Kehilangan tak lebih menyakitkan dari pada tak dianggap kehadirannya. Itulah yang saat ini mendera hati Adiva. Dirinya hanyalah korban dari keadaaan yang membuatnya tak mampu berbuat apa-apa selain menangis dan pasrah.
Satu jam yang lalu kabar kepulangan Azzam dari rumah sakit membuatnya semakin gelisah. Adiva sadar saat Azzam pulang nanti saat itulah penderitaan yang sebenarnya baru akan dimulai. Membayangkan saja Adiva sudah takut untuk menghadapinya. Dirinya hanya seorang gadis muda yang dipaksa dewasa sebelum waktunya. Gadis yang baru mengenal arti cinta yang sesungguhnya setelah patah hati. Azzam lah yang mengenalkan padanya bahwa cinta itu membebaskan dan mengikhlaskan. Membebaskan semua kisah cinta masa lalu sebagai pelajaran dan mengikhlaskan segala takdir Allah dengan semakin mendekatkan diri pada rahmat-Nya.
Tadi saat Farhan mengabarkan jika Azzam sudah diperbolehkan pulang Adiva dan kedua orang tuanya serta Safira langsung pergi ke rumahnya untuk bersih-bersih. Sudah empat hari rumah itu Adiva tinggalkan begitu saja. Saat semuanya tengah sibuk Adiva masuk ke dalam kamar miliknya dan Azzam. Dengan kedua mata mulai berkaca-kaca Adiva memandang ke arah ranjang yang masih tertata rapi. Tampak debu tipis mengotori seprei berwarna putih tersebut. Di sanalah tempat favorit mereka menghabiskan waktu saat di rumah. Di sana pula mereka selalu memadu kasih tanpa pernah merasa bosan. Perlahan Adiva duduk di tepian ranjang lalu mengelus seprei dan naik ke bantal yang biasa Azzam tempati.
Air mata Adiva mulai bergulir saat aroma maskulin nan soft milik Azzam mulai menguasai indera penciumannya. Aroma yang selalu memberikan ketenangan dan kenyamanan. Adiva sangat merindukan pelukan hangat laki-laki yang kini telah menguasai setiap sendi kehidupannya itu. Benarkah Adiva akan menyimpan kenangan indah itu sendiri? Mampukah Adiva hidup bersama laki-laki yang bahkan melupakan kisah mereka?
Tepatnya delapan bulan yang lalu mereka mulai mengukir kisah cinta mereka di rumah ini.
"Sayang kamu baik-baik ya?" ucap Adiva sembari mengusap perutnya. Adiva tengah mencoba tegar dan menguatkan diri demi calon bayi mereka. "Maafkan Ayah yang mungkin melupakan kita," sambung Adiva dengan air mata menderas kala mengingat tatapan asing Azzam padanya kemarin.
Adiva berulang kali mengucap istighfar dalam hati lalu berdiri, melangkah menuju jendela. Secara perlahan Adiva menggeser gorden di hadapannya. Seketika silau mentari menerpa kedua matanya yang terasa perih. Adiva menghalau cahaya mentari itu sembari membuka jendela. Memberikan kebebasan pada udara segar agar mengambil alih aroma pengap kamar.
Tak lama Safira masuk dengan sapu dan kemoceng di tangannya. Safira mematung di tempat seraya memandang punggung Adiva dengan tatapan sendu. Karena terlalu asyik dengan lamunannya, Adiva sampai tidak menyadari kehadiran sahabatnya tersebut. Sebelum melangkah masuk Safira menghela napas dalam lalu menghembuskan secara perlahan. Barulah masuk dengan senyuman terukir di bibirnya.
"Permisi bumil, aku mau bersih-bersih dulu," ucap Safira dengan riang yang sontak membuat tubuh Adiva terhenyak karena kaget. Tak langsung menghadap Safira, Adiva mengusap air mata di pipinya dengan cepat.
"Eh iya Fir, maaf bukannya membersihkan kamar aku malah melamun," jawab Adiva dengan tersenyum lalu hendak mengambil alih kemoceng dari tangan Safira.
"Bumil duduk aja. Biar aku yang bersih-bersih!" Safira langsung menyembunyikan kemoceng itu ke belakang tubuhnya. "Buatkan aku minuman dingin dong. Masak kamu tega sih biarin aku kehausan gini," sambung Safira lagi dengan berpura-pura merajuk.
"Ba baiklah. Kamu tunggu sebentar sepertinya sirupku masih," balas Adiva lalu bergegas ke luar dari kamar demi menuruti permintaan Safira.
Setelah Adiva ke luar kedua bahu Safira seketika meluruh sembari bergumam, "gini amat sih nasib kisah cinta kamu Div."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Hati Satu Cinta (End)
RomanceRate 18+ Blurb Perpisahan dengan seorang sahabat terbaik beserta dengan cinta pertamanya tentulah hal yang tak mudah bagi Adiva Dania Khanza, gadis berusia 18 tahun itu. la terisak tatkala harus melambaikan tangannya melepas Aldebaran Malik pergi me...