- • Snow Drop • -

128 29 125
                                    

Tepat ketika pintu kamar tertutup, Ruviane melemaskan bahu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tepat ketika pintu kamar tertutup, Ruviane melemaskan bahu. Agak tertatih mengambil langkah mundur sampai kakinya terantuk sesuatu. Merasa bukan benda yang kecil, dia menoleh, tatapannya turun.

Ranjang Esme.

"Oh, demi wortel." Tanpa ba-bi-bu lagi Ruviane serta-merta mengempaskan diri ke atas ranjang. Napasnya dihela keras-keras. Seakan-akan yang dia lakukan selama ini bukanlah hal yang menjadi kebiasaannya.

Nyatanya, bermulut manis sampai harus menyeringai agar karismanya menghipnotis setiap target adalah hal yang paling tidak Ruviane sukai.

Meski sekilas, insting prianya sempat memergoki reaksi jujur Esmephia Sonata beberapa kali; yang mana artinya dia berhasil. Bukan reaksi yang besar, tetapi cukup membuatnya yakin bahwa gadis itu tidak berbeda jauh dari gadis-gadis sebelumnya.

Alias sama-sama mudah tersihir dengan wajah tampan.

Ruviane menghela napas lagi. Ini akan sama seperti yang sebelum-sebelumnya. "Isabel."

"Ya, Tuan."

Dari luar jendela, seekor ngengat bulan terbang mendekat. Memang bukan habitat aslinya, tetapi orang-orang yang melihat dari jauh tidak akan menyangka bahwa serangga terbang bercahaya kehijauan di tengah musim dingin adalah seekor ngengat bulan.

Ada bunyi gemerincing ketika ngengat itu terbang. Pada saat dia berhenti mengepakkan sayap, barulah bunyi gemerincing itu hilang.

Tanpa berubah wujud menjadi sosok wanita tinggi berhelaikan kain-kain hijau selembut sutra, Isabel bertanya, "Ada sesuatu terjadi?"

"Aku ingin kau menyelidiki loteng rumah ini." Ruviane menekuri seprai yang licin di bawah tangannya. "Di bawah benda yang ditutupi kain, ada jalan lain di sana. Periksa ke mana ujungnya. Aku tidak sempat melakukannya karena beberapa hal."

"Karena Nona melarang Anda?"

Ruviane terdiam, kemudian menggaruk batok kepala sampai topi tingginya sedikit terdorong ke depan. Teringat lagi olehnya momen yang amat menjengkelkan hanya karena insting gadis itu terlalu tajam.

Entah memang begitu karakternya atau kebetulan Ruviane sedang bernasib buruk.

"Sudah kubilang untuk diam di atas, tapi bukan main bebalnya. Kalau sudah begitu mau tidak mau sihir di kalungnya itu bekerja, bukan? Dasar keras kepala. Sekarang dia lihat akibatnya—dihantui imajinasi aneh di usia muda." Ruviane mendengkus, menggerutu tanpa akhir.

Meski begitu, Isabel tak kunjung memberikan respons. Seolah memberikan waktu kepada tuannya untuk berpikir jernih sebelum menyebut nona baru mereka yang tidak-tidak lagi.

Yah, siapa pun tidak akan senang bila ekspedisinya dihalangi, pikir Isabel, agak maklum dengan kondisi tuannya.

"Ada lagi yang harus saya lakukan?"

ALICE: A Tale From Another WonderlandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang