Putih.
Sejauh mata memandang, yang dapat Esme lihat hanya warna putih.
Tidak ada langit, tidak ada tanah, tidak ada pepohonan ataupun bangunan; semuanya benar-benar seputih kertas kosong. Sungguh pemandangan yang memabukkan, bila Esme boleh berkomentar. Sulit mengenali mana atas, bawah, depan, atau belakang.
Ingin seajaib apa pun ruang putih ini, Esme sudah lebih dulu tidak menyukainya. Karena itulah dia memejamkan mata dan mengharapkan dua hal.
Pertama, semoga ada yang menjelaskan latar belakang dan tujuan mengapa dia bisa berdiri di tempat aneh serba putih setelah dikepung angin bersalju. Kedua, semoga dia lekas bangun dan kembali menapak tanah sebelum anak-anak kelinci menangis berjamaah karena tamu mereka malah hilang ditelan badai.
Sebenarnya, setelah dipikir-pikir lagi, Esme lebih condong ke harapan pertama. Toh, dia tidak begitu ingin bermain dengan anak-anak kelinci karena peluang untuk menangnya sangat kecil.
"Halo?" Esme menyapa dengan lantang, berharap akan ada gaung dramatis yang kembali memantul kepadanya. Nahas, rupanya tidak begitu. Suaranya tidak bergaung sama sekali. Gadis itu spontan mengepalkan tangan, menguatkan diri untuk tidak muntah karena logikanya terus menjerit tentang mana yang alas dan mana yang atas?
"Halo." Sebuah suara datang meniru. Berat dan pemalas bak suara pria tua. "Sudah lama sekali, ya, akhirnya kita bertemu. Apa kau terkejut?"
Netra safir Esme menyapu sekitar. Masih putih, masih kosong, tetapi suara itu terdengar jelas.
"Orang waras mana yang tidak terkejut saat diculik ke antah berantah?" cibirnya, entah kepada siapa.
Belum lama Esme mulai bertanya-tanya siapa yang bicara kepadanya, seekor kupu-kupu datang menghampiri. Sayapnya sewarna langit musim semi yang biru. Terang, cerah, membawa ketidakhampaan pertama di dalam ruangan serba putih. Cukup mencolok, tetapi setidaknya membuat Esme lega karena ternyata dia tidak berdiri secara terbalik atau apa.
Kupu-kupu itu terbang mengitari Esme dari kaki sampai kepala. Tidak ada efek gemerincing dramatis yang terdengar, hanya ada bubuk kerlip indah yang jatuh dan lenyap di tengah udara setiap kali sayap biru itu mengepak. Itulah yang kupu-kupu lakukan untuk beberapa saat lamanya; terbang mengitari Esme sampai si gadis bermata safir mulai bosan melihatnya.
"Hm, kau cukup padat dari yang kuduga."
"Maaf?" Esme berjengit, serta-merta melotot dan berkacak pinggang. Tidak terpikir olehnya bahwa seekor kupu-kupu ringkih punya cukup keberanian untuk menyebutnya padat. "Kuharap kau menarikku ke sini bukan hanya untuk mengatakan itu, Tuan Kupu-kupu."
Si kupu-kupu berhenti terbang memutar tepat di depan wajah Esme. Tidak jelas apa alasannya, tetapi Esme merasa bahwa kupu-kupu itu sedang terkejut.
"Kau tahu kalau aku yang menarikmu ke sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALICE: A Tale From Another Wonderland
Fantasy"Kenapa kau ingin membawaku?" "Karena setiap musim di Negeri Ajaib membutuhkan seorang Alice, Nona Sonata. Dan di musim dingin kali ini, kami membutuhkanmu." *** Esmephia Sonata kembali ke London bersama sang kakak beberapa jam sebelum dia resmi be...