Angin malam musim dingin mulai menggigit. Asyik memangsa mereka yang lemah, entah secara fisik maupun akal. Menjadikan mereka sakit secara fisik, atau bahkan kejiwaan, saking dinginnya pengaruh kepingan salju.
Tahun ini, Esmephia Sonata merasa musim dingin telah mengikis kejiwaannya.
Penemuan akses jalan aneh di suasana yang aneh membuat Esme berulang kali menarik dan membuang napas. Mencoba untuk kembali waras seperti hari-hari monoton sebelumnya, tetapi keberadaan jalur rahasia kecil saja sudah mengubah sudut pandangnya akan dunia.
Mungkin setelah ini dia akan menjadi jauh lebih sensitif saat berjalan melewati rak buku tua. Atau mendadak bengong ketika berhadapan dengan lemari yang memiliki jumlah pintu berlebihan. Mungkin suatu hari sel memori di kepalanya akan berseru heboh, Oh! Coba tarik buku yang paling mencolok. Mungkin bakal ada jalur rahasia di balik lemari!
Saat ini, di loteng, Esme perlahan mengerjap begitu merasa sudah terlalu lama menatap ke arah jalan rahasia (dia lebih senang menyebutnya sebagai 'lubang' karena bentuknya tidak sekotak yang dia lihat di film-film).
Tidak hanya sekali-dua kali, Esme harus menggelengkan kepala karena otaknya terus-menerus memberikan gagasan gelap tanpa sebab. Seperti, "Ayo coba terjun dengan kepala lebih dulu."
"Jatuhkan ponselnya."
"Julurkan tangan ke bawah, lalu tunggu mulut monster menyambut tanganmu."
Wah, sudah gila. Esme bergidik, bergegas mundur sebelum saraf di sekujur tubuhnya sungguhan merealisasikan perintah sang komando pusat.
Berikutnya dia diam-diam melirik si pemilik netra hazel yang berdiri dekat dari tempatnya membungkuk. Mata safirnya berkedip cepat. Agak terkejut tidak melihat sorot mata bergairah di sana.
"Penemuan yang luar biasa, ya. Sepertinya di bawah sana ada negeri dongeng yang seseorang impikan."
Ah, ya. Bukan Esme namanya bila bisa menahan diri dari gatalnya mulut ingin berkomentar.
Oliver lalu melirik. Sadar bahwa sarkasme halus itu ditujukan padanya. "Kukira kita berada di fase saat logika lebih diutamakan ketimbang kegembiraan karena imajinasi menjadi nyata."
"Kau tersinggung?" kekeh Esme. "Asal kau tahu, aku tidak menjustifikasi kesukaanmu pada negeri dongeng. Lagipula, tidak ada salahnya kekanakan di penghujung usia belasan tahun. Walau harus kuakui"—Esme mengangkat ponselnya menjauh dari tepi lubang dan mematikan senternya—"dalam kasus ini, kita memang harus sedikit dewasa."
Seraya beranjak duduk di tepi lubang setelah memastikan cermin tua Oma Mandalyn tidak goyah di tempat, Oliver bertanya, "Ada gagasan?"
"Sedikit seram. Kau ingin dengar?"
"Kenapa tidak?" Pemuda itu mengangkat bahu. "Silakan."
Esme memiringkan kepala. Berulang kali menatap lubang dan tangga loteng yang tertutup tak jauh di belakangnya secara bergantian. Hati kecilnya memang bersorak karena menemukan jalan rahasia, tetapi akal sehatnya menginterupsi kebahagiaannya dengan cara memunculkan berbagai gagasan berdasarkan logika.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALICE: A Tale From Another Wonderland
Fantasy"Kenapa kau ingin membawaku?" "Karena setiap musim di Negeri Ajaib membutuhkan seorang Alice, Nona Sonata. Dan di musim dingin kali ini, kami membutuhkanmu." *** Esmephia Sonata kembali ke London bersama sang kakak beberapa jam sebelum dia resmi be...