#MERCY - BERPAUT TAK BERTALI

26 6 0
                                    

"Wah wah! Lihatlah siapa yang datang berlutut sekarang ini?!" seru Georgi menyambut kedatangan Dzaky yang langsung berpasrah diri berlutut di hadapannya. "Luar biasa sekali kau Dzaky," lanjutnya bertepuk tangan.

Seperti biasa, tak ada ekpresi yang dapat menggambarkan diri Dzaky saat ini. Entah apa alasan ia sampai membuang harga diri dan memilih berlutut di bawah kaki Georgi. Tak seperti Dzaky yang biasa, yang suka berbicara tak sopan serta acap kali mengumpati Georgi secara terang-terangan.

"Saya mengaku salah, Tuan," ucapnya terdengar formal, dibalas tamparan dari Georgi yang telah berdiri dari kedudukannya. Bukan hanya sekadar tamparan biasa, kali ini tamparan yang dilempar oleh rentenir bengis satu ini meninggalkan jejak merah hingga berdarah sebab tergores cincin mahalnya.

Sang budak bisa apa? Ia tentunya hanya berpasrah diri di hadapan majikannya yang marah. "Aku ingin dengar alasanmu, mengapa kau menyembunyikan dan memalsukan kematian Elvin?" tanya Georgi kesal.

"Saya sempat marah, dan ingin membangkang sebentar dari-"

Belum usai kalimatnya, Georgi malah menendangi rahang Dzaky dengan kuat, hingga Dzaky tersungkur ke lantai. "Berdiri, Bajingan! Akan kubuat kau berkata jujur!" seru Georgi tampak memasang gerigi besi pada jari jemarinya, guna untuk menghajar Dzaky.

Sesuai perintah, Dzaky kembali berdiri tegak, tak peduli pipinya yang telah berdarah-darah sebab banyaknya goresan kecil. "Kau mau jawab jujur atau tidak?" tanya Georgi merendahkan nada suaranya.

"Saya sudah mengatakan alasan-"

Lagi dan lagi ucapan Dzaky dipotong oleh aksi Georgi. Ia dipukuli, ditonjok habis-habisan hanya pada wajah menggunakan gerigi besi yang cukup membuat kulitnya koyak.

Dzaky yang telah berdarah-darah, tak sedikit pun bergeming. Walau ia sudah tersungkur beberapa kali, ia sadar dan siap menerima segala pukulan yang dilayangkan padanya.

"Jujurlah, Dzaky."

Dzaky mendesis, menghela napas panjang, lalu berdiri tegak di hadapan Georgi seraya berkata, "belum lama ini, Elvin sempat melontarkan satu kalimat yang sangat membingungkan."

Georgi mengernyitkan dahi, tak paham maksud dari kalimat yang terlontar dari belah ranum Dzaky. Ia mengatur letak gerigi pada jari jemarinya, seakan telah siap melayangkan tinjunya kembali pada wajah lawan bicara di hadapannya ini.

Sedikit menarik napas, dengan wajah yang telah babak belur, Dzaky mulai menarik kerah baju Georgi, mengikis jarak di antara mereka lalu berbisik, "katanya anak bernama Markatian dan Alindra itu merupakan kaki tanganmu, Keparat?!"

"Minumlah dulu, Nak."

Di waktu yang sama, seorang wanita muda yang penuh dengan luka lebam seluruh tubuh, serta pakaiannya yang compang-camping dibiarkan meminum sebotol air mineral. Ia tampak kehausan, hingga tak dapat memberi jeda dalam tegukannya. Alindra tampak buruk, sama sekali tak menunjukkan aura seorang penyanyi dan wanita kaya.

Malam itu, Alindra mulai menangis tersedu-sedu, membuat para polisi yang melihatnya merasa kebingungan. "Ada apa, ceritakanlah? Apakah ada yang menyiksamu?" tanya seorang polisi wanita yang merangkulnya bagai saudari.

"S-saya diculik ... saya k-kabur, wajahnya tak terlihat!" seru Alindra terbata-bata di tengah para polisi yang mengelilinginya. Dilihat dari pernyataan Alindra yang baru saja terungkap, ia sudah pasti menepati janjinya pada Dzaky. Ia berakting seolah-olah benar ia tak tahu wajah penculiknya itu.

"Berbohonglah pada polisi mengenai identitasku. Jika polisi mencium keberadaanku, maka akan kupastikan kau diusir dari keluarga Ibumu itu. Paham?"

Begitulah kira-kira ancaman yang dilontarkan Dzaky pada Alindra sebelum perpisahan mereka. Persoalan berbohong dan berakting bagi Alindra tak menjadi masalah besar. Lain halnya dengan rahasia yang saat ini telah berada digenggaman Dzaky, sekalipun akan berdarah-darah, ia tetap akan mempertahankan fakta itu agar tak sampai di telinga Jansen, ibunya.

"Alindra!" teriak sang ibunda yang baru saja berlari dari arah pintu. Setelah ia mendengar kabar bahwa putri semata wayangnya telah ditemukan, ia mulai berlari dengan busana tidur yang masih melekat kuat di tubuhnya. Ia menunjukkan diri seolah sangat mengkhawatirkan Alindra.

Jansen mulai mengelus surai putrinya dengan lembut, air matanya meluruh, ia lalu berkata, "Apa yang terjadi padamu tiga hari belakangan ini, Nak?!"

"Anak anda telah diculik serta dianiaya, kami akan berusaha untuk menemukan pelakunya," ucap seorang polisi wanita tampak menenangkan Jansen, "untuk sementara waktu saya minta anak anda untuk tidak muncul di muka publik, apalagi di antara para wartawan."

Keduanya mengangguk paham dan segera pamit untuk kembali pulang ke kediaman mereka. Jansen sepenuhnya menyerahkan seluruh hal terkait kasus Alindra pada pihak kepolisian dan kuasa hukum pribadinya.

Setelah tiba dengan perasaan kacau di mansion, Jansen mulai melayangkan tamparan seperti yang biasanya ia lakukan pada Alindra, "Kau memangnya anak kecil? Tidak bisa menjaga diri sendiri sampai diculik begini?"

Tak seperti biasanya, Alindra tak lagi menunduk seolah menerima seluruh amarah sang ibunda, tetapi kini ia melempar tatapan marah pada ibunya seraya berseru, "aku baru saja menghadapi krisis, Ibu! Mengapa Ibu menamparku, sedang ini semua bukanlah kuasaku! Ibu-lah yang seperti anak kecil!"

Bukannya melunak, Jansen justru semakin membuat pipi kanan Alindra bertambah lebam. Ia menamparnya sebanyak yang ia mau, hingga anak semata wayangnya itu tersungkur ke lantai, "Tidak usah banyak bicara, tugasmu di keluarga ini hanya belajar dan menjadi penerus Ibu kelak, paham kau?"

"Oh, dan jangan sampai Marka melihatmu yang seperti ini. Ia akan merasa iba dan akan semakin memandangmu rendah nantinya. Ibu tak suka itu, Alindra."

Lagi-lagi Jansen menyebutkan nama Markatian di antara konfliknya bersama Alindra, seolah sedang membanding-bandingkan kedua mantan muridnya itu. Setelahnya, Jansen mulai melangkah menjauh dari Alindra, ia meninggalkan anak perempuan satu-satunya yang kini meraung pilu sebab batin serta fisiknya yang tersiksa.

"Marka harus dilenyapkan," monolog Alindra menyeka air matanya.

HAPPY READING

Di chapter kali ini aku agak kasihan sama nasibnya Alindra deh, bebas dari sang tokoh utama namun ia bertemu ibunya yang selalu menyiksa dan menekannya. kalau kamu, bagaimana tanggapan-mu untuk chapter ini?🤔

see you on next chapter.
Selalu beri suara dan tinggalkan komentar untuk setiap chapternya ya, semoga kalian selalu mendukungku. Aamiin.

MERCY (Tanpa Ampun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang