7. Sahabat yang dirindukan

4 2 0
                                    

Setelah menunjukkan kemampuannya, kini Lay mulai bisa bernafas bebas. Tanpa harus terkurung dalam jeruji-jeruji penjagaan yang ketat. Bertahun-tahun kemampuanya sebagai penerus terus dibina di bawah pengawasan ketat ayah, juga kakaknya secara langsung. Selama itu Lay bagai hidup dalam penjara. Ia tak bisa melakukan aktivitas apa pun secara bebas,  termasuk urusan paling pribadi sekali pun. Hal inilah yang membuatnya kesulitan untuk menghubungi juga memperbaiki hubungan dengan sahabat-sahabatnya. Sesungguhnya Lay sangat merindukan mereka. Suho lah orang pertama yang mau menerimanya kembali, beruntung Chen dan D.O juga mulai memahami dan menerima alasan kepergiannya. Entah bagaimana dengan yang lainnya.
Sekarang kunci kebebasan itu berada dalam genggamannya. Sebegitu bahagianya Lay bahkan bingung dengan apa yang ia lakukan untuk pertama kali. Ia masih sulit percaya dengan kenyataan yang ia dapatkan. Benarkah ia sudah bebas dan bisa menjalani kehidupan ini sesukanya?
"Kau tidak benar-benar sebebas itu," ujar Alan memecah pikiran yang berkecamuk dalam diri Lay.
"Kau pikir ayah akan melepaskan pandangannya pada kita?"
Dengan sendirinya Lay menggeleng.
"Selama orang tua itu hidup. Segala sesuatunya masih di bawah aturannya."
"Kenapa kakak berkata seperti itu?" Lay terkejut dengan perkataan kakaknya sendiri yang seakan menginginkan kematian ayah mereka.
Alan tak menjawab. Tapi dari sorot matanya Lay menerka, ada suatu perasaan yang kakaknya pendam selama ini.
***
“Perempuan yang kakakmu nikahi itu adalah perempuan yang dijodohkan ayahmu karena status keluarganya. Drama perjodohan demi memperkuat kekuasaan itu benar-benar terjadi pada kakakmu. Hubungan cintanya di tolak oleh ayahmu lantaran gadis pilihan kakakmu hanyalah kemenakan pemilik rumah makan kecil di pinggir jalan. Perempuan itu sendiri lahir tanpa ayah. Sedangkan ibunya sudah lama meninggal. Jadi paman dan bibinyalah yang menjadi ayah dan ibunya.
Perempuan itu bahkan hamil, tapi ayahmu tetap menolaknya hingga perempuan itu merasa stres dan akhirnya meninggal. Uang yang banyak mampu menutupi masalah itu hingga tak satupun yang tahu kecuali keluarga inti kedua belah pihak.
“Di hari pemakaman kekasihnya, Alan dipaksa menghadiri pertemuan dengan gadis yang dijodohkan padanya dan kedua orang tuanya. Entah tekanan apa yang membuat ayahmu berhasil memaksa Alan menikahi perempuan pilihannya.
Perempuan bernama Anely itu tahu Alan tidak mencintainya, bahkan  terpaksa menikahinya. Ia hanya harus sabar menghadapi sikap kakakmu yang dingin. Meski terlahir dari keluarga kaya sikapnya dewasa. Ia bisa menutupi masalah rumah tangganya dengan sangat sempurna, hingga mertua maupun kedua orang tanya tidak mengetahui kalau hubungan mereka canggung.”
"Kalau kakakku tidak mencintai kakak ipar, bagaimana mereka bisa memiliki anak?"
Moly tersenyum, "Anely memasukkan obat perangsang dalam minuman kakakmu," bisiknya pada Lay.
Lay terkejut.
"Anely tidak begitu peduli dengan sikap kakakmu apalagi setelah mengetahui dirinya hamil. Lebih-lebih ketika anaknya lahir ke dunia. Ia cukup bahagia dengan kehadiran Simpony di sisinya."
"Bagaimana sekarang? Apakah kakak masih bersikap tidak peduli?"
Moly menghela nafas panjang. "Ya ... Sepertinya ia terlahir seperti itu."
Lay memijit dahinya, ada kemungkinan dirinya akan diperlakukan seperti kakaknya. Lay memang pernah jatuh cinta sebelum di pindahkan ke tempatnya sekarang. Jatuh cinta berkali-kali namun tak juga kesampaian. Setelah dipindahkan paksa ke tempatnya sekarang, Lay tidak pernah punya kesempatan itu. "Bagaimana jika nantinya dia dijodohkan pula. Akh ...bagaimana kalau gadis yang dijodohkan padanya tidak menyukainya? Bagaimana kalau perempuan itu lebih tua darinya. Bagaimana kalau dirinya tidak berminat dengan perempuan itu? Akh ... ini tidak akan terjadi kecuali jika ayahnya ..." Lay tersadar. Tangannya spontan mengibas-ngibas bagian atas kepalanya sendiri seakan pikiran itu melayang di atas sana.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Moly yang kebingungan dengan perlakuan Lay yang tiba-tiba.
"Oh ... tidak ... tidak apa. Tidak masalah jika wanita itu seperti Anely. Sebenarnya kakak iparnya itu cantik. Tapi kenapa kakaknya tidak juga jatuh hati padanya."
*
"Bibi ..." Simpony berlari menghampiri Lay juga Moly. Di belakangnya Anely tersenyum pada Moly juga Lay yang menoleh menatap perempuan yang semakin cantik kala angin mengibas rambutnya.
"Sedang apa kalian di sini?" Tanya Moly pada kemenakannya itu.
"Ibu mengantarkan makan siang untuk ayah," jawab Pony.
Moly mengetahui kalau Anely sekali-kali melakukan hal itu untuk menutupi kecanggungan dalam rumah tangganya. Alan sendiri tak terlihat menolak hal itu namun sikapnya sendiri tak pernah berubah.
"Kau masih ingin di sini?" Tanya Moly pada Anely.
Perempuan itu mengangguk.
"Kalau begitu, kau bicara dengan Lay saja. Aku sedang ada janji dengan temanku."
"Baiklah, hati-hati."
"Lay, maaf aku harus pergi."
"Tidak apa, hati-hati di jalan."
"Eum"
*
"Pony, kau ingat paman Lay kan?"
"Iya ..."
"Kita jarang bertemu, datanglah ke rumah sekali-kali," ujar Anely seraya tersenyum.
"Apa aku bisa datang ke sana?"
"Ha ha ha... Anely tertawa lepas, "Kenapa tidak?"
Lay terdiam sejenak menatap perempuan di depannya. Bagaimana mungkin kakaknya mengabaikan perempuan seperti Anely.
"Kau tidak sedang sibuk?" tanya Anely. "Aku dengar kau sukses dengan pekerjaanmu kemari, selamat ya?"
"Terima kasih. Eum ... sebenarnya aku ingin sekali membawa kakak dan Pony makan siang. Tapi sepertinya kakak malah mengantarkan makan siang untuk kak Alan."
Lagi-lagi Anely tertawa meski ia sudah membungkamkan mulutnya dengan tangannya sendiri. Tapi ia tak mampu menahan perasaan gelinya.
"Kau tak perlu memanggilku kakak. Sebenarnya kita se umuran. Usiaku bahkan beberapa bulan lebih muda darimu," jelas Anely setelah tawanya reda.
Lay tampak terkejut.
"Baiklah, sebenarnya aku tak sempat makan siang karena mengurus mereka. Kita makan siang di mana?" tanya Anely lagi.
***
Lay mencoba melupakan bayangan Anely dalam benaknya. Entah karena cerita Moly atau karena pesona dan kepribadian Anely. Bayangan Anely seakan tak bisa ia lenyapkan dari pikiannya. Lay ingin lebih dekat dengan perempuan itu. Ia ingin lebih mengenalnya lagi. Tapi ... perasaan macam apa ini. Semoga dirinya baik-baik saja.
*
Lay tak mampu menahan diri untuk tidak menemui Anely, meski Simpony menjadi alasan utamanya. Lay mengambil kesempatan itu ketika Alan sibuk dengan pekerjaannya. Sekali-kali ia datang saat Alan memang ada di sana agar dirinya tidak dicurigai. Jika sudah  demikian, Lay menemukan kecanggungan itu. Kakaknya memang benar-benar dingin seperti yang diceritakan. Dan tampaknya Alan juga tidak menutupi sikapnya di hadapan Lay. Tapi Anely tampak. biasa-biasa saja.
Di meja makan sekalipun Alan juga tak banyak bicara. Justru dirinya dengan Anely yang tampak akrab. Namun sekali lagi, hal itu tidak mempengaruhi Alan sama sekali. Ia seakan hidup dalam dunia yang berbeda meski makan dari meja yang sama.
*
"Aku pamit pulang. Terima kasih untuk makan malamnya,"
"Eum ... sering-seringlah ke sini. Sepertinya Simpony mulai bergantung padamu. Hampir setiap hari dia selalu ingin bertemu denganmu."
Lay menghela nafas. Ada kelegaan karena jalannya terasa lancar tanpa rintangan ke arah keinginannya, tapi juga ada rasa takut akan apa yang terjadi ke depannya nanti.
"Aku akan datang jika ada waktu. Sepertinya aku juga punya perasaan yang sama dengan Pony. Ah ... Kau  juga bisa mendatangiku ke kantor. Datanglah sekali-kali saat kau mengantarkan makan siang untuk Alan."
Anely tersenyum. "Apa perlu kubuatkan juga untukmu?"
Perasaan Lay mengambang, "Apa tidak masalah? Bagaimana jika orang-orang kantor membicarakanmu?"
"Kenapa aku harus peduli dengan perkataan orang? Selama itu hanya pergunjingan yang tidak mempengaruhi kehidupanku, aku tidak akan peduli."
"Baklah, sebenarnya aku juga tidak mungkin menolak kebaikan seseorang. Aku bertanya agar kau bisa mempertimbangkannya saja."
"Aku juga tidak punya kegiatan selain menjadi ibu rumah tangga. Jadi tidak masalah jika di repotkan satu orang lagi."
Lay tertawa, "Baiklah, terima kasih, selamat malam.”
***
"Aku berencana kembali minggu depan. Apa menurutmu ayah tidak akan menahanku?"
"Entahlah, kau berangkat saja tanpa sepengetahuannya." Saran Alan tanpa menatap lawan bicaranya.
"Bagaimana kalau dia marah dan memaksa membawaku kembali seperti dulu."
"Aku rasa ia akan menghubungimu dahulu dan memintamu segera kembali. Jika kau tidak menurut, maka ia melakukan hal yang sama."
"Jika seperti itu, aku rasa tidak masalah. Aku akan kembali minggu depan. Aku rindu teman-temanku," ujar Lay seraya merentangkan tangannya dengan mata yang terpejam. Namun bahasa tubuhnya itu segera berubah. "Apakah mereka akan menerimanya seperti tang ia harapkan?  Kecuali Suho, yang lainnya sepertinya akan sulit menerimanya kembali. Ah, yang penting ia kembali dahulu."
***
“Baek Hyun ...”
Baek Hyun tersentak ketika mendengar nama aslinya itu di sebut. Bulu halus di tengkuk belakangnya meremang mendengar suara berat yang jelas tak asing baginya. Ia berdiri, sambil berusaha menahan jantungnya yang seketika berdegup kencang. Jika perasaannya itu benar, maka ia tak bisa menghindarinya lagi. Baek Hyun memejamkan matanya, lalu perlahan memutar tubuhnya menatap sosok di belakangnya dan ...
“Buk!” sebuah tamparan keras mengenai wajahnya.
Baek Hyun jatuh ke tanah. Tanpa diberi kesempatan untuk sekedar bangun sekalipun, Chanyoel yang tengah dikuasai amarah itu menindihnya dan mencengkeram leher baju yang Baek Hyun kenakan.
“Buk!”
Tamparannya kini mengenai ujung bibir Baek Hyun hingga meninggalkan luka kecil di sana. Kini tangan Chanyoel beralih ke leher Baek Hyun sembari terus memukulnya dengan air mata yang bercucuran.
Di bawah amukan Chanyoel, Baek Hyun hanya bisa meringis tanpa melakukan perlawanan sama sekali. 
“KENAPA?! KENAPA KAU LAKUKAN INI PADA KAMI HAH!!!” Teriaknya diiringi satu tamparan di pipi pria itu.
“APA KAU TAHU BETAPA HANCURNYA PERASAAN KAMI SELAMA INI SAMPAI RASANYA INGIN MATI!!! APA KAU TAHU BETAPA SUSAHNYA BANGKIT DARI JIWA KAMI YANG HAMPIR MATI!!
DENGAR BRENGESEK!! KENAPA KAU TIDAK BENAR-BENAR MATI SAJA DARI PADA HIDUP SEBAGAI PENIPU YANG BERSENANG-SENANG DI ATAS LUKA KAMI!! KAU SAMA SEKALI TAK PANTAS HIDUP!!” teriaknya penuh emosi.
“Maaf ...” hanya itu dapat Baek Hyun ucapkan dengan air matanya yang menggenang dan terus mengalir.
“TIDAK!!! AKU TIDAK AKAN PERNAH MEMAAFKANMU!! SAMPAI MATIPUN TIDAK AKAN PERNAH!! AKU MEMBENCIMU!! SANGAT MEMBENCIMU!! KAU BUKAN SAHABAT BAHKAN BUKAN MANUSIA BAGIKU. SELAMANYA SEORANG BAEK HYUN AKAN MATI BAGIKU!! BAEK HYUN SUDAH MATI!!!!”
"Uhuk" Baik Hyun mencoba meregangkan tangan Chanyoel yang semakin kuat mencekiknya.
“Chanyoel ...” Suara Baek Hyun berhasil keluar. Mata Baek Hyun melebar melihat sosok Hana di belakang Chanyoel. Ia sudah menggeleng-gelengkan kepalanya memberi isyarat pada perempuan itu, namun Hana yang terlanjur emosi itu lebih fokus menyerang pria yang mengamuk pada Baek Hyun. Baek Hyun itu berusaha bangkit melindungi sahabatnya itu namun ...
“Pannnng!!!!” panci baja itu sudah menghantam kepala Chanyoel.
“Aaakh ...” pria itu berusaha bangkit sembari memegang kepalanya yang berdenging. Chanyoel menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha berada dalam keadaan sadar. Namun pandangannya tetap perlahan buram. Dunia serasa berputar hingga membuat tubuhnya terhuyung dan Bruk...  Chanyoel jatuh tak sadarkan diri.

Patah Tumbuh dan Tak Mati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang