#MERCY - PROLOG

118 8 3
                                    

Dzaky Renggala. Pemuda kelahiran Yogyakarta, 30-03-1997. Dengan nama lain Ragas. Bergolongan darah A, dengan tinggi badan 180 cm serta berat 61 kg. Memiliki keahlian taekwondo dan piano. Keluarga saat ini: kakak laki-laki, kakak perempuan, dan adik angkat laki-laki.

Dzaky merupakan seorang yatim piatu. Ia dibesarkan di panti asuhan Bunda Kasih hingga berumur sembilan tahun, sampai saat ia diadopsi oleh keluarga Renggala (sekarang menjadi marganya) pada Februari dua ribu enam silam. Ia kemudian bertemu adik angkatnya yang tunawicara dan hanya memiliki selisih umur tiga tahun dengannya.

Pada Desember dua ribu dua belas lepas, orang tua angkatnya menjadi korban kecelakaan beruntun yang mengharuskan ia menjadi yatim piatu kembali. Di umurnya yang masih menginjak lima belas tahun, ia harus menjadi tulang punggung keluarga, dan terpaksa berhenti sekolah untuk keuntungan adik angkatnya.

★★★

Remang-remang lentera malam pengantar mimpi sama sekali tak mengusik kegiatan pemuda satu ini. Beratapkan langit, ia terus melamunkan sesuatu yang misterius dalam benaknya. Pun sesekali menguap, lalu bersenandung mengikuti irama lagu pengiring.

When it's time, just let me die.
I'm so tired of this life.

Bait lantun pengiring telah berakhir. Kini, ia memijakkan kaki pada lapisan beton di bibir gedung bertingkat itu. Memang benar, ia sedari tadi menunggu bait terakhir dari lagu yang berdurasi tiga menit itu.

"Jika sudah waktunya, biarkan aku mati. Aku sangat lelah dengan hidup ini," gumamnya mengartikan bait akhir lagu kegemarannya itu.

Segera setelah merundukkan kepala, ia mulai tertawa terbahak-bahak. Entah mengapa jiwa emosinya tak lagi terkendali. Ia tak menangis, disertai punggung yang gemetar, dengan lengan yang turut memeluk kedua kaki yang ia lipat, bahkan setetes air mata pun tak luruh dalam gemerlap indah netranya. Dalam keadaan hening, ia menangis tersedu-sedu.

"Aku mau menjadi seorang Pianis yang hebat dan terkenal juga, Kak!"

Ia merapatkan matanya di kala bayangan itu selalu muncul dalam benaknya bagaikan kaset yang pitanya telah kusut. Seolah menolak, ia terus menggeleng lantas menyeru dalam lautan angan-angannya, "Jangan ... jangan di sekolah itu Djaya!"

Ia meresapi segala gerakan yang dibuat dari anak berumur tujuh belas tahun itu. Anak yang belum tahu apa arti kehidupan sebenarnya, anak yang tak diberi kemampuan untuk berbicara, dan anak yang bahkan tak pernah mengira hidupnya akan menjadi sesingkat ini.

"Terima kasih sudah mengantarku ke sekolah, Kak! Semoga pekerjaanmu hari ini dimudahkan."

Adegan itu terus menghantui pikirannya, adegan di mana anak itu mulai memijakkan kaki di gedung berbobot dosa itu. Lebam sekujur sukma pilunya bersumber padanya. Bersyukur sebab ia hanya mengingat gestur tangan yang dibuat oleh anak itu, bukanlah suaranya.

"Aku kini menjadi buronan yang tengah dikepung ratusan aparat negara di bawah sana," gumamnya menatap langit.

"Para Keparat itu ... brengsek!"

Ia tak lagi peduli dengan bunyi bising sirine dari banyaknya mobil polisi yang terparkir acak di bawah sana, pun dengan para tentara yang telah membidik seakan siap menembak ke arahnya.

"Ini sudah waktunya mati," lirihnya, "sebab hidup ini tidak ada lagi artinya tanpa Adikku. Djaya, kakak akan menyusulmu."

Ia melepaskan kendali hidupnya, terjun bebas dari atap gedung. Bersawala dengan sukmanya sendiri, keputusannya sudah membulat. Mati adalah pilihan yang paling tepat baginya.







HAPPY READING

Yok di next bacanya, semoga suka.

MERCY (Tanpa Ampun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang