#MERCY - JEJAK-JEJAK BARA

24 5 0
                                    

Saat ini, Akhir Desember 2022.

"Satu minggu menjelang penutupan festival, saya mau semua tatanannya sudah benar dan rapi," titah Jansen.

Sesuai perkataannya, festival seni akhir semester Sekolah Seni Rhode akan segera berakhir pada akhir Desember nanti. Festival ini begitu dinantikan para siswa serta orang tua siswa, tak luput pula para donatur. Sebab festival yang diadakan sekali dalam setahun ini selalu menjadi ajang perlombaan bagi mereka. Mereka sibuk memamerkan sesuatu, tanpa tahu malu.

Namun kali ini, Jansen memilih mengadakannya dengan sesuatu yang berbeda. Dari awal pembukaannya saja sudah berbeda. Alih-alih memberikan penonton pembukaan yang megah oleh siswa-siswanya yang bertalenta, ia malah memilih membukanya dengan sesi sambutan dari para guru baru di yayasan. Yang artinya, tak ada pertunjukan siswa, maka tak ada pula kegiatan pamer antar orang tua siswa.

"Lalu ... aku mau pianis Markatian yang menutup acara untuk minggu depan," pinta Jansen tersenyum menawan di hadapan para koordinator acara. Yang diberikan arahan hanya bisa memberikan respon kecut seolah bertanya-tanya, "Bagaimana dengan Nona Alindra, Bu Jansen?"

"Aku mau Markatian menutupnya dengan nilai seni yang berbeda, dia juga pandai bernyanyi tanpa bantuan Alindra," jawab Jansen mengakhiri pertemuan.

Jansen lagi-lagi membuat perbandingan besar antara Marka dan Alindra. Namun ini bukanlah tindakan untuk membuat putrinya merasa terpuruk, melainkan tindakan besar untuk menyingkirkan pianis handal itu, Markatian.

"Benar hanya aku sendirian?" tanya Marka sedikit terkejut dengan perkataan managernya barusan. Managernya membalas dengan hanya mengangguk tenang.

Hari ini Marka sedang melakukan orkestra sendirian, tak ditemani oleh Alindra. Berbagai ulasan pun mulai bermunculan di kalangan petinggi sebab kehilangan sang putri semata wayang dari kepala Yayasan Seni Rhode itu.

"Kalau yang minggu lalu itu pembukaannya, berarti acara penutupannya mungkin dilaksanakan minggu depan ya?" tanya Marka.

Ya, pembukaan festival yang telah diadakan sepekan sebelumnya berjalan lancar dengan susunan acara yang sangat biasa, setelah menuai kontroversi di antara koordinator acara dan kepala yayasan, Jansen.

Walau terlihat biasa saja, pembukaan festival pekan lalu memang membuat banyak mata membelalak terkejut dengan berbagai kejutan. Mulai dari tak adanya penampilan pembuka dari siswa-siswa, kurangnya publik figur yang diundang, serta perkenalan guru baru yang begitu mendadak di akhir tahun ini.

Maka, minggu depan menjadi minggu penutup festival seni di Sekolah Seni Rhode itu. Marka dibuat terheran-heran, ada apa sebenarnya antara Alindra dan ibunya.

"Lalu mengapa Bu Jansen memilihku untuk tampil solo dan malah membuat Alindra hilang arah? Aneh, tak biasanya," gumam Marka mencoba menggali apa yang menjanggal dalam benaknya.

Marka masih saja melakukan hal yang sama sejak dua minggu sebelumnya, ia terus menghubungi Alindra yang telah menghilang entah kemana. Padahal berita baiknya sudah bermunculan di publik, bahwa ia telah pulang ke rumah dengan selamat pada akhir bulan November lalu.

Hari ini pun sama, Marka menyempatkan diri menghubungi rekan bisnisnya itu di tengah rehatnya. Tak kunjung terhubung sejak dua minggu lalu, Marka sudah merasa ada hal yang aneh. Ditambah lagi dengan tanggapan sang ibunda yang tak seperti seorang ibu yang merasa kehilangan putrinya.

Suara ketukan pintu berhasil memecah lamunannya, Marka segera membuka pintu ruang rehatnya lantas tersenyum hangat pada staff wanita yang baru saja datang dengan wajah masamnya itu.

"Tuan Marka ... t-tolong," ucap sang staff wanita terdengar bergetar. Di lehernya sudah diletakkan sebilah pisau seolah mengancam nyawa.

Marka terkejut hingga tersungkur. Kejadian seperti ini merupakan trauma baginya, ia ingat persis kejadian yang hampir sama di masa lalunya. Wajah tak bersalah seorang staff yang kini meregang nyawa sebab kesalahan dirinya.

MERCY (Tanpa Ampun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang