8. Hati yang Belum Bisa Menerima

2 1 0
                                    

"Pannnng!!!!" Panci baja itu sudah menghantam kepala Chanyoel. "Aaakh ..." Pria itu berusaha bangkit sembari memegang kepalanya yang berdenging. Chanyoel menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha berada dalam keadaan sadar. Namun pandangannya tetap saja perlahan buram. Dunia serasa berputar hingga membuat tubuhnya terhuyung dan "Bruk ..." Chanyoel jatuh tak sadarkan diri.
"Haaapph!" Hana menutup mulutnya sendiri dengan mata yang melebar. Ia terkejut setelah melihat dengan jelas pria yang bergulat dengan Baek Hyun.
"Chanyoel?! Bukankah dia Chanyoel!! Bagaimana dia bisa di sini?" Hana bertanya seakan tak percaya. Panci baja tadi seketika terlepas dari tangannya. Baek Hyun hanya bisa memandanginya heran, miris dan takjub. Ia sudah berusaha memberi isyarat pada Hana, tapi perempuan hamil itu terlanjur dikuasai emosi melihat suaminya tak berdaya di bawah amukan seseorang.
"Sepertinya dia salah satu aktor yang mengikuti syuting di sini. Aku juga tidak mengetahuinya."
"Bagaimana ini?" Tanyanya seraya berjongkok memeriksa keadaan Chanyoel. "Bagaimana kalau ia geger otak atau kehilangan ingatannya. Aku ... aku benar-benar memukulnya sekuat tenaga tadi," ujarnya panik.
"Aku bisa melihatnya," jawab Baek Hyun takjub seraya bangun menghampiri Chanyoel.
"Kau juga terluka olehnya. Kenapa ia sampai setega itu memukulmu," ujar Hana seraya mengamati luka Baek Hyun.
"Ini tak seberapa dibandingkan luka yang ia dapatkan karena panci baja itu. Sebaiknya kita bawa dia ke dalam dulu," ujar Baek Hyun seraya menarik kedua tangan sahabatnya itu dan membawa tubuh itu di punggungnya.
"Tunggulah di sini. Aku akan mendatangi tabib untuk memeriksanya."
"Biar aku saja! Bagaimana jika ia sadar? Akan jadi masalah jugajika orang lain melihat lukamu."
Baek Hyun terdiam sejenak. Hana ada benarnya. Penduduk pasti akan menanyakan kenapa wajahnya sampai terluka seperti itu. Bisa jadi, hal ini menjadi masalah pula baginya.
"Baiklah ... hati-hati," ujar Baek Hyun.
***
"Aku sudah mengoleskan obat di kepalanya. Bengkaknya akan segera menghilang," ujar tabib itu pada Hana.
"Terima kasih" ucap Hana.
Perempuan paruh baya itu menatap Hana dengan pandangan yang tak biasa. Seakan ada sesuatu di dalam diri perempuan yang tengah mengandung itu. Hana merasa itu bukan tatapan sebagai tekanan atas perbuatannya. Ada makna lain dari tatapan itu. Hana mengamati dirinya sendiri. Ia tidak menemukan sesuatu yang ganjil
"Ada apa? Apa ada sesuatu yang salah denganku?" Tanyanya penasaran.
Perempuan paruh baya itu menatap mata Hana, beralih ke perutnya, kemudian kembali menatap mata Hana lagi.
"Kau harus menjaga kandunganmu baik-baik. Anakmu akan membawa sesuatu yang besar bagi Dusun ini."
"Benarkah?" Mata Hana melebar karena takjub. Ia mengurut dadanya sendiri untuk menenangkan perasaannya yang mulai tak karuan. Tatapan penuh keyakinan perempuan paruh baya itulah yang menekan perasaannya.
Perempuan itu hanya mengangguk. "Bukankan pria ini salah satu orang yang datang dari kota itu ?" Tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Iya," jawab Hana tertunduk. "Aku kira dia maling, jadi aku tak sadar langsung memukulnya. Aku jadi ketakutan sendiri setelah melihat dia pingsan. Aku mohon jangan sampai orang lain tahu hal ini. Aku benar-benar tidak sengaja memukulnya. Itu ... itu karena dia terlihat asing dan perilakunya mencurigakan. Jadi ... jadi aku spontan melakukan itu."
"Lalu ke mana suamimu? Aku tidak melihatnya semenjak tadi?"
"Dia masih belum pulang."
"Oh ..." Tabib tadi mengangguk. Jika ia sadar, ingatkan dia untuk mengoles lukanya sebelum tidur. Ia akan baik-baik saja keesokan harinya."
"Baiklah, akan kusampaikan."
"Kau sudah memeriksa kandunganmu ke dokter?"
Hana mengangguk sembari mengelus perutnya. "Bulan depan aku akan mengeceknya lagi ke sana."
"Semoga kau dan bayimu selalu sehat, dan ingat pesanku tadi. Kau harus menjaganya baik-baik." ujar tabib itu seraya mengelus tangan Hana. "Kalau ada apa-apa, kau juga bisa datang padaku kapan pun. Paling tidak, mungkin aku bisa memberimu pertolongan pertama."
"Eum, aku pasti mendatangimu jika merasa tak nyaman."
"Baiklah Hana, aku harus segera kembali."
"Ah ... ini untuk obatnya," Hana memberikan sejumlah uang.
"Kenapa kau melakukan itu. Uang di rumahku bahkan tak cukup untuk membayarmu sebagai guru bagi anak-anakku. Simpan saja untuk persiapan persalinanmu nanti."
Hana mengangguk. Perempuan itu turut bangun mengantar tabib itu hingga ke halaman rumahnya.
*
Sekembalinya ke kamar, Chanyoel sudah duduk di tempatnya. Sebenarnya sedari tadi ia sudah sadar. Hanya saja ia enggan membuka matanya.
Hana yang melihatnya bergegas menghampirinya kemudian berlutut di hadapan pria itu.
"Maafkan aku ... jika kau marah kau bisa membalasnya padaku," ujar Hana seraya menundukkan kepalanya seakan menyerahkan diri untuk dipukul pria itu.
Chanyoel mendengus seraya membuang mukanya, tak sudi menatap Hana yang berlutut di sampingnya. Kepalanya mati rasa sekarang. Ia tak merasakan sakit sedikit pun. Mungkin sekarang kepalanya sudah membengkak sebesar bola basket. Tengkorak kepalanya pasti retak, atau mungkin ada syarafnya yang rusak sehingga ia tak bisa merasakan apa-apa saat ini. Tadinya ia ingin meraba kepalanya. Tapi kehadiran Hana membuatnya tak jadi melakukan itu.
"Hana, berdirilah ..." Baek Hyun tiba-tiba masuk dan membawa perempuan itu bangun.
"Ya Tuhan! Hana terkejut melihat wajah Baek Hyun yang membengkak. Ia tak sadar melepas obat dalam genggamannya. Untunglah Baek Hyun dengan sigap menangkapnya sebelum pecah tertimpa lantai.
Hana mengamati wajah Baek Hyun. Lalu dengan tangan gemetar Hana mengambil obat di genggaman Baek Hyun. Ia menarik pria itu untuk duduk di lantai lalu mengolesi obat itu ke bagian yang terluka.
"Aku pikir kau akan menertawakanku."
"Bagaimana mungkin aku bisa tertawa melihat kau terluka seperti ini," ujar Hana dengan air mata yang berlinang.
Baek Hyun menghapusnya dengan ujung ibu jarinya. "Aku tidak apa-apa dibandingkan Chanyoel yang kau buat pingsan.
Chanyoel mendengus lagi seraya tersenyum kecut. Baek Hyun mengalihkan pandangannya ke Chanyoel dan menatap sahabatnya itu. "Kau baik-baik saja?"
"Aku tidak merasakan apa pun sekarang! Apa kau pikir aku baik-baik saja!?"
"Baguslah, itu artinya obatnya sudah bereaksi dengan baik."
Lagi-lagi Chanyoel mendengus kesal. Tangannya refleks menyentuh kepalanya memastikan perkataan Baek Hyun tadi. Benar saja. Kepalanya baik-baik saja. Bukanya mati rasa, tapi kepalanya memang benar baik-baik saja sampai tak merasakan sakit sama sekali. Kalaupun itu mati rasa, ia pasti tak merasakan sentuhan tangannya sendiri sekarang. Obat itu benar-benar mujarab.
Chanyoel yang masih marah bergegas bangun. Hana dan Baek Hyun ia lewati begitu saja.
"Tu ... tunggu sebentar. Ini obatmu, kau harus mengoleskannya lagi sebelum tidur."
Chanyoel tidak memedulikan Hana. Pria jangkung itu terus saja melangkah dengan perasaan marah, dan kecewa. Hana pun enggan mengejar karena merasa bersalah dengan perbuatannya sendiri.
"Tidak apa," Baek Hyun mencoba menenangkan perasaan Hana.
"Apa kita juga akan baik-baik saja. Bagaimana kalau ia memberitahukan keberadaan kita kepada yang lain?"
"Itu tidak akan terjadi. Tapi mungkin ia tidak akan menahan diri untuk tidak memberitahukan kepada Suho dan yang lainnya."
"Bagaimana jika itu terjadi?"
"Aku tidak tahu akan seperti apa reaksi mereka. Jika mereka datang kemari, maka kita menyambut mereka. Jika mereka hanya cukup tahu dan tidak peduli, itu juga bukan masalah."
"Jika mereka tahu, dan tak peduli, apa itu benar-benar bukan masalah bagimu? Kau akan baik-baik saja? Aku rasa tidak!" Hana menjawab sendiri pertanyaannya.
"Apakah hatiku akan baik-baik saja atay tidak. Kenyataannya aku tidak bisa berbuat apa-apa juga bukan? Kita hanya perlu melewati takdir yang kita pilih."
Hana tak bisa berkata apa-apa lagi. Meski ia bisa merasakan yang suaminya itu rasakan. Ia juga tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perasaannya terluka. Untuk saat ini dan ke depannya nanti. Hana hanya bisa mencoba mengurangi rasa sakit itu.
"Apa yang kau pikirkan? Aku baik-baik saja. Kau tidak boleh stres atau banyak pikiran. Ingat bayi kita. Kau harus menjaganya baik-baik bukan? Aku mendengar perkataan tabib tadi soal bayi kita."
"Kau mendengarnya juga?"
"Iya, katanya bayi kita akan memvawa sesuatu yang besar bagi Dusun ini."
"Wah ... bengkak di wajahmu sudah mulai menyusut. Obat itu benar-benar mujarab," ujar Hana seraya menyentuh wajah Baek Hyun.
Pria itu hanya tersenyum. Kedua tangannya terulur seraya meraih tubuh Hana, lalu mencium kening perempuan itu. "Terima kasih"
***
Senja itu Baek Hyun melatih anak-anak dusun di tempat yang tak begitu jauh dari rumahnya. Hana juga datang ke sana sembari membawa camilan singkong goreng yang ia buat sendiri di rumahnya. Melihat kehadiran perempuan itu, Baek Hyun langsung mengistirahatkan mereka, dan anak-anak itu berlarian menyambut kehadiran Hana.
"Tidak .. tidak,"Hana mengangkat wadah camilan itu setinggi mungkin. "Kalian harus mencuci tangan kalian dulu" ujarnya seraya tersenyum.
"Baik bibi," jawab anak-anak itu sembari berlarian ke sungai yang tak jauh dari sana.
"Hei ... tolong isikan ember ini untuk cuci tangan kalian nanti!" Teriaknya lagi.
Salah satu anak itu kembali mengambil ember kosong yang di bawa Hana. Kemudian dia berlari menyusul teman-temannya tadi. Hana meletakan wadah tadi di tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan. Saat berjongkok, sanggul rambutnya kembali terlepas.
"Yaiiish ..." umpatnya seraya menyanggul rambutnya lagi. Tapi lagi-lagi sanggulnya terlepas kembali setelah ia melepaskan tangannya dari sana. Perempuan itu tampak jengah. Baek Hyun tersenyum, lalu menarik dan mematahkan tumbuhan rambat yang berada di sekitar tempat itu. Ia menghampiri Hana yang masih berusaha menyanggul rambutnya lalu melilitkan tumbuhan rambat tadi di sanggul rambut Hana. Hana menurunkan tangannya dan membiarkan Baek Hyun menyelesaikan pekerjaannya dengan rambutnya.
"Sudah," ujar Baek Hyun sembari menatap hasil pekerjaannya lalu menatap Hana. Perempuan itu tampak cantik dengan ikatan dari tumbuhan rambat dengan dedaunan kecil yang sengaja tak Baek Hyun lepaskan dari tangkainya.
"Bibi cantik sekali," ujar anak-anak tadi seraya menatap Hana.
"Benarkah?" ujar Hana sembari tersenyum lebar.
"Paman tampan, dan bibi cantik," ujar yang satunya lagi.
"Sudah cukup dengan pujiannya. Sekarang saatnya makan," ujar Baek Hyun sembari merangkul anak-anak tadi. Mereka duduk melingkar mengelilingi wadah tadi. Satu demi satu anak-anak tadi mengambil singkong goreng yang masih hangat lalu menikmatinya dengan penuh sukacita. Sambil makan Anak-anak tadi tak henti-hentinya melawak hingga membuat Baek Hyun dan Hana yang duduk berdampingan tak berhenti tertawa.
Mereka tampak begitu bahagia.
Air mata Chanyoel kembali mengalir sembari melihat layar kamera yang merekam aktivitas nyata di depannya. Meski bertahun-tahun bersama, ia hampir tak pernah meliat Baek Hyun tertawa selepas dan sebahagia itu. Mungkin hal itulah yang membuat pria itu enggan mengabari keberadaannya pada mereka. Mungkin Baek Hyun memang sengaja ingin melepaskan diri dari mereka dan tak ingin mereka merengut kembali kebahagiaan yang susah payah ia dapatkan di sini. Ia sudah menemukan kebahagiaannya sendiri. Dan tempat itu bukanlah bersama mereka, melainkan dengan Hana dan anak-anak Dusun itu.
Rasa cemburu menyusup ke dalam hati Chanyoel. Bertahun-tahun hidup di bawah atap dan ruang yang sama. Ia menyadari, selama itu mereka tak benar-benar memiliki ikatan yang dalam sebagai sahabat seperti yang ia rasakan. Baek Hyun lebih memilih menikmati kebahagiaannya bersama Hana dan anak-anak Dusun itu, lalu dengan mudah melupakan mereka yang susah payah bangkit dari kesedihan rasa kehilangan.
Memenang, jika diingat lagi, apa yang dialami Baek Hyun amatlah berat. Sangat berat. Mungkin ia sendiri tak kan sanggup menanggungnya. Jika dipikir lagi sudah sewajarnya Baek Hyun bahagia seperti itu. Tapi hati nurani Chanyoel masih belum bisa menerima keputusan Baek Hyun yang memilih tidak memberi tahu keadaannya pada sahabat-sahabatnya sendiri.

Patah Tumbuh dan Tak Mati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang