BAB 1: Prolog

72 46 190
                                    

"Kenapa semuanya seperti ini ~ kenapa seperti ini sekarang! kenapa sekarang lebih menyakitkan dibandingkan kehidupan ku di tahun tahun lalu!" Bentakku meringkuk di pojok kamar penuh rasa penyesalan menahan air mata.

Banyak barang barang berserakan di dalam kamar, gitar yang dulu sering ku gunakan hancur berkeping keping, seluruh foto fotonya tlah ku robek seperti kepercayaan ku kepadanya yang telah hancur.

Kamarku saat ini sangat gelap hingga tidak ada sedikit pun cahaya matahari merangkap masuk kedalam, jendela yang terbuka lebar pun tidak mampu membiarkan cahaya masuk kedalam kegelapan ini.

Saat ini rasanya tidak ingin melanjutkan hidup, bahkan bergerak pun tidak mampu karena luka yang sangat amat dalam ini.

... Setahun yang lalu ...

"Kringgg!!!!" Suara alarm yang nyaring menusuk telingaku.

Aku terbangun dari tidur, merentangkan salah satu tangan meraih alarm untuk mematikan nya, walaupun alarm berbunyi, mataku tetap tertutup karena masih mengantuk. Aku menggelindingkan tubuhku ke sisi kasur dan bangun dengan posisi duduk perlahan.

Aku berjalan keluar kamar melihat ayah ibu duduk di kursi dengan muka kusam merenung seperti ada kabar buruk saja.

"Apa yang terjadi kepada kalian?" Tanyaku menggaruk selangkangan yang terasa gatal beserta mata sayu mengantuk.

"Kevin ... Umurmu sudah 17 tahun, sudah saatnya kau memikul tanggung jawab atas ibu nak," Ucap ayah berdiri dari kursi dengan muka kusam sedih menepuk pundak ku.

"Jangan ... Jangan ~ jangan," Suara hatiku terkejut dengan mata terbuka setelah mendengar ucapan ayah.

Air mata perlahan menggumpal di mataku mulai mengalir deras mendengar perkataan itu.

"Ayah, jangan menyerah! Kedokteran sekarang sudah maju bisa menyembuhkan kanker atau penyakit lain ayah!" Ucapku memeluk ayah dengan air mata mengalir deras.

"Aku sangat sehattt!!" Bentak ayah menampar mukaku.

Aku terhuyung jatuh ke lantai berbaring seperti mayat yang tidak bernyawa.

"Kenapa kau tidak mengharapkan yang terbaik untuk ayah? Kenapa kamu bilang ayah kena kanker? Apa maksudmu dengan kata menyerah?" Tanya ayah penuh ekspresi kasihan menatap ku.

"Apa maksud ayah?!" Tanyaku agak tegas mengelus elus pipi ku bercak telapak tangan ayah.

"Siapa yang kena kanker anak bodoh!!" Jawab ayah dengan bentakan penuh keluh kesal.

"Hah bukan kanker?" Ucapku bingung, dilanjut dengan tanya sedikit tegas "Terus ada apa!?"

"Anak sialan!" Tegas ayah masih kesal.

"Begini, beberapa tahun lalu kami menarik uang bank dengan Rp 3.000, dan bunga nya melonjak Rp 300 juta," Jawab ibu menjelaskan.

"What the puck!! Suruh mereka merampok saja lah!!" Bentakku terkejut dengan nominal yang sangat besar itu.

"Sudah sudah, ayah akan bekerja di negara timur sebagai teroris. Gaji nya tinggi dan berbahaya, jadi ayah harap kamu dapat menjaga ibu mu," Ucap ayah tersenyum kecil membalikkan badan membelakangi ku.

Mawar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang