HILANG KONTAK

2.1K 195 1
                                    

:: HILANG KONTAK ::

Aku tertawa... benar kan, aku memang mengenali suaranya tadi. Seperti tidak asing di telingaku, dan... rupanya Hangga. Aneh sekali, semenjak aku mulai akrab dengan Hangga, aku terus bertemu dengannya di tempat-tempat dan keadaan yang tak terduga.

"Loh, udah saling kenal?" Tanya bunda dan tante Rasti bersamaan.

"Iya bun, tante, Hangga ini temen relawan waktu di NTT kemarin."

"Owalah... Jadi kalian temenan." Sahut bunda.

Mereka memulai sesi foto dan bunda memanggil semua anak-anak didiknya berkumpul di halaman depan. Ku lihat semua sudah menggunakan pakaian yang seragam dan make up. Bunda dan Hangga mulai mengatur posisi anak-anak itu.

Sedangkan aku duduk di kursi kayu panjang di bawah pohon kelengkeng dan menggulir ponsel. Tadi saat aku sampai rumah, aku sudah mengabari Kelana. Namun sampai sekarang belum ada balasan, bahkan chat-ku belum dibuka.

Suasana yang teduh dan angin yang sepoi-sepoi ini membuatku jadi ingin melamun. Aku jadi teringat pertama kali bertemu Kelana. Kalau waktu itu aku tidak membantu Eyang Zikah, mungkin aku tidak akan bertandang ke rumah cucunya dan bertemu dengan Kelana. Lucu juga ya, waktu itu Kelana bisa dengan mudahnya mempercayaiku kalau aku utusan dari panti jompo. Padahal jika dilogika, mana ada utusan dari panti yang berpakaian awut-awutan, rambut dikucir asal-asalan dan sepatu butut. Terkesan tidak ada rapi-rapinya. Sepertinya besok kalau bertemu, aku akan bertanya mengapa ia percaya padaku waktu itu.

"Nih..."

Aku terkesiap saat tangan Hangga di depan wajahku memberikan satu botol air mineral.

"Makasih, Ngga." Aku menerima dan meminumnya. Rupanya ia sudah membukakan segelnya juga untukku.

Ia kemudian duduk di sebelahku. Sementara sesi fotonya di jeda karena anak-anak sedang berganti kostum. Bunda juga ikut mengecek persiapan mereka.

"Sadar nggak sih, kita selalu nggak sengaja ketemu." Ia tertawa "Takdir kali ya?"

"Iya, aneh ya. Padahal kita nggak pernah janjian atau saling tau kita lagi dimana."

"Katanya kalau udah tiga kali bertemu di saat yang nggak terduga, itu artinya kita jodoh loh." Celetuknya.

Gantian aku yang tertawa "Masa sih? Kata siapa?"

"Ya kata orang-oranglah." Ujarnya. "Kamu kapan balik Jogja lagi?"

"Ehm, besok siang kayaknya."

"Bareng yuk, naik kereta sendirian sepi juga. Kalau ada temennya kan lumayan bisa ngobrol."

"Lihat besok ya, kalau aku kesiangan bangunnya berarti baliknya siang."

Kami berdua tertawa.

***

Semenjak aku dan bunda pulang ke rumah dan ayah sudah diberitahu bunda bahwa aku di lamar oleh Kelana, semalaman aku jadi bahan bulan-bulanan mereka, bahkan saat sedang di meja makan sekalipun. Ayah dan bunda selalu menganggap aku masih gadis kecil mereka. Ada satu titik mereka tidak percaya bahwa gadis kecilnya ini sudah sampai di tahap menjalin hubungan serius dengan seorang lelaki dan suatu hari nanti akan meninggalkan mereka untuk tinggal dengan pasangan hidupnya. 

"Anak ayah udah dewasa ya." Ucap ayah yang berdiri di belakangku dan mengelus puncak kepala.

Sadar atau tidak, kebiasaan ayah ini juga dilakukan juga oleh Kelana. Mengelus puncak kepalaku. Entah kenapa, rasanya nyaman saja ketika seseorang melakukan hal ini padaku. Aku merasa seperti disayang, dilindungi dan dimanja.

Rindu Kelana (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang