Rumah Baru

3 1 0
                                    

Flashback
"Rain ... sudah waktunya istirahat, nanti kita lanjutkan lagi," ujar salah satu pekerja pada Baek Hyun yang sedang membawa 2 ember campuran pasir dan semen di tangannya.
"Ada tempat makan siang yang enak dan murah tak jauh dari sini, apa kau mau ikut?" Tawar pekerja tadi.
"Maaf ... sepertinya aku tidak bisa ikut. Aku ingin istirahat di sini saja," tolak Baek Hyun sembari tersenyum.
"Tapi bukannya kau harus makan siang juga."
"Iya, tapi ... tapi aku tadi ada membawa nasi," Baek Hyun berbohong.
"Oh, begitu ... baiklah. Sampai nanti."
Baek Hyun menarik nafas lega sembari duduk bersandar pada dinding bangunan gereja itu. Sebenarnya ia membawa uang yang cukup untuk membeli makan siang. Tapi uang itu terlalu berharga untuk dibelanjakan. Selama ia masih mampu menahan lapar walau hanya meminum air saja, ia tidak akan membelanjakan uang pemberian Hana itu. Hari itu juga hari pertamanya bekerja, dan upahnya baru akan diterima sore nanti. Karena itulah ia harus menjaga kemungkinan bila upahnya tidak ia terima sama sekali. Jika ia tidak penuh perhitungan dengan anggaran keuangan. Bisa-bisa Hana juga akan ikut kelaparan karenanya. Beruntung di tangan Hana masih tersisa sedikit uang untuk makan siang maupun makan malamnya hari ini. Jadi ia tak perlu khawatir dengan keadaan gadis itu saat ini.
Teringat akan Hana yang sedang menunggunya di bangunan usang tempat mereka tingal sementara membuat Baek Hyun tersenyum. Sejauh ini perempuan itu masih setia mengikutinya tanpa mengeluh sedikit pun dengan keadaan mereka. Sebaliknya perempuan itu tampak selalu bersyukur dan bahagia.
Baek Hyun mengambil botol minuman di sampingnya dan meneguk isinya lagi. Hanya dengan mengingat gadis itu membuat rasa lapar itu jadi tak begitu terasa.
"Rain ... istrimu datang mencarimu," Pekerja tadi berbalik memberitahunya.
"Uhuuuk!!" Baek Hyun tersendak kaget.
Di belakang pria tadi Hana berdiri dengan bungkusan plastik di tangannya. Ia tersenyum senang meski terlihat kegerahan.
"Akh ... andai saja istriku mau datang kemari," keluhnya sembari berlalu dari sana.
*
Baek Hyun menatap Hana tak percaya. Tapi gadis itu benar-benar berada di sana dan tersenyum bahagia seperti biasa.
"Kenapa kau kemari? Bukankah seharusnya kau diam di rumah saja bukannya berkeliaran seperti ini!" Omel Baek Hyun.
Hana tak peduli. Dengan riangnya gadis itu berlari-lari kecil sembari sesekali meloncati material bangunan yang berserakan. Ia tampak lucu dan menggemaskan. Perasaan Baek Hyun yang tadinya gusar dan khawatir sirna dalam sekejap. Lantas ia berjalan menghampiri Hana.
"Berikan itu dulu," ujarnya seraya berjongkok mengulurkan tangannya ke bawah karena tempat Baek Hyun berdiri tingginya hampir setengah meter dari tempat Hana berada.
Hana menyerahkan bungkusan plastik tadi. Ketika Baek Hyun mengulurkan tangannya lagi untuk menyambut Hana. Gadis itu sudah lebih dahulu naik ke tempatnya.
"Kenapa kau kemari? Bukankah tempat ini begitu jauh? Cuaca di luar juga panas dan kau kegerahan seperti ini."
"Itu tak seberapa. Aku berjalan sambil memikirmu jadi itu tak melelahkan sama sekali. Lagi pula menunggu seharian itu sangat membosankan." Hana mengeluarkan gombalannya menenangkan hati pria itu sembari menyiapkan makan siang bagi Baek Hyun. Baek Hyun hanya tersenyum, namun wajahnya seketika berubah menatap hidangan yang terlihat istimewadi juga berlimpah di hadapannya.
"Dari mana aku mendapatkan makanan ini?"
"Aku mengambil upah di warung tempat kita membeli nasi kemarin."
"Hana ..." Baek Hyun menatap gadis itu dengan wajah memelas.
"Aku tahu," tanggap Hana cepat. "Tapi aku benar-benar bosan jika tidak melakukan apa pun. Ini sama sekali bukan pekerjaan berat. Aku hanya membantu menyajikan hidangan, melayani pelanggan dan mencuci peralatan makan. Lagi pula aku kasihan padanya. Ia tampak kewalahan melayani pelanggannya. Awalnya aku hanya berharap mendapatkan upah berupa makanan saja. Tapi ia juga memberiku uang. Sekarang makanlah ... tadi ada beberapa lauk yang tersisa, jadi pemilik warung itu memberikannya padaku," ujarnya senang.
"Aku mencuci tanganku dulu."
"Bolehkah aku membantumu?" Tanya Hana menggoda.
Baek Hyun tersenyum. Entah karena jarang bertemundengan Hana dahulu ia jadi merasa sikap Hana jadi berbeda semenjak mereka selalu bersama. Perempuan itu kerap menggodanya sekarang.
"Kemarilah ... kau juga harus mencuci tanganmu. Kau harus menemaniku makan," ujar Baek Hyun sembari menarik Hana dari tempatnya.
"Tapi aku sudah makan tadi. Jika makan terus tubuhku akan gemuk."
"Biar saja ..." jawab Baek Hyun tak peduli.
***

"Kenapa kau ingin mengambil perusahaan kecil itu? Tidak bisakah kau fokus membantu kakakmu!?"
"Karena aku menyukainya. Aku bisa membantu kakak juga mengurus perusahaan itu."
"Perusahaan itu masih bisa di urus bawahan kita. Kau tak perlu mengambil alih kepemimpinannya! atau itu hanya alasanmu saja untuk mendapatkan impianmu itu lagi?"
"Kapan ayah pernah tertawa lepas dengan bahagia? Katakan padaku, kapan ayah pernah merasa bahagia?"
"Apakah kebahagiaan itu mesti diperlihatkan dengan tertawa?"
"Tertawa lepas adalah ledakan kebahagiaan."
"Apa itu penting? Kau bisa menikmati hidup tanpa kekurangan apa pun itulah yang harusnya kau kejar. Bukan tertawa lepas tanpa arti. Itu hanya kelakuan orang-orang munafik."
Lay menghela nafas. Sungguh tak mudah meluluhkan hati pria tua yang penuh ambisi itu.
"Ayah ... sudah saatnya ayah melepas semua pekerjaan ini dan menikmati hidup. Menikmati apa yang ayah raih selama ini. Biar aku dan kakak yang bekerja untuk ayah.
"Aku memang sudah melepas kepercayaan itu padamu juga kakakmu. Hanya saja kalian masih terlalu rawan untuk diserang oleh musuh-musuh kita. Hati kalian juga masih lemah. Kau pikir belas kasihan akan membuat dunia mengasihanimu?"
Lay tertunduk. Ayahnya memang terkenal tegas, karena itulah ia merasa seperti dibenci dan memiliki banyak musuh. Ke mana ayahnya pergi selalu dikawal. Tanpa ia ketahui orang-orang yang seharusnya menjadi musuh itu, kerap di ltangani putra pertamanya secara diam-diam sehingga keadaan baik-baik saja. Putra pertamanya itu jauh lebih pintar dari perkiraan ayahnya sendiri.
"Ayah ... sekali-kali cobalah untuk bersenang-senang ....
Sekali-kali nikmatilah hidup, nikmati apa yang selama ini ayah perjuangkan selama ini.
Sekali-kali, berilah kesempatan bagi diri ayah untuk bahagia."
Tanpa menunggu tanggapan ayahnya, Lay membungkuk hormat, lalu berlalu meninggalkan ayahnya sendiri.
***
"Sisa uang kita masih cukup banyak di luar hitungan membeli semen dan memberi upah penduduk yang membantu bahkan sudah termasuk biaya makan selama beberapa hari," ujar Hana sembari tersenyum riang.
"Sepertinya upah tidak akan masuk hitungan."
"Kenapa?"
"Aku sudah membicarakan rencana kita bersama beberapa nelayan kemarin. Mereka bilang, mereka siap membantu. Mereka tidak akan menerima upah, apa pun pekerjaannya. Jika kita memaksa, mereka bisa saja tersinggung."
"Sebenarnya aku juga berpikir seperti itu. Selama kita tinggal di sini, aku tidak pernah mendengar mereka mengupah orang lain untuk melakukan sesuatu. Semuanya dilakukan dengan gotong royong.
Jadi bagaimana menurutmu? Apa kita tidak usah menyinggung masalah upah dulu? Meski setahun lebih tinggal di sini, aku masih belum biasa dengan hal seperti ini. Apalagi menyangkut pekerjaan besar seperti memperbaiki rumah kita."
"Aku rasa sebaiknya begitu. Bukankah sisanya bisa kita tabung untuk menyambut kelahiran anak kita kelak?"
"Apa aku sudah boleh hamil?"
"Eum ... Baek Hyun mengangguk sembari tersenyum. "Aku juga ingin segera punya anak. Menurut mereka yang sudah biasa melakukan gotong royong, paling tidak perbaikannya memakan waktu satu minggu, karena memang tidak banyak yang harus di perbaiki. Pada dasarnya bangunan ini juga sudah sangat kokoh. Lagi pula beberapa bahan sudah siap, tinggal dipasang saja," jelas Baek Hyun sembari tersenyum.
***
Hana dan Baek Hyun memang begitu dihormati, disegani, dan disayangi penduduk Dusun. Terlepas dari peran mereka sebagai guru, baik itu guru bela diri maupun sebagai guru yang dengan senang hati berbagi pengetahuan yang mereka miliki. Hana dan Baek Hyun juga suka membatu dan selalu bersikap ramah. Karena itulah hampir seluruh penduduk, dari yang tua hingga anak-anak, baik yang laki-laki maupun perempuan berbondong-bondong membantu Baek Hyun dan Hana memperbaiki rumah mereka. Baek Hyun, dan beberapa orang yang cukup berpengalaman berperan semacam mandor yang mengatur hal apa saja yang mesti dilakukan. Kebetulan Baek Hyun pernah bekerja sebagai buruh bangunan, jadi tidak sulit baginya memperbaiki dan membangun rumahnya sendiri bersama penduduk.
Hana dan beberapa perempuan lainnya bertugas sebagai juru masak yang menyiapkan hidangan makan siang. Hal yang sungguh tak diduga Hana adalah ia tak perlu mengeluarkan uang untuk membeli bahan makanan. Warga di sana dengan senang hati membawa hasil kebun untuk dimasak dan dimakan bersama seusai bekerja. Bahkan ketika perbaikan rumah itu selesai, Baek Hyun Hana bersama seluruh penduduk Dusun mengadakan pesta kecil di halaman rumah yang kini berdiri kokoh dan megah itu.
Untuk pertama kalinya setelah setahun lebih Baek Hyun diminta menampilkan sesuatu di hadapan penduduk Dusun. Pria itu ingin menampilkan kehebatannya dalam ilmu bela dari, tapi penduduk menolaknya dengan alasan mereka sudah biasa melihat itu. Pada akhirnya pria itu memilih bernyanyi. Diiringi alunan musik ala kadarnya. Baek Hyun bernyanyi di hadapan penduduk dusun itu. Terlepas dari pengetahuan mereka tentang kepandaian Baek Hyun dalam bernyanyi, yang terlihat hanyalah raut wajah bahagia penduduk yang merasa terhibur dengan nyanyian Baek Hyun yang dibawa penuh penghayatan.
***

Patah Tumbuh dan Tak Mati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang