Untuk pertama kali dalam seumur hidup, Esme menanti kembang api perayaan tahun baru di dalam pesawat. Meskipun tidak masuk akal, dia berkali-kali menoleh ke jendela seolah ada kembang api yang menyasar tembus melewati awan, menyapa para penumpang di pesawat tanpa ada turbulensi berlebihan.
Tentu saja kembang api itu tidak ada.
Begitu tiba di bandara, Esme tetap berdiri bersisian dengan Peter saja. Tidak ada yang datang menyambut karena tidak ada satu pun dari mereka yang memberikan kabar. Isi pikiran mereka sama: Yang penting masih dibukakan pintu.
Esme juga bisa menduga bahwa tidak akan ada yang menyambut mereka dengan pesta meriah di rumah. Alasannya jelas karena perayaan besar-besarannya sudah terlewat sekitar dua jam—kecuali bila memang keluarga Sonata berniat untuk tidur ketika matahari terbit, atau tidak berniat melakukan apa pun di hari pertama tahun baru.
"Kau yakin ada yang membukakan pintu? Bahkan asisten Oma sepertinya masih tidur."
"Oh, adikku. Mentang-mentang asisten rumah tangga bukan berarti mereka yang paling nokturnal. Aku yakin pasti ada yang membukakan pintu."
Tadinya Esme berpikir datang bertamu subuh-subuh bukanlah hal yang baik.
Sampai kemudian kemunculan sang sepupu perempuan di ambang pintu merusak ekspektasinya.Mereka kini berhadapan, dua lawan satu, sama-sama tak bersuara bahkan setelah bertatapan tiga detik. Wajah sepupunya tampak pias sekilas.
Esme berdeham. Menyikut pinggang kakaknya terang-terangan. Katakan sesuatu, katanya lewat gestur tubuh.
Peter mengusap tengkuknya dengan canggung. "Hai?"
Kata-kata itu bagai mantra pelepas sihir. Sepupunya itu terkesiap dan melotot, masih dengan sebuah mug bergambar beruang di tangan. Puas melotot selama dua detik, gadis bercepol berantakan itu lantas mendadak buru-buru meletakkan mug di tempat terdekat, kemudian melompat guna memeluk Esme dan Peter dalam pakaian tidurnya.
Rambutnya mencuat-cuat, lepas dari cepolannya yang asal-asalan. Esme sampai harus memejam kuat-kuat supaya matanya tidak tertusuk. Peter melakukan hal serupa—walaupun sudah dua kali dia tak sengaja memakan rambut sepupunya yang tinggi itu.
Ini dia. Salah satu sepupu favorit Esme, Feodora Jayde Sonata.
"Wow, Bung!" Feodora histeris, terbelalak begitu melepas pelukan dari Peter. "Lihatlah! Big Ben kalah tinggi darimu!"
Peter mengerling, membetulkan posisi ranselnya di pundak. "Becermin, Jayde."
"Aku selalu becermin lima kali dalam sehari, Adler. Oh, dan lihat dirimu, sepupu kecilku yang cantik, elegan, berkilau, dan sudah tidak semungil dulu"—ucapnya gemas dalam satu tarikan napas—"aku amat sangat merindukanmu! Saking rindunya, aku tidak tahu harus memberimu sepatu yang mana. Kau harus memilihnya sendiri nanti."
Esme berkedip, memintal senyum setenang yang dia bisa, walaupun hatinya menjerit tak jauh beda dengan Feodora.
"Kau. Memang. Yang. Terbaik," katanya sungguh-sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALICE: A Tale From Another Wonderland
Fantasy"Kenapa kau ingin membawaku?" "Karena setiap musim di Negeri Ajaib membutuhkan seorang Alice, Nona Sonata. Dan di musim dingin kali ini, kami membutuhkanmu." *** Esmephia Sonata kembali ke London bersama sang kakak beberapa jam sebelum dia resmi be...