Sorenya semua keluarga Adiva pulang dan tinggallah keluarga Azzam saja. Azzam sendiri lebih memilih berada di kamar. Suasana hatinya benar-benar sedang kacau saat ini. Adiva pun tidak berani mendekati Azzam kecuali saat mengantarkan makanan atau pada saat waktunya Azzam meminum obat.
Adiva berdiam diri sejenak di depan pintu kamar. Andai pakaian gantinya tidak semuanya berada di dalam tentu saja Adiva akan lebih memilih menggunakan kamar mandi luar daripada bertemu Azzam. Karena setiap kali Adiva menerima tatapan asing dari Azzam seketika itu pula air matanya akan kembali menetes.
Dengan memberanikan diri Adiva menekan kenop pintu. Membuka daun pintu dengan pelan lalu melayangkan pandangan ke arahranjang yang ternyata kosong. Gegas Adiva masuk karena mengkhawatirkan Azzam. Seketika Adiva gugup saat melihat Azzam yang tengah berdiri di depan jendela yang terbuka lebar dengan pandangan lurus ke luar. Perasaan bersalah tiba-tiba saja menguasai hati Adiva kala menyadari jika Azzam lah yang sebenarnya sangat membutuhkan teman bicara. Membutuhkan seseorang yang rela mendengarkan keluh kesahnya bukan malah membiarkannya sendirian.
"Mas Azzam mau aku siapkan air hangat untuk mandi?" tawar Adiva sembari melangkah mendekati Azzam dengan jantung berdebar kencang.
Azzam menoleh, menatap Adiva dengan sorot tak terbaca.
"Kemarilah Adiva!" panggil Azzam dengan mengulas senyuman.
Adiva memberanikan diri memupus jarak di antara mereka. Lalu tanpa Adiva duga Azzam menyentuh pipinya.
"Jangan pernah memberi jarak di antara kita Adiva, kita sepasang suami istri. Jadi tolong jangan menghindari saya lagi," ucap Azzam lalu membawa tubuh mungil Adiva ke dalam pelukannya.
Adiva memejamkan mata menikmati aroma khas tubuh Azzam yang sangat dirindukannya. Seminggu yang lalu saat hubungan mereka masih baik-baik saja pelukan Azzam lah yang selalu mengantarkan Adiva dalam lelap. Air mata Adiva kembali menetes lalu secara perlahan terangkat. Membalas pelukan Azzam dengan lebih erat. Rasanya Adiva ingin selalu seperti ini sepanjang hari. Namun suasana hangat itu harus terganggu saat bayi dalam kandungan Adiva bergerak seolah menyampaikan kerinduannya kepada sang ayah. Azzam lalu mengurai pelukan mereka dan menatap Adiva penuh makna. Dengan jantung berdebar Azzam membelai perut Adiva. Perasaan bahagia hadir begitu saja di hati Azzam. Tentu saja Azzam memiliki ikatan batin dengan darah dagingnya sendiri yang saat ini sedang tumbuh dalam rahim Adiva.
"Sepertinya dia kangen sama ayahnya," ucap Azzam dengan mata berkaca-kaca, pun dengan Adiva yang saat ini tersenyum menatap Azzam dengan menyeka air matanya yang terus saja berderai. Ternyata semua yang terjadi di luar ekspetasi Adiva. Azzam tidak berubah sama sekali. Azzam tetaplah suami yang baik meskipun tidak mengingat dirinya dan calon bayi mereka sama sekali.
"Iya Mas tentu saja dia kangen. Dia tidak pernah bisa jauh-jauh dari Mas," jujur Adiva dengan haru.
"Makanya jangan pernah menjauh dari saya. Bantu saya untuk mengingat semuanya," balas Azzam dengan masih mengusap perut Adiva.
"Insyaallah Mas," jawab Adiva dengan perasaan bahagia.
"Mas aku mandi dulu ya? Aku belum salat ashar," sambung Adiva dengan senyuman merekah di bibirnya.
"Tentu. Maaf saya tadi tidak mengajak kamu salat berjamaah." Ucapan permintaan maaf Azzam membuat hati Adiva merasa lega. Mungkin saat ini Allah ingin menguji kekuatan cinta mereka berdua. Tentu di balik semua peristiwa pasti memiliki hikmah untuk mereka petik nantinya.
Selagi Adiva mandi Azzam ke luar dari kamar untuk menemui kedua orang tua dan adiknya. Mendengar suara ramai dari arah dapur lantas Azzam melangkah ke sana dan benar saja Arumi ibunya tengah memasak dan ditemani oleh Haidar ayahnya sedangkan Hisyam terlihat serius mengupas buah pepaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Hati Satu Cinta (End)
RomanceRate 18+ Blurb Perpisahan dengan seorang sahabat terbaik beserta dengan cinta pertamanya tentulah hal yang tak mudah bagi Adiva Dania Khanza, gadis berusia 18 tahun itu. la terisak tatkala harus melambaikan tangannya melepas Aldebaran Malik pergi me...