|| • Bukan seperti ini

22 3 0
                                    


-----oOo-----

Memandang sebuah file PDF yang di kirimkan oleh Arphian─ adik kelas yang juga turut andil dalam PORSENI yang di adakan oleh pihak provinsi beberapa hari yang lalu, membuat ulu hatiku serasa di remat kembali sekuat-kuatnya. Mataku berair, emosiku mendadak berubah drastis.

Setelah kesekian kalinya mendapat kekecewaan, kali ini pun aku mendapat kekecewaan yang serupa pula?

Meremat kencang sebuah notebook yang tergeletak di depanku, kemudian aku melemparnya dengan keras pula hingga membentur kaca rias yang terpajang rapi di sudut kamarku.

"ARGHHH!! KENAPA LAGI?! KENAPA LAGI GAGAL?!" Aku berteriak dengan kencang setelah ikut menghempaskan ponselku ke sudut kasur.

Marah, sedih serta kecewa bercampur menjadi satu mengacau perasaanku. Apakah aku setidak becus itu untuk mengikuti sebuah perlombaan hingga aku selalu mendapat kegagalan? Sebenarnya apa yang salah dari diriku? Aku benar-benar tidak tahu.

Pada akhirnya aku hanya bisa menangis. Aku sudah terlalu frustasi dengan semua kegagalan yang ku dapat. Tidak hanya PORSENI ini saja, tetapi banyak juga perlombaan lain yang telah ku gagalkan karena ketidak becusanku ini.

Dimulai dari KSM Nasional bidang IPA, serta Olimpiade bidang Fisika yang diadakan oleh salah satu universitas ternama di Surabaya setahun yang lalu, keduanya sudah pernah ku gagalkan. Dan karena hal itu, aku sempat mengalami down selama 3 hari.

Aku malu, aku sangat malu dengan semua orang. Teman-teman ku, orang tuaku, dan terutama guru yang membimbingku dalam bidang tersebut. Memang beliau tidak menjatuhkan ku, bahkan beliau selalu mengatakan kepadaku, 'Tidak apa-apa, itu bukan salahmu. Ini semua juga karena salah kami para pembimbing yang tidak konsisten membimbing mu karena terkendala pandemi ini. Sudahlah, yang penting kau sudah bekerja keras. Tidak usah berkecil hati.' seraya memberikan senyumnya. Namun karena ucapan serta senyumannya itulah yang membuatku sangat terpukul. Aku sangat yakin, dibalik perkataan serta senyumnya itu beliau juga memendam rasa kekecewaan. Entah kepadaku atau kepada dirinya sendiri.

Aku sempat berpikir bahwa memang aku tidak memiliki bakat apapun entah di bidang akademik maupun non-akademik, karena tidak ada satupun prestasi yang ku dapat dari kedua bidang tersebut selama aku menghabiskan waktu singkat ku di jenjang sekolah menengah pertama ini.

Aku juga sempat memiliki keinginan bahwa aku tidak mau mengikuti perlombaan apapun yang mengatasnamakan sekolah, karena aku takut akan melakukan kesalahan yang sama.

Namun setahun setelahnya, sepertinya Tuhan memang berniat mendorongku untuk mengikuti perlombaan lagi hingga akhirnya aku pun mengikuti perlombaan lagi, dan itu adalah PORSENI ini. Awalnya aku sempat ragu, bahkan hampir saja mengundurkan diri, namun ayahku menyuruhku untuk mencobanya dulu.

Setelah semua berjalan, ternyata benar saja, aku mendapat kegagalan lagi dan akhirnya mengalami down lagi hingga menangis seperti ini.

Aku muak dengan semuanya, sangat muak.

"H-harusnya lo me-mengundurkan diri aja waktu itu─ hiks, hiks─ ga usah kebanyakan ga-gaya buat nyoba lagi. Hiks, hiks, sekarang l-lo tau kan endingnya begini lagi─ hikss," Ujarku kepada diriku sendiri dengan sesenggukan.

Menghapus dengan kasar bulir bening yang menggenang di pelupuk mataku, kemudian aku berkata lagi kepada diriku sendiri, "Se-sekarang ga cu-cuma lo aja yang menanggung malu─ hiks, t-tapi guru pembina, j-juga sekolah─ hiks, hiks, LO BODOH! LO BODOH NER, LO BODOH!"

C E R P E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang