|| • Pohon Pisang Tua

20 3 11
                                    


-----oOo-----

Lelaki paruh baya itu mengeratkan katupan pada netranya. Ia sedang menahan rasa sakit yang luar  biasa pada perutnya. Napasnya putus-putus penuh sesak. Keringat dingin mengucur deras dari pori-pori kulitnya di malam yang menusuk tulang.

"Resa..." pada akhirnya kalimat lirih itu yang dapat ia loloskan dari bibirnya. Ya, nama putri sulungnya yang mungkin kini tengah terlelap di kamarnya.

"Resa...!" ia berteriak lebih keras, namun tetap saja, tidak ada sautan dari sang putri.

Lelaki itu pasrah, ia menghentikan teriakannya dan berusaha mengambil napas sedalam-dalamnya untuk menetralkan sesaknya. Namun tak lama kemudian terdengar suara gemuruh lantai seperti orang berlari menuju ke kamarnya. Dan ketika pintu kamarnya terbuka, itu adalah Resa yang datang dengan mata sedikit terkatup karena masih mengantuk namun sedikit tertutupi oleh wajah paniknya.

Dengan segera gadis itu menghampiri ayahnya yang terbaring di atas ranjang dengan napasnya yang tersengal-sengal, "Ayah kenapa?"

Lelaki itu masih sibuk menarik napas dalamnya serta mengeratkan genggamannya di atas perutnya yang masih kram. Ia menggelengkan kepalanya tak kuat, sementara putrinya yang tengah terduduk panik di sebelahnya pun dibuat semakin panik kala melihat ayahnya dengan kondisi seperti ini.

"Ayah kenapa?!" gadis itu sedikit membentak sang ayah karena ketakutan, namun tak ada sautan dari sang ayah karena beliau masih sibuk menarik napasnya agar tidak benar-benar kehabisan napas.

Melirik cepat ke arah nebulator yang tergeletak di pojok kamar, kemudian gadis itu kembali berujar, "Uap? Ayah mau di uap?" dan lelaki itu hanya bisa mengangguk dengan napas yang semakin tersengal-sengal.

Dengan cepat ia beranjak dari tempatnya dan berlari mengambil nebulator itu mendekat ke ranjang. Tangannya ikut gemetar kala ia meracik cairan uap serta memasang alat nebulator tersebut. Setelah siap, kemudian ia menyerahkan cangkup nebulator tersebut kepada ayahnya.

Lelaki itu segera meraih cangkup nebulatornya, lalu memasangkannya di hidungnya. Kala tombol on itu di tekan, keluarlah asap dari cangkup tersebut memasuki lubang hidungnya.

Sementara itu Resa hanya terdiam sembari menatap ayahnya dengan raut wajah paniknya. Walaupun sudah menggunakan alat nebulator, tapi tetap saja napas ayahnya masih tersengal-sengal. "Ya Allah, apalagi ini?" batinnya dalam diam.

Belum lama cangkup nebulator itu terpasang di hidung ayahnya, namun tiba-tiba ayahnya malah melepas cangkup itu dan kembali memegangi perutnya dengan napas yang semakin tersengal-sengal. "Aduuh! Kram, Resa!" pekiknya semakin menjadi-jadi.

Melihat itu Resa semakin kalut, ia melirik jam dinding di atasnya. Pukul setengah sebelas malam. Dengan segera ia beranjak keluar untuk mengambil ponselnya yang tengah di cas dalam kamarnya. Setelah dapat, ia pun bergegas kembali ke kamar ayahnya. Jarinya bergerak cepat, mengetikkan nama klinik terdekat di kolom pencarian internet guna melihat apakah klinik tersebut masih buka atau tidak.

"Masih buka," gumamnya. Ia pun mematikan ponselnya dan bergegas mengambil hoodie lalu memakainya. "Ayah, ayo kita ke klinik," ujarnya sembari meraih jaket hitam yang tergantung di lemari yang kemudian dia berikan kepada ayahnya.

Menatap sayu wajah sang putri, kemudian pria paruh baya itu berujar pelan, "S-siapa yang mengantar? I-ini sudah malam,"

"Aku. Aku yang akan mengantar ayah. Gapapa, aku bisa," ujarnya sembari berlutut di samping ayahnya. "T-tapi nduk, ini sudah malam, ayah ndak tega," ujar ayahnya lagi.

C E R P E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang