32. Mimpi Azzam

23 3 0
                                    

Setelah menghabiskan malam indah bersama mereka tertidur pulas. Adiva yang saat ini berada dalam pelukan Azzam merasa begitu bahagia. Biarpun hilang ingatan Azzam tetap memperlakukan Adiva sebagai seorang istri dengan baik. Dengan Azzam memberikan nafkah batin padanya sudah cukup membuat Adiva lega karena kembali atau tidaknya ingatan Azzam rumah tangga mereka akan tetap berjalan hangat dan harmonis seperti sediakala.

Tiba-tiba Azzam terjaga dan berada di sebuah kedai kopi. Pandangannya tertuju pada dua laki-laki berbeda usia yang saat ini tengah duduk saling berhadapan. Hanya meja kecil berbentuk bundar yang menjadi penyekat di antara mereka. Tapi laki-laki muda berwajah tampan berperawakan tinggi besar itu lebih banyak menunduk dengan jemari memainkan bibir cangkir di hadapannya seolah-oleh minuman berkafein  itu sudah terhapus dari daftar minuman favoritnya. Sedangkan laki-laki satunya yang jelas terlihat jauh lebih dewasa tampak begitu tenang dengan senyuman selalu terlukis di bibirnya dengan tak lepas menelisik objek di hadapannya.

Tanpa sadar Azzam meraba wajahnya sendiri. Membandingkan setiap detail wajahnya yang sama persis dengan laki-laki dewasa tersebut.

"Bukankah itu aku?" gumam Azzam mencoba memahami situasi membingungkan yang tengah terjadi.

Lalu Azzam mencoba mengingat kapan terakhir dirinya bertemu dengan laki-laki muda yang ia kenali sebagai Aldebaran Malik, salah satu santri binaannya saat masih menjadi pembina kamar di pondok pesantren dulu. Penampilan Aldebaran juga sudah sangat berubah, tak seperti saat terakhir kali mereka bertemu saat kelulusan sekolah. Penampilan khas seorang santriwan telah tergantikan oleh penampilan ala remaja metropolitan.

"Apa yang kamu lakukan jika Adiva tidak bahagia bersama saya?" ucap laki-laki yang tak lain dirinya sendiri tersebut.

Azzam bergeming. Namun tetap fokus memperhatikan dan mendengarkan saat dirinya sendiri melayangkan pertanyaan yang sukses membuat Aldebaran mengangkat wajahnya. Azzam bisa melihat ada luka yang dalam di sana. Laki-laki itu tersenyum tipis dengan memamerkan lesung pipi yang semakin menunjukkan daya tariknya.

"Maaf saya masih ada urusan, sebaiknya Ustadz bergabung dengan Ustadz yang lain."

Jawaban yang meluncur dari bibir Aldebaran sukses membuat Azzam merasa dejavu. Azzam telah mengenali kedua laki-laki di hadapannya dengan pasti. Dia Aldebaran Malik, salah satu santri yang dibimbingnya dulu. Lalu mengapa Aldebaran bisa bersamanya di suatu senja asing yang saat ini menemani mereka?

"Jika itu sampai terjadi maka saya sendiri yang akan merebut Adiva dari Ustadz." 

Deg... Jawaban tegas Aldebaran menciptakan getaran dahsyat di hati Azzam. Sebuah perasaan tidak rela melesat dengan cepat dalam relungnya saat Aldebaran menyebut nama Adiva dengan penuh penegasan.

"Terima kasih Al. Dan saya berjanji jika itu sampai terjadi maka saya sendiri yang akan melepaskan Adiva untukmu."

Azzam menggelengkan kepala tak terima kala bibirnya membalas perkataan Aldebaran yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya. Entahlah apa yang ia rasakan untuk Adiva, yang jelas Azzam marah dengan kata-kata yang ke luar dari bibirnya sendiri. Tapi Azzam tak mampu mencegahnya.

"Kamu laki-laki yang baik Al. Allah pasti telah menyiapkan perempuan pilihan untukmu. Bersabarlah, waktu itu akan segera tiba."

"Adiva sangat beruntung dicintai laki-laki sepertimu."

Air mata Azzam bergulir sembari memperhatikan dirinya yang telah beranjak dari kursi di hadapan Aldebaran. Azzam hendak menyusul langkah laki-laki yang ia yakini sebagai dirinya tersebut tapi tubuhnya tiba-tiba tak mampu bergerak, kedua kakinya membatu di tempat. Lalu Azzam menoleh, menatap Aldebaran yang tengah menghapus air matanya dengan kasar.

Tiga Hati Satu Cinta (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang