KEJUJURAN

2.9K 250 0
                                    

:: KEJUJURAN ::

Aku pikir, Kelana akan langsung berusaha menjelaskan semuanya padaku. Tapi aku salah, ia benar-benar tertidur pulas di sofa lantai dua. Bahkan saat aku tinggal untuk beli makan di rumah makan ujung gang, dan balik lagi, Kelana belum bangun. Sepertinya ia sangat kelelahan. Apa yang ia lakukan akhir-akhir ini sebenarnya sampai ia selelah itu?

Aku merebus air untuk membuat teh. Sebenarnya sih hanya inisiatif saja, barangkali saat bangun nanti ia lapar dan butuh teh hangat.

Sambil menunggu airnya matang, aku duduk di mini bar. Memperhatikan orang yang sedang tidur di sofa itu walaupun hanya kelihatan kepalanya saja dari belakang. Aku sendiri bingung kenapa aku suka memperhatikannya saat tidur.

Selama aku mengenalnya, baru kali ini aku menyimpulkan bahwa, Kelana masih manusia. Walaupun laki-laki, ia tetap punya sisi kuat dan lemahnya kan? Dulu saat Eyang Zikah meninggal, aku menganggap itu sisi paling lemahnya. Tapi saat itupun ia masih terlihat tegar. Mungkin demi Kara.

Tetapi tadi, saat ia memelukku tiba-tiba dan menangis, aku tahu Kara adalah satu-satu hal berharga di dalam hidupnya saat ini. Kalau aku musuhnya, aku sudah tahu jelas bahwa kelemahannya adalah Kara.

Sebetulnya ia ayah yang baik, sangat baik. Aku salut padanya dari sejak pertamakali ia mempobong Kara di makan Eyang Zikah sampai detik ini. Sayangnya itu tidak berbanding lurus dengan caranya berkomunikasi dengan benar pada orang-orang di sekitarnya, salah satunya aku. Kalau memang tidak mau denganku, setidaknya ia bisa bilang dari awal. Jangan sok memperjuangkan, ujung-ujungnya malah mempermainkan komitmen yang ia buat sendiri. Jangan saat aku sudah baper, terus ia bisa seenaknya.

Huhhh...

Tubuhnya yang lemah itu kini bergerak. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mungkin mencari keberadaanku. Padahal aku ada di belakangnya. Ku matikan kompor dan menuangkan air  panas itu ke dalam cangkir berbarengan dengan Kelana yang sudah menghampiriku setelah cuci muka di kamar mandi. Ia duduk di depanku persis. Terhalang meja bar.

"Makan dulu."

"Kangen."

Ujar kami berbarengan. Aku menyodorkan cangkir teh dan satu bungkus nasi padang yang sudah aku siapkan padanya. Apa tadi ia bilang? kangen? Dari sekian banyak hal yang musti ia jelaskan, ia hanya bilang satu kata itu sekarang?

"Rin, ayo bicara." Katanya.

"Habisin dulu makannya." Ujarku, karena aku tahu ia belum makan sejak tadi aku datang, mungkin juga sejak tadi pagi. Tubuhnya lebih kurus dari sejak terakhir kita bertemu.

"Saya akan makan setelah kita selesai bicara." Katanya, dan melihat aku tanpa respon, ia melanjutkan "Oke, atau gini aja. Saya tahu di kepalamu sudah banyak pertanyaan. Sekarang kamu bebas mau tanya apapun, saya akan berusaha menjawabnya dengan jujur." Katanya santai.

Aku menghela nafas berat. Ini kesempatanku untuk menanyakan semuanya, mengonfirmasi kebenaran setiap asumsi yang bercokol di kepala. Tapi, apa aku sudah siap mendengarkan semua jawaban yang katanya jujur itu? Aku sangsi.

Di sisi lain, aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Secepatnya. Sebelum perasaan ini lebih dalam lagi, apalagi sampai melibatkan perasaan Kara. Karena aku tahu, Kara sudah sedekat itu denganku.

Rin, kamu pasti siap dan kuat mendengar kebenarannya.

Tapi sebelum menanyakan hal yang krusial, aku ingin tanya dulu tentang Kara.

"Kara kecelakaan dimana?"

"Kara jatuh di tangga sekolah saat diantar oleh Wina."

Oh Wina lagi, jadi dokter Wina juga sudah sedekat itu dengan Kara sampai-sampai Kelana membolehkan ia mengantar Kara ke sekolah.

Rindu Kelana (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang