lulus SMA.
Pak Rezky dan Bu Amandha mengajak Lilac bekerja di rumah mereka sebagai asisten rumah tangga karena mereka tak ingin berutang pada pasangan itu. Karena pekerjaan itu, Lilac bisa membiayai sekolah kedua adiknya dan menabung untuk usaha berjualan ibunya sedikit demi sedikit.
Lama kelamaan, Pak Rezky tak sanggup melihat potensi Lilac terkubur. Ia pun melakukan apa yang dirinya bisa untuk menjadikan Lilac sekretarisnya.
Tentu saja Lilac mengambil kesempatan itu. Setelah setahun berusaha keras, Lilac lulus tes masuk Narve dan dapat bekerja dengan pendapatan tetap tiap bulannya.
Masa-masa terpuruk itu berangsur pudar. Ibu dan Adik-adik Lilac tak lagi kelaparan dan mereka kembali memiliki kehidupan yang normal. Kehidupan di mana setiap hari ada makanan di meja makan.
"Nanti, bawa untuk orang rumah ya, La? Lumayan buat sarapan dan bekal Adik-adikmu besok," ucap Bu Amandha yang memecah keheningan.
Lilac mengangguk. "Terima kasih banyak, Bu."
Bu Amandha berlalu menuju dapur, menyiapkan makanan untuk Lilac bawa pulang. Sesuai rencana, ia meninggalkan suaminya dan Lilac berdua di ruang makan. Lilac menatap Pak Rezky dengan serius, menunggu pria itu membuka mulut. Tebakannya, inilah inti dari makan malam mereka.
"Bapak jadi ingat, La, cerita Ayahmu soal namamu. Lilac. Kamu tahu, apa arti nama kamu?" tanya Pak Rezky dengan suara yang begitu tenang.
"Tahu, Pak. Artinya bunga Lilac."
"Tahu nggak seperti apa bunga Lilac?"
Lilac berpikir sejenak, "Maaf, Pak, saya belum pernah lihat aslinya."
"Bunga Lilac adalah bunga yang tumbuh lebih cepat dari bunga lain pada umumnya. Melambangkan pembaruan dan confidence. Ada juga yang bilang Lilac adalah lambang kebijaksanaan."
Lilac menahan rasa heran sambil terus menyimak pria yang telah mempekerjakannya di Narve sejak usia 19 tahun itu.
"Bunga Lilac juga punya arti simbolis untuk tiap warnanya. Ungu artinya spiritual, putih itu purity, lalu kalau sedikit tercampur warna biru, itu artinya calm. Don't you think it all describe you well?"
"I think it's not for me to judge."
"Bapak rasa, Ayah kamu di surga bisa tenang melihat putrinya tumbuh sesuai dengan doanya, harapannya ketika memberikanmu nama Lilac. Semua makna baik tadi bisa ditemukan di diri kamu, membentuk sosok yang sangat berkelas dan secara pribadi, sangat Bapak banggakan. Semua, kecuali satu."
"Pak ...." Meskipun Lilac masih berusaha tenang, tapi matanya mulai menunjukkan keresahan.
"Masih ada satu simbol warna Lilac lagi yang malu-malu kamu tampilkan. Kamu tahu apa?" Pak Rezky tersenyum dan memajukan tubuhnya ke arah Lilac sebelum menjawab pertanyaannya sendiri, "Lilac magenta."
"Magenta?"
"Arti dari bunga lilac berwarna magenta adalah cinta dan gairah. Passion, La. Satu hal yang tidak pernah Bapak lihat ada di diri kamu, kecuali dalam dua waktu. Pertama, saat kamu hendak mengalahkan Bapak dalam permainan catur. Kedua, ketika kamu bicara tentang tawaran kerja dari orang Pearsons pekan lalu."
"Saya sudah menolak tawaran itu, Pak." Lilac membalas cepat. Entah kenapa, ia tak ingin membahas tentang tawaran kerja itu lagi. Ia ingin menguburnya dalam-dalam dan menganggap tawaran itu tak pernah ada.
"La, Bapak kasih tahu, ya. Kamu berhak mendapatkan kesempatan lebih baik. Bapak tidak akan pernah bisa memberi itu semua di kantor kita sekarang. Berkali-kali Bapak memberikan pengajuan agar kamu bisa lanjut kuliah, tapi pengajuan itu selalu ditolak." Pak Rezky mencoba memberi pengertian, masih dengan ketenangannya yang selalu Lilac coba adopsi, tapi tidak untuk malam ini.
"Saya sudah bicara sama Ibu dan Adik-adik saya, Pak. Kami sepakat, itu bukan penawaran yang menguntungkan." Suara Lilac bergetar. Membicarakan hal ini membuatnya makin sadar betapa besar keinginannya untuk kuliah. Untuk kembali mempelajari banyak hal di lingkungan institusi pendidikan. Untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik di dunia kerja kelak.
Pak Rezky mengulurkan tangannya dan menepuk kepala Lilac. Tangan besar itu terasa hangat, membuat Lilac hanya bisa mendengar ketika Pak Rezky berkata, "Kamu itu sudah seperti anak Bapak sendiri. Bapak tahu apa yang kamu diam-diam harapkan. Sekarang, kesempatan itu datang. Kamu yakin mau sia-siakan?"
Lilac meneteskan air mata sambil menatap Pak Rezky. Kini ia paham mengapa beliau dan istri terus membicarakan masa lalu. Mereka ingin Lilac mengingat lagi, masa ketika gadis itu merasa boleh memikirkan diri sendiri.
"Jangan abaikan warna magenta yang baru kamu temukan dalam dirimu, La. Jangan tipu dirimu sendiri atau kamu akan menyesal kelak."
Pak Rezky menghela napas, tersenyum pahit, dan memberikan apa yang ia anggap sebagai ilmu terakhir darinya sebagai atasan Lilac.
"Akhir bulan ini, kamu saya bebastugaskan. Kamu sudah bekerja tujuh tahun di Narve, pesangonmu pasti cukup untuk tabungan dan biaya sekolah adik-adikmu untuk sementara. Manfaatkan dengan baik, langsung atur dengan pendapatanmu di kantor baru," ucap Pak Rezky dengan tenang dan tegas.
Mata Lilac terbelalak. Ia mencoba meminta mentor sekaligus sosok yang telah ia anggap Bapaknya sendiri, "Pak, jangan begini ... saya bingung."
"Bapak melakukan ini justru supaya kamu tidak bingung, La. Lakukan apa yang bisa kamu lakukan. Mulai sekarang, kejar mimpimu, Nak."
Lilac menangis. Jantungnya berdebar amat kencang. Dirinya tak menyangka akan datang masa di mana ia tak lagi melayani kebutuhan Pak Rezky di kantor. Tak lagi mengatur jadwal, menjadi partner diskusi sebelum Pak Rezky mengambil keputusan, serta mengikuti rapat dan belajar dari para direksi Narve.
"Tidak usah nangis, La. Sering-sering main ke sini pas weekend. Bapak sama Ibu senang kalau kamu datang. Berhenti kerja sama Bapak bukan berarti kita jadi orang asing. Ya, kan?" ucap Pak Rezky. Lilac hanya bisa mengangguk berkali-kali, tak peduli kepalanya sudah terasa pening sekali.
"Satu lagi," Pak Rezky mengacungkan telunjuknya, membuat Lilac menatapnya meskipun wajah perempuan itu sudah amat merah, "Kalau ada offering yang menarik, tapi syaratnya kurang berkenan, kita bisa mengajukan counter offer. Negosiasi. Mengerti?"
Lilac termangu selama beberapa detik. Ia pun lalu mengangguk. Pak Rezky menutup salam perpisahannya dengan tertawa, membuat Lilac berusaha sekuat tenaga untuk tersenyum dan menghentikan tangis. Namun, ia gagal. Ia hanya bisa menunduk dan membungkukkan tubuhnya.
"Terima kasih banyak, Pak Rezky. Terima kasih banyak."
Pak Rezky tersenyum penuh harap. Ia tak lagi punya sekretaris andalan. Meskipun begitu, kepercayaannya pada Lilac sama besarnya dengan kepercayaan kepada mendiang ayah gadis itu. Ia percaya bahwa keputusannya ini akan membuat Lilac berkembang lebih jauh lagi karena nenurut pengalamannya, tantangan hidup tak pernah menghancurkan Lilac.
Tantangan membuat Lilac tumbuh lebih kuat, dan lebih indah.
(((Bersambung)))
KAMU SEDANG MEMBACA
Lilac Magenta [Terbit]
ChickLitAwalnya, Lilac puas dengan kehidupannya sebagai sekretaris andalan para direksi dan tulang punggung keluarga. Memiliki kehidupan yang mapan dan sanggup menyokong biaya pendidikan kedua adiknya adalah sebuah kemewahan bagi lulusan SMA seperti Lilac. ...