YES OR NO

2.2K 190 1
                                    

:: YES OR NO ::

Can you feel my heartbeat

.

Jadi ceritanya ini Kelana melamarku?

Mendadak sekali ya, manatahu aku kalau Kelana akan melakukan ini di rumahku dengan muka bantalnya. Ya meski ia baru saja cuci muka tetap saja terlihat bengep.

Kalau tahu begini kan paling tidak aku bisa berpakaian rapi, tidak pakai celana jeans 3/4 dengan kaos orange bergambar Winny the pooh ini. Yah sayangnya ia seperti berniat untuk memberi surprise. Dan berhasil.

Aku tertawa. Bukan karena ini lelucon atau melihat ekspresi Kelana yang serius sekali. Bukan sama sekali. Tapi karena "Mas, kok perutku banyak kupu-kupunya sih?" Tanyaku di tengah tawa.

Kelana malah ikut tertawa.

Sebenarnya aku pun sudah tahu kalau respon di perutku ini sudah menunjukkan jika aku sedang senang kan?

Sekali-sekali aku ingin mengerjainya dulu, semoga kali ini tidak kualat.

"Jadi?" Tanyanya meminta kepastian.

"Kalau aku nolak, kamu bakalan pergi dan cari yang lain?"

Ia menggeleng "Besok saya lamar lagi, siapa tau kamu udah berubah pikiran."

Aku terkekeh pelan, Tenang... Tenang... Jangan terlalu senang dulu. Aku harus memastikan satu hal lagi. "Boleh aku tanya satu hal nggak?"

"Boleh, apa?"

"Kamu tau usia kita terpaut 8 tahun. Selisih usia yang lumayan, ya bisa disebut beda generasi. Tentu aja sifat, pemikiran dan cara kita memandang sesuatu juga berbeda. Terus apa yang membuatmu yakin milih aku?"

"Terlepas dari permintaan Eyang, jujur, dari awal kamu menarik perhatian saya. Pemikiran dan sikapmu cukup dewasa, kamu juga mandiri. Apalagi kamu bisa sedekat itu dengan Kara. Saya merasa bersyukur mengenal kamu. Bersyukur adalah satu-satunya alasan kenapa saya yakin."

"Tapi..." Aku ingin denial, sebenarnya banyak sekali kekhawatiran dalam benakku yang ingin aku sampaikan.

"Kamu bukan peramal kan?"

Jleb... Kelana pasti sudah tahu aku akan menyimpulkan sesuatu sendiri. Selama kita kenal pasti ia sudah hafal dengan kebiasaanku yang satu ini, menakutkan hal-hal yang belum terjadi.

Hening. Tetapi kepalaku bekerja cepat untuk memilih jawaban dari pertanyaan utama Kelana, mau atau tidak. Namun dari dua pilihan jawaban yang ada, peluang kata 'mau' justru lebih sering muncul. Kepala dan hati rupanya berbanding lurus untuk masalah ini. Jadi...

"Iya aku mau." Jawabku lirih. Aku hanya takut kalau ia melihat pipiku sudah jadi tomat.

Gerakannya cepat mengambil tangan kiriku untuk dipasangkan cincin itu di jari manis. Lalu gerakannya tiba-tiba terhenti.

Kelana menatapku "Saya sengaja minta desain cincin yang paling simpel untuk kamu. Saya tahu kalau kamu tidak pernah pakai perhiasan. Tapi untuk ini apa kamu mau saya pasangkan di jarimu?"

Ya ampun. Apa ini definisi sweet yang orang-orang bilang kalau pacarnya melamar mereka? Namun menurutku sweet tidak harus dengan makan malam romantis, bunga segede gaban, atau lilin-lilin yang di susun jadi bentuk love kan? Kelana bilang begitu saja sudah terasa sweet sekali. Aku bisa terbang sebentar lagi, lihat saja.

"Iya."

Kelana benar-benar memasangkan cincin itu di jari manisku. Seperti sebuah video dengan efek slowmotion, begitu juga aku melihat proses itu dengan detail dan tak henti-henti tersenyum. Ini perasaan yang aneh, sungguh aneh. Aku belum pernah mengalaminya selama 26 tahun aku hidup.

Tangan kiri ku ayunkan ke atas dan ku perhatikan cukup lama. Kelana hanya tersenyum melihat tingkahku yang takjub sekaligus menggelikan. Aku akui kalau aku norak untuk masalah ini karena ini pengalaman pertama.

"Kok bisa pas?" Tanyaku masih tetap memperhatikan tanganku yang terpasang cincin.

"Kamu ingat waktu saya antar pulang ke Solo dan saya berhenti di depan gang? Nah, di situ saya ukur jari kamu pakai benang kancing baju saya yang lepas."

Astaga. Aku menutup mulutku yang melongo. Bisa-bisanya ia punya ide seperti itu. Tidak habis pikir. Tapi idenya lumayan kreatif juga. Bagi yang mau menyontoh, dipersilakan. "Kreatif juga kamu." Aku sampai geleng-geleng kepala dengan ekspresi hiperbola untuk mengapresiasi usahanya yang terlampau kreatif ini.

Ia tersenyum geli, lalu seperti biasa, tangannya terulur mengelus puncak kepalaku, hal yang kini membuatku kecanduan dengan kebiasaannya ini. Ia memang hanya mengelus, tetapi hatiku yang merasakan 'nyess'.

"Kapan saya bisa ke Solo menemui ayah dan bunda kamu?"

"Secepatnya." Astaga, mulutku reflek sekali, aku ingin menyumpalnya sekarang "Eh, maksudnya secepatnya aku kabarin deh. Nanti aku ngomong dulu sama ayah dan bunda."

"Oke." Ia mengecek jam di tangannya. "Udah sore, saya harus jemput Kara. Pamit ya." Pamitnya berdiri seraya mengusap lenganku.

Manusia to the point adalah sematan yang paling pas untuk om satu ini. Bisa-bisanya ya setelah selesai acara lamar-melamarnya yang tidak terencana dengan baik, ia langsung pamit pulang. Padahal aku berharapnya bisa ngobrol dulu atau paling tidak merencanakan apa gitu. Tapi ya mau bagaimana, ia juga punya Kara yang menjadi prioritasnya.

Kelana duda beranak satu sedangkan aku single. Setelah mengenalnya selama ini secara tidak langsung aku sudah belajar beradaptasi dengan hubungan ini. Bagaimana ia membagi waktunya antara prioritas utama, keduaa atau seterusnya. Aku yakin Kelana punya managemen waktu yang baik soal ini.

Aku mengantarnya sampai halaman depan. Ia sudah memasuki mobil dan melambai ke arahku dengan senyum tipisnya, kubalas senyum yang sama.

Saat aku masuk, suara-suara sorakan dari teman-teman membuatku bingung.

Mean menghampiriku dan menjabat tanganku "Selamat mbak Rin."

Lalu anak-anak yang lain juga ikut-ikutan berteriak "Selamat mbak."

"Ecie.... Ada yang sumringah banget nih." Ejek Rendy dan Tiara yang sedang duduk santai di mini bar. "Itu kerlap-kerlip di tangan apa tuh?"

Kuhampiri dua orang itu meminta penjelasan. "Apasih?" Tanyaku basa-basi.

"Ah elah, sok polos banget sih. Abis dilamar kan sama om? Ngaku!"

"Tau darimana?"

Rendy tertawa "Rokokku ketinggalan diatas, pas mau ambil nggak jadi soalnya kamu lagi di sodorin cincin gitu deh. Takut ganggu."

"Ciee... Kita keduluan nih yang. Betewe selamat ya Rin."

"Oh jadi kamu Ren, cepu-nya. Sialan. Semua pada tau tuh."

"Ya nggak apa-apa kan, berita bahagia harus disebarin."

"Yang, kamu kapan dong lamar aku?" Desak Tiara pada Rendy.

Aku tertawa mengejek. Syukurin. Rendy pasti kicep kalau sudah ditagih masalah ini oleh Tiara. Keseringan berdalih 'fokus nyari duit' malah setelah punya duit banyak tidak segera terealisasikan.

"Sabar ya sayang." Ujar Rendy seraya menyubit pipi sang kekasih yang dibalas dengan muka manyun.

"Gaskeun Ren, yang sayang akan kalah sama yang serius. Jangan sampe kalah cepet." Sindirku pada Rendy yang beberapa waktu lalu sempat curhat jika ada seorang lelaki yang mau dijodohin dengan Tiara. Tapi namanya juga pasangan bucin kronis, mereka tetap bersama meski tiap hari seperti tom dan jerry.

Setelah puas membuat Rendy terpojok, aku memilih untuk naik ke atas sebab Tiara dan Rendy sudah mulai cekcok lagi. Tidak baik menjadi penengah, lebih baik kabur saja.

Sampai dia atas, aku berencana segera menelepon ayah dan bunda. Mengabari kalau minggu besok aku pulang ke Solo. Aku ingin mengabari mereka secara langsung tidak lewat telepon.

Sumpah, kupu-kupu di perutku tak kunjung hilang. Bahkan sepertinya semakin banyak hingga aku mondar-mandir kesana kemari, joget-joget sendiri dan bernyanyi seperti Kara saat melihat film Frozen, ikut menari-nari sendiri seperti balerina.

Haha aku sampai heran dengan diriku yang ini.

***

Ohmyrum 💕

Rindu Kelana (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang