#MERCY - RONA KEBOHONGAN

25 6 0
                                    

"Ada laporan kehilangan. Usianya dua puluh dua tahun, mahasiswa yang bekerja sambilan sebagai penyanyi kafe, yang melaporkan kehilangannya adalah atasannya, sebab ia res-"

Kalimat pria paruh baya itu terhenti, disela dengan sangat tak sopan oleh oknum yang lebih muda darinya, "Sudah ada yang menangani kasus ini, Senior?"

Sial, batinnya menyumpahi dalam diam. Juniornya ini memang kurang ajar sejak awal bertemu, tapi kemampuannya tidak dapat disia-siakan begitu saja. Perkara kurang ajar pada senior atau kepada yang tertua tidaklah cukup untuk menjadi alasan pemecatannya.

"Belum. Makanya aku memberitahumu, Berandal! Pekalah sedikit!"

Pria yang lebih muda segera berdiri dan memberi penghormatan pada atasannya tersebut, telinganya pun selalu siap menerima perintah apapun dari seniornya ini.

"Kuharap kemampuanmu akan terus sama seperti yang sebelumnya," harap sang senior menepuk-nepuk pundak juniornya itu.

"Saya tak akan pernah menjatuhkan harapan para Senior," jawabnya menyombongkan diri, "ya ... walau pangkat saya sejujurnya masih terlalu rendah."

Jika kalian ingin tahu, namanya adalah Hendra Sabima. Polisi berpangkat Bripka yang gajinya tak kunjung dinaikkan. Mengeluh setiap hari telah menjadi hobinya, mengeluh mengenai gaji yang tak sesuai dengan kerja kerasnya dalam memecahkan berbagai macam kasus.

Sekadar informasi, Hendra memang acap kali menyelesaikan kasus rumit seorang diri. Menginjak usia yang sudah berkepala tiga itu, tak membuatnya penat untuk terus mengejar promosi kenaikan pangkat. Ia selalu mendamba kenaikan pangkat dengan gaji besar kelak.

Bunyi mesin kasir yang menghitung jumlah belanjaan para pelanggan kian berdecit. Terdengar nyaring di dalam sebuah minimarket di sudut jalan.

Tiba pada giliran pelanggan terakhir yang begitu mencolok dengan pakaian yang serba hitam, hingga rambut sebahu, kumis serta jenggot yang begitu tebal. Hal ini cukup membuat penjaga kasir sedikit takut sebab aura buruknya yang begitu gamblang. Namun, jangan takut, pria itu adalah Dzaky.

"Tolong dihitung dengan cepat," titahnya sembari menata satu per satu lakban hitam besar di atas meja kasir. Sangat banyak, begitu banyak. Penjaga kasir pun tampak terheran-heran dibuatnya. Untuk apa lakban sebanyak ini?

Dzaky tampak mengeluarkan uang dari saku celananya untuk membayar, kemudian dengan cepat melesat meninggalkan tempat tanpa sepatah kata pun. Aneh, pikir sang penjaga kasir.

Setelah membeli sekantung lakban besar dari toko swalayan tadi, Dzaky memutuskan untuk pulang dengan melewati beberapa gang gelap dan sepi. Bersenandung ceria walau sebenarnya terdengar seram jika ada yang sedang menyaksikannya.

Ini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, area sekitar pemukimannya terlihat tidak lagi begitu ramai. Napas lega terlontar dari mulutnya, menandakan ia akan segera sampai di rumahnya.

Belum genap dua menit Dzaky berjalan di gang terakhir, seorang pria berpakaian dinas kepolisian lengkap menabraknya hingga terjatuh.

Bukan Dzaky yang terjatuh, akan tetapi pria tersebut. Lakban yang dibeli Dzaky menggelinding ke berbagai arah, berserakan tak menentu arah.

Dzaky mulai mengulurkan tangannya seraya berkata, "Maaf, saya yang salah. Mari saya bantu berdiri."

Pemuda yang tampak lebih tua itu dengan hati-hati meraih lengan Dzaky yang diberikan sebagai bala bantuan.

"Seharusnya saya yang minta maaf, saya begitu terburu-buru," balasnya terus memungut lakban hitam yang berserakan akibat tabrakan kecil mereka.

"Tidak, saya juga salah dalam hal ini," tutur Dzaky pun turut ikut memunguti lakban pembeliannya.

MERCY (Tanpa Ampun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang