1. Pendatang Baru di Dusun Terpencil

4 3 0
                                    

Mobil berkecepatan penuh itu lepas landas, melayang, dan menabrak bibir jurang yang berada persis di seberang bukit. Berbarengan dengan ledakan besar,  Baek Hyun dan Hana yang sama sekali tak mengenakan sabuk pengaman terdorong keras, menabrak kaca depan mobil, dan terlempar di atas rerumputan yang tumbuh subur di daratan jurang itu.
Sungguh kenyataan yang menggelikan. Dengan membawa mobilnya dalam kecepatan penuh, Baek Hyun berharap ia dan Hana akan jatuh ke jurang dan mati. Namun kenyataannya, mobil  berkecepatan penuh itu justru membuat keduanya terlempar keluar, seakan sengaja mengantarkan Baek Hyun dan Hana ke sisi lain bukit itu.

Tubuh Hana terlepas dari rangkulan Baek Hyun, menggelinding dan menabrak dinding batu. Baek Hyun yang masih sadar berupaya bangkit. Merangkak dengan tertatih-tatih menghampiri Hana yang tampak diam tak bergerak.
“Hana … Hana …” panggil  Baek Hyun mencoba menyadarkan kekasihnya itu. Tidak ada jawaban.

“HANAAAAAAAA!!!!” teriaknya sembari merangkul kekasihnya itu sembari menangis.

Baek Hyun terjaga. Matanya menatap nanar ke langit-langit rumah yang terbuat dari jerami kering itu dengan nafas yang masih tersengal. Mimpi itu terasa begitu nyata hingga meninggalkan kesakitan dalam jiwanya. Kesakitan akan kehilangan sosok yang ia cintai. Perlahan pria itu memalingkan tubuhnya dan menatap sosok dalam mimpinya itu. Hana ada di sana. Tidur menyamping menghadapnya. Matanya terpejam rapat, begitu pulas. Terdorong perasaan sakit yang baru saja ia alami dalam mimpinya, Baek Hyun bergeser mendekat. Meraih kepala Hana dan mendekapnya dalam pelukannya.

Perempuan itu terbangun. Kepalanya bergerak kian kemari menatap ke sekeliling. Hari mulai pagi.
“Tidurlah … hari masih terlalu pagi,” bisik Baek Hyun sambil meraih kembali kepala Hana dan memeluknya lagi.
Kantuk Hana terlanjur menguap. Ia mencoba memejamkan matanya, namun sesuatu yang semenjak lama mengusik pikirannya kembali datang menghampiri. Matanya terbuka menatap kelopak mata Baek Hyun mengatup rapat. Mungkin ini saat yang tepat baginya untuk menanyakan itu.
“Tidakkah kau menginginkan anak? Sudah hampir satu tahun kita hanya berdua di rumah ini,”  tanyanya membuat mata Baek Hyun kembali terbuka menatapnya.
“Aku bukan tidak menginginkannya, hanya saja belum saatnya. Lihatlah keadaan rumah kita. Rumah kita masih jauh dari layak untuk menjadi naungan seorang bayi. Apalagi jika bayi kita bisa merangkak atau berjalan. Tidak apa-apa kan bila kita menundanya sementara waktu?” Tanyanya sembari tersenyum.
Hana mengangguk. “Kau benar juga. Aku tidak berpikir ke sana. Anak kecil mana mengerti yang kotor dan bersih. Aku tak bisa membayangkan bila ia merangkak di lantai tanah ini. Dia akan selalu kotor bahkan bisa saja terserang penyakit.  Kita juga akan kelelahan memandikannya juga mencuci pakaiannya. ”
“Itulah yang aku khawatirkan. Tunggulah beberapa saat lagi. Aku akan bekerja dengan giat, mengumpulkan uang, dan memperbaiki rumah ini sedikit demi sedikit sampai benar-benar layak seperti rumah warga desa lainnya.”
“Eum …” Hana menangguk sembari tersenyum senang, namun Baek Hyun justru menatapnya curiga.
“Sebenarnya apa maksudmu bertanya seperti itu.”
“Maksudku? Aku tak punya maksud apa pun.”
“Katakan saja kalau kau menginginkannya.  Aku akan dengan senang hati melakukannya untukmu.”
Hana meringis dan memandang sinis Baek Hyun.  Pria itu terkekeh, lantas bangun lalu mengecup gemas sisi wajah Hana.
“Kantukku sudah benar-benar hilang. Aku harus mempersiapkan diri untuk melaut hari ini.”
“Aku akan menyiapkan bekal untukmu.”
*
Baek Hyun menyiapkan perapian  lalu meletakkan sebuah wadah mirip panci di atasnya. Tungku perapian itu ia susun dari batuan sungai yang letaknya tak jauh dari rumah mereka. Baek Hyun dan Hana kerap mandi dan mencuci di sana. Tak jarang pula mereka masak bersama di atas batuan sungai yang besar, lalu menikmatinya di sana seakan sedang piknik berdua.
“Apakah apinya sudah siap?” Tanya Hana sembari menghampiri Baek Hyun dengan beberapa buah ubi jalar di wadah yang ia bawa.
Baek Hyun mengangguk, kemudian mengambil alih ubi itu lalu meletakannya ke dalam panci tadi.
Hana duduk rapat di samping Baek Hyun sembari menghangatkan diri di dekat perapian itu.
“Apa kau hanya sarapan ubi?”
Baek Hyun mengangguk.
“Bagaimana dengan bekalmu? Kau mau dibuatkan apa?”
“Aku hanya mau makan ubi dengan lauk cumi goreng.”
“Jika hanya makan ubi, itu tak akan baik untuk perutmu. Belum lagi kau akan terkena angin laut. Bisa-bisa kau akan terus-terusan kentut saat bekerja. Aku akan memasak nasi dan lauknya cumi goreng. Aku juga akan menumis beberapa sayuran. Kau mau sayuran apa?”
“Kenapa pagi ini kau rewel sekali” Baek Hyun mencubit gemas hidung Hana. Kau takut aku kurang gizi atau takut dengan bau kentut?"
“Dua-duanya” jawab Hana jujur. “Kau mau kumasakkan apa saat pulang nanti?”
Baek Hyun mendongakkan kepalanya sejenak seraya berpikir.
“Lobster panggang?”
“Dengan saus dari tumisan bawang putih cincang dan cabai?”
Baek Hyun mengangguk. Setiap kali menikmati makanan itu akan membuatnya teringat saat pertemuan pertamanya dengan Chanyoel.
“Kau teringat dengan Suho dan Chanyoel lagi?”
“Sampai kapan pun aku akan selalu teringat mereka setiap kali melihat lobster, dan bagiku, menu itu pula yang paling enak dibandingkan masakan apa pun."
“Sepertinya kau merindukan mereka.”
Baek Hyun mengangguk. “Aku sangat merindukan mereka.”
*
Setelah bangun dari gagalnya kematian, Baek Hyun dan Hana sempat menjadi gelandangan yang hidup dalam pelarian. Mereka hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Melakukan pekerjaan kasar untuk sekadar mendapatkan makanan atau  tumpangan. Setelah berbulan-bulan berkelana menyusuri jalanan, bukit, bahkan lautan, keduanya tiba di sebuah Dusun kecil yang hanya ditempati belasan kepala keluarga. Sebuah insiden menjadi awal mereka dikenal dan diterima penduduk Dusun itu.

Patah Tumbuh dan Tak Mati 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang